Persekutuan Komanditer

19.3K 2K 34
                                    

"Masih ingat kata-kata saya tentang pikiran, Mas Handoko? Apa yang anda bayangkan adalah doa yang pasti terkabul. Sekalipun bayangan itu bukanlah sesuatu yang anda mau. Jangan overthinking dengan rencana kita."

Suara Pak Asep terdengar kalem di telpon itu. Beliau sedang berada di kantor pusat. Terdengar suara printer, fax, juga beberapa orang yang sibuk koordinasi. Aku iri dengan suasana kantornya. Aku juga iri dengan pengalamannya, sikapnya, dan ketenangannya dalam menyikapi berbagai masalah.

Beliau benar. Aku agak paranoid. Aku terlalu memikirkan konsekuensi dari sebuah kegagalan, tanpa membayangkan apa saja yang aku dapatkan andaikata kami berhasil. Pikiranku terlalu negatif. Aku sampai bertengkar dengan Fitria gara-gara rendahnya ambisi yang kumiliki.

"Anda masih muda, Mas Handoko. Masih banyak yang harus anda pelajari sebagai pemimpin."

"Iya, Pak. Saya berusaha. Terima kasih sudah mencemaskan saya."

Telpon ditutup. Mataku menerawang kantor sendiri yang berbanding terbalik dengan suasana kantor pusat.

"Oh, kantor triplekku. Kapan kamu bisa upgrade?"

Hari ini adalah hari ketujuh setelah penandatanganan kontrak. Perusahaan sudah berdiri dengan nama berbeda dan brand baru yang masih belia. Jabatanku memang direktur di AD/ART. Aku juga menunjuk beberapa orang yang kupercaya untuk mengisi posisi kosong. Sekilas mata terlihat wah. Tapi jabatan itu seperti hiasan kalau melihat berapa uang yang aku hasilkan.

Gajiku tetap dua juta kalau boleh jujur. Gaji itu sangat berlawanan dengan beban kerja yang harus kutanggung untuk perusahaan yang hampir bangkrut.

Apa boleh buat, perusahaan kami hanyalah persekutuan komanditer alias CV.

Oh iya, aku yakin sebagian besar orang hanya mengenal PT sebagai bentuk perusahaan. Padahal bukan itu saja organisasi bisnis yang berlaku di Indonesia. Ada Usaha Perorangan, ada Perseroan Terbatas atau PT, ada firma, ada pula CV seperti perusahaan yang kami kelola. Masing-masing badan hukum itu punya skala sendiri serta tanggung jawab berbeda tentang pajak, saham dan ketenagakerjaan.

Dan ... yeah, Pak Asep mendirikan CV karena aku masih belajar.

Jalanku masih panjang.

"Pak Handoko gak langsung pulang?" Mang Cecep menegur dengan sebutan baru yang masih gatal di telingaku. Wajahnya nampak cemas saat melihat meja kerja dan kertas-kertas berserakan. "Sudah jam empat, Pak."

"Tolong panggil saya seperti biasa." Tanganku sedikit terangkat sambil tertawa kecil. "Mang Cecep gak pulang?"

Dia menggeleng.

"Pak Handoko nanti numpang motor siapa kalau abdi pulang?"

Kutepuk jidatku sendiri dan perlahan memijatnya. Urusan marketing seperti tembok tinggi yang sulit kupanjat. Semenjak Pak Asep membebankannya padaku, rambutku mulai beruban. Beliau jadi jarang datang dan hanya menelponku jika ada perlu.

"Mang Cecep pulang duluan, nanti saya ada yang jemput."

***

Hari ini kedua kalinya aku pulang berjalan kaki. Pikiranku menatap kosong jalanan senja dan ketidak-pastian sebuah usaha. Mang Cecep adalah salah satu dari sekian orang yang kupikirkan. Andaikata usahaku gagal, 20 pekerja di bawahku akan jadi pengangguran.

Duh, aku berpikir negatif lagi.

OPPAI!

Ponsel berbunyi. Kuangkat telpon itu dan mendengar suara seseorang yang sangat kurindukan.

"Mas kemana saja? Sudah jam lima kok belum pulang?"

"Nih lagi OTW."

"Jalan kaki lagi?"

Mendadak AyahDonde viven las historias. Descúbrelo ahora