Partner Hidup

22.1K 2.1K 31
                                    

Sebagai mantan mahasiswa manajemen, istilah "supervisor" tidaklah asing bagiku. Aku cukup paham deskripsi kerja dari jabatan yang saat ini resmi kusandang. Supervisor lebih dikenal sebagai mandor. Tugas utamanya mengawasi para pekerja dan memberi laporan ke kantor pusat. Kelihatannya sih mentereng. Tapi setelah membaca dokumen yang Pak Asep berikan, aku tak bisa berhenti untuk memijit keningku sendiri.

"Mas, serius nih buat aku?" Di saat aku pusing membaca dokumen, Fitria mempertanyakan kotak plastik di meja makan.

"Memangnya aku beli buat siapa? Izra kan belum boleh makan itu?"

Fitria masih ragu membuka eskrim yang kubeli barusan. Mungkin terlalu mewah untuk keuangan kami yang harus serba hati-hati. Memang agak mahal, sih. Berhubung tak ada inisiatif dari tangannya, kuambil sendok dan meraih tiga varian rasa dalam satu gesekan.

"Tenang saja, aku baru ketiban duren. Sini kusuapin."

Fitria nampak kaget saat kuarahkan sendok itu ke bibirnya. Dia menoleh kesana kemari sebelum berani membuka mulut.

"Gimana? Suka?"

Ibunya Izra mengangguk pelan dengan wajah agak memerah. Dia belai rambutnya sendiri seperti kebiasaannya akhir-akhir ini. Aku tak tahu apa es krim itu seleranya atau bukan. Tapi melihat senyumnya, aku yakin semua perempuan suka es krim.

Aku jadi ingin mencoba rasa eskrim itu seperti apa.

Hmm ... enak juga.

"Mas ..."

"Huh, kenapa?"

"Sendok itu ..."

Aku kaget. Secepat mungkin kuambilkan sendok lain begitu sadar sikapku barusan sangatlah tidak sopan. Aku disiplin menyikat gigi. Tapi sebersih apapun gigiku, tak pantas rasanya berbagi sendok dengan orang lain.

Namun, Fitria justru memilih sendok bekasku barusan. Dia senyum-senyum sendiri dengan jemari menyentuh bibir.

Perempuan ini kenapa sih?

"Maaf Fitria, kamu makan sendiri ya."

"Mas gak ikut makan?"

Aku menggeleng. "Masih ada kerjaan nih," jawabku sambil melirik kertas di meja makan.

Fitria belum tahu seminggu ini aku naik jabatan. Tapi dia nampak tahu bahwa ada yang berbeda, yang bisa kulihat dari caranya mengamatiku. Si imut itu penasaran. Dia ikut membaca dokumen di meja, sambil memakan eskrim yang entah sejak kapan sisa separuh.

"Dokumen apa, Mas?"

"Dari direktur."

Fitria melirikku saat aku menolehnya. Dia geser posisi duduknya agak menjauh seakan tak mau menggangguku.

Sikap polos itu memberiku rasa bersalah. Aku jadi ingat sebuah janji bahwa kami tidak boleh hidup sendiri. Fitria sudah membantuku urusan keuangan. Aku yakin dia ingin berperan lebih, dari matanya yang tak berhenti melihat dokumen.

"Kamu di sini saja gak apa-apa." Aku memintanya mendekat lagi. Dia berhak tahu tentang apapun yang terjadi padaku. "Fitria, aku baru diangkat jadi supervisor." Dengan lugas kuceritakan pencapaian itu.

"Serius, Mas? Wah! Selamat!"

"Iya, memangnya kamu tahu apa itu supervisor?"

Fitria mengangguk. Nampaknya dia paham yang aku maksud.

"Tapi kenapa Mas kelihatan pusing? Ada masalah?"

Aku kira ibu muda itu akan langsung bicara gaji atau bicara basa-basi. Ternyata tidak. Dia justru menanyakan sesuatu yang mengusik pikiranku, seakan ingin terlibat jauh. Jujur saja, aku butuh bantuan saat ini. Mungkin Fitria bisa memberi solusi untuk bagian yang paling membuatku pusing. Kurapatkan duduk di sebelahnya, dengan jari menunjuk lembar yang berisikan tabel dan angka-angka.

"Ini laporan keuangan workshop tiga bulan ke belakang. Menurutmu gimana?"

"Banyak yang salah, Mas." Dia langsung menunjuk beberapa kolom dengan sendok masih di mulut. "Rincian sama totalnya gak sesuai."

Aku terdiam heran. Walau tahu Fitria jago dengan anggaran, aku masih takjub dengan kecepatan berhitungnya yang tak masuk akal. Jemariku langsung memencet kalkulator di ponsel. Tidak salah lagi, hitungan Fitria benar-benar cepat dan akurat. Secepat dia habiskan eskrim yang seharga dua bungkus rokok. Melihat kemampuannya, tanpa banyak berpikir kuserahkan beberapa halaman yang isinya hitung-hitungan.

"Bantu aku periksa ini. Nanti kubelikan eskrim sepuasmu. Deal?"

***

Hari ini aku tidak berangkat ke workshop meski sedang tidak libur. Fitria pun tidak menyiapkan bekal seperti biasa karena ada jadwal baru sebagai supervisor. Ada temu janji dengan Pak Asep. Beliau mengundangku ke sebuah cafe untuk mendiskusikan dokumen yang sudah kuperiksa semalaman. Berhubung waktunya masih lama, kumanfaatkan pagi ini untuk langsung ke kamar sang ibu muda.

"Uwaaa, sini merangkak ke sini!" ucapku pada si kecil yang kini genap tujuh bulan. Tingkah lucunya seperti candu untukku. Di usia itu dia sudah mengkonsumsi MPASI hingga jadwal menyusui Fitria jadi tak sepadat sebelumnya.

"Mas jam berapa ketemu Pak Asep?"

"Jam sembilan." Aku menjawab sembari mengamati Izra yang belajar merangkak. "Cafenya gak begitu jauh kok. Pulangnya juga gak terlalu sore. Nanti malam kita jalan-jalan bertiga, mau? Kamu kan sudah bantu aku."

"Sambil beli eskrim?"

Eh, dia nagih.

"Lebih dari eskrim!"

Tawaran itu Fitria jawab dengan anggukan. Dia berhak menerimanya. Bantuannya selama ini sangat berarti. Selain itu, ada rasa kasihan karena ibu muda itu jarang sekali keluar rumah. Menjadi ibu juga butuh rekreasi. Sekalipun kami berbagi peran mengasuh Izra, aku tak mau kontrakan kami seperti penjara untuknya.

"Jalan-jalan ke mana, Mas?"

Aku berlagak menimbang-nimbang.

Bandung surganya wisata selain Bali. Ada banyak destinasi keluarga yang pasti Fitria suka. Ada Lereng Anteng, Tafso Barn, Rainbows Garden, semua tinggal datang. Tapi sayangnya, tempat-tempat itu bukanlah mukhrim bagi dompetku. Kami harus berhemat uang hingga untuk liburan pun tak punya pilihan. Dengan terpaksa kuajak Fitria ke tempat populer yang tak perlu menggesek ATM.

"Ke jalan Braga yuk. Kita lihat lampu warna-warni."

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now