Perjalanan Bisnis

6.9K 1K 66
                                    

"Suamikuu poloooos! Mas kelewatan! Aku tahu Mas anggap dia keluarga kita, tapi Mas keterlaluan!"

"Ampuni aku! Iya, aku yang salah!"

Fitria baru kuajari Brazilian Jiu-Jitsu tahun kemarin. Tapi sekarang sudah experts. Aku sampai susah napas dia cekik pakai pahanya.

"Dulu Mas juga gituin aku waktu pertama ketemu. Mas maksa aku cerita masalahku di warung stasiun. Tapi waktu perasaanku sesak, aku berusaha keras buat gak nangis. Karena Mas tahu? Aku pingin banget dipeluk. Tapi aku sadar Mas orang asing. Apalagi Mbak Linda! Dia sadar Mas itu suami orang!"

"Lah, katanya suami bersama?"

Kutepuk punggungnya meminta ampun. Istriku malah menggantinya dengan cekikan segitiga.

"Ayo bilang sekali lagi!"

"Iya sayang, aku nyerah!"

Cekikan itu baru melemas setelah aku berjanji setelah ini menambah sesi.

"Berarti poligami itu cuma bercanda, dong?"

"Apa?"

"Ampun!" Dia mencekikku lagi pakai paha. Fitria baru berhenti setelah aku menambah lagi jumlah sesi.

Hutangku banyak.

"Dulu sekali, aku pernah lihat dia diam-diam minum obat. Waktu lagi gak ada kerjaan. Awalnya aku gak nanya, tapi lama-lama heran setelah tahu obat itu obat penenang. Aku merasa ada yang salah sama hidupnya."

Ternyata istriku sudah tahu yang terjadi kepada Linda. Meski tak selengkap yang kudengar sendiri dari bibirnya. Fitria bilang, perempuan tidak seperti laki-laki yang selalu bicara pakai logika. Perempuan bicara mengikuti perasaannya, hingga kata-kata yang keluar jadi tidak jelas di telinga pria sepertiku.

"Aku selalu posisikan diriku sendiri kalau jadi dia, Mas. Mbak Linda kelihatan kuat. Tapi aslinya dia rapuh."

"Kuat tapi rapuh? Kok makin gak jelas?"

"Perempuan memang gak jelas bagi cowok lugu seperti Mas!"

Aku harus belajar menterjemahkan rasa, katanya.

Leherku dia kunci lagi saat aku bilang penjelasannya tak masuk akal.

"Ampun sayang, iya iya aku salah!"

Di saat aku merebah lemas. Fitria melepas celana pendekku dan seenaknya main tindih.

"Kalau gak diginiin bakalan bantah terus. Sini dong bayi besar, nurut sama Bu Guru."

***

"Ini titik-titik proyek perusahaan kita sesuai jadwal kerja. Ada yang masih mengukur kavling, ada yang sudah menggali pondasi, dan ini titik-titik proyek yang sudah pemasangan sloop dan kolom."

Linda menjelaskan lokasi praktik tempatku belajar kilat. Senyum formalnya masih sama seakan semalam tak pernah terjadi apapun. Dia masih sangat fokus. Abidin pun ikut manggut-manggut, dan nampak semringah karena lokasi itu ternyata dekat dengan rumahnya.

"Pak Handoko, anda harus menguasai dasar-dasar pondasi dalam waktu dua minggu."

Aku mengangguk. Demi sebuah komitmen, kupastikan pada Linda bahwa aku siap bekerja. Perempuan itupun menoleh Clarissa yang sebulan ini jadi muridnya.

"Kamu sudah menguasai dasar RAB untuk kontruksi. Sudah waktunya belajar praktik di lapangan. Kalau mau karirmu cepat, cara belajarmu juga harus cepat."

"Siap, Bu!"

"Dan anda, Abidin, jangan ragu menendang pantat orang ini kalau beliau tak paham-paham. Mumpung belum jadi CEO."

Oh, Linda mulai sensi padaku.

Mendadak AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang