Kode Keras

23.8K 2.1K 40
                                    

Malam di Braga, warna-warni lampu menghiasai deretan sidewalk. Kami duduk di sebuah bangku yang sering kulihat dari instogram. Fitria memangku karton kue berlogo cafe. Aku memangku Izra yang masih tercengang oleh kerlap-kerlip. Damai sekali. Ada kehangatan di bangku itu. Tingkah mereka membuatku lupa akan sebuah hasil diskusi, yang menjebakku ke pilihan sulit.

"Mas, enak banget!"

"Kamu suka?"

Fitria mengangguk cepat.

Entah sejak kapan hal aneh ini terjadi padaku. Belakangan ini wajah bahagianya bagaikan candu, atau nikotin bagi seorang perokok berat. Bibirku tak berhenti tersenyum. Diam-diam kuamati Fitria yang sibuk dengan kuenya.

"Mas mau?"

"Nih, aku sudah punya."

Tanganku menunjuk kue bekas Pak Asep yang hanya termakan separuh. Aku sama sekali tidak jijik karena cara makan beliau yang seperti orang barat. Pakai garpu dan pisau. Berbanding terbalik dengan cara makan Fitria yang belepotan.

Apa istilahnya? Hmmm ... table manner.

"Kue ini pasti mahal. Mas dapat duit darimana?"

"Dibeliin Pak Asep tadi."

Senyum Fitria semakin mengembang. Lesung pipinya nampak jelas saat rasa manis melumer di lidahnya. Sesekali dia bergelak kegirangan. Sesekali pula dia pamerkan kue itu ke si kecil yang sedang duduk di pangkuanku.

Liburan ini sederhana.

Tapi bagiku, ini sangatlah mewah.

"Mas, gimana tadi obrolan sama Pak Asep?" Fitria mulai membahas sebuah topik yang kuhindari.

"Aku mulai aktif kerja senin depan. Masih ada hal yang belum deal."

"Soal gaji?" Dia langsung menebak.

"Iya."

Senyumku berubah jadi senyum getir. Tebakan Fitria sangat tepat karena dia juga terlibat. Mataku pun terpaku pada kerlip lampu saat pikiran menimbang-nimbang.

"Aku ingin diskusikan ini bersamamu, Fitria. Selama ini penghasilanku dua juta perbulan. Sedangkan kebutuhan kita nanti akan lebih besar lagi," jawabku sambil menoleh, menunjukan betapa kalutnya pikiranku saat ini. "Kamu siap hidup pas-pasan? Atau aku cari pekerjaan lain yang gajinya lebih besar?"

Fitria juga tahu bahwa perusahaan sudah berhenti membiayai operasional workshop sejak tiga bulan kemarin. Walau Pak Asep tak mengatakannya, ada indikasi bahwa dana di workshop mungkin dari kantongnya sendiri. Ini seperti ujian. Aku merasa Pak Asep ingin tahu apa aku ini pekerja yang siap berkorban, atau cuma pekerja biasa yang memuja jaminan.

Lagi-lagi tentang integritas. Menjaganya tidaklah gampang. Aku harus memilih antara integritasku dengan Pak Asep atau integritasku dengan Fitria.

"Mas, kapan aku pernah mengeluh?" Fitria tidak mengubah ekspresi saat jawaban itu dia ucapkan. Senyumnya masih optimis saat matanya menatap mataku. "Selama ini Mas banyak berkorban untukku yang bukan siapa-siapa. Ini kesempatanmu, Mas."

"Kamu gak apa-apa kalau gajiku nanti sama saja?" Sekali lagi kupastikan kalau Fitria tak keberatan. "Izra tambah besar loh."

Ibu muda itu mengangguk sembari tersenyum. Dia masih menatapku hingga aku alihkan mata karena sebuah sensasi asing. Aku tak bisa menterjemahkannya. Aku tak tahu harus bicara apa selain membantah sebuah kalimat yang sempat Fitria ucap.

"Dan tolong jangan bilang kamu bukan siapa-siapaku. Gak enak di telinga."

Nada bicaraku terdengar sebal. Aku masih buang muka karena tak berani menatap wajahnya. Perasaanku campur aduk antara malu, takut dan rasa nyaman. Aku bahkan bisa mendengar detak jantungku sendiri di ramainya Jalan Braga. Kuresapi sensasi itu, perasaan itu, hingga kurasakan ada colekan yang berbumbu cubitan kecil.

"Mas."

"Iya?"

"Memangnya aku siapanya Mas?"

***

Jalanan Bandung yang sempit nan padat, mobil melaju pelan di antara gerimis. Persis seperti pertama kami bertemu. Bersama Fitria di sampingku, tak kuasa ku terlamun di balik kaca taksi berembun.

Fitria siapaku?

Aku belum bisa menjawabnya.

Izra terlelap di gendonganku. Begitupun ibunya yang entah sejak kapan menyandarkan kepala di sela bahu. Saking dekatnya, aku bisa rasakan tubuh Fitria yang menggigil kedinginan.

"Pak, AC-nya rusak?" tanyaku pada Pak Sopir setelah beberapa kali mengatur panel. Aku bertanya sepelan mungkin demi menjaga lelap bayi sekaligus ibunya.

"Wah, maaf Pak. Kebetulan mobil ini belum maintaince."

Oh, pantas saja AC-nya seperti kulkas lupa ditutup.

Di bangku belakang itu, di antara rintik hujan Kota Bandung, lenganku meregang merangkul Fitria yang masih terpejam. Aku tak tahu kenapa sampai melakukannya. Entahlah. Mungkin empat bulan ini memberiku kedekatan lebih. Aku pun tak tahu kenapa jantungku makin berdegup, dan jemariku agak bergetar.

Ada apa?

Terserahlah. Aku tak mau dia kedinginan.

Fitria merespon perlakuanku. Dia sandaran kepalanya di bahuku, hingga bisa kucium aroma kondisioner yang minggu lalu dia beli. Ada desir di hatiku. Ada goda untuk menghirup aroma itu lebih lama. Rangkulanku pun semakin erat. Jantungku makin berdebar saat kukecup rambut halusnya.

Oh Tuhan, kenapa aku lakukan ini?

"Nikah berapa lama, Pak?"

"Eit!"

Aku terhenyak. Sopir taksi itu bertanya, tepat saat bibirku sedang mendarat di ubun-ubun.

"Ah, anu ... anu!" Aku makin panik saat Fitria terjaga dan kami pun bertemu mata.

Aku kepergok mencium rambutnya.

Suasana berubah canggung. Aku bingung harus jawab apa saat Fitria menatapku. Wajah ibu muda itu memerah. Dia nampak malu begitu sadar tengah tidur di rangkulanku.

"Sudah nikah berapa lama?"

"Setahun, Pak!" Saking paniknya, kusebut angka seenak jidat.

"Dede bayinya umur berapa?"

"Delapan bulan!"

"Hah?"

Ingin kuraup mukaku sendiri. Baru kusadari seberapa konyol jawaban itu saat Pak Sopir mulai berhitung. Tapi belum sempat aku bicara, Fitria lebih dulu angkat suara.

"Setahun setengah, Pak."

"Ooohh, saya kira ada apa. Suaminya Mbak ini aneh-aneh saja, hahahaha!"

Apa-apaan ini?

Aku terlalu canggung hingga bingung harus melepas rangkulan atau biarkan Fitria berada di antaranya. Ibu muda itu juga nampak kikuk. Dia juga tak sanggup memutuskan harus ubah posisi atau berdiam lebih lama lagi. Sopir taksi itu masih juga mengajakku bicara, hingga rasa gerogiku semakin liar.

Seliar bibir Fitria yang terlanjur tersulut sumbunya.

"Suami saya memang begitu, Pak. Suka melantur. Jangan dipikirin ya."

Mendadak AyahHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin