Boss's Lifestyle

1.6K 187 16
                                    

Seperti apakah kehidupan seorang direktur?

Penasaran?

"Mang Usman, no smoking."

"Ah, iya Bu."

"Putri, tolong cek stock opname. Pastikan sesuai order."

"Iya, Bu Fitria."

Dua bulan sejak investasi, Fitria menunjukkan taring. Dia kerja total sebagai manajer keuangan. Nuansa kerja di antara kami berubah drastis. Istriku tegas. Pengalamannya sebagai Ketua OSIS bisa diterapkan di pekerjaan. Dia tak main-main dengan mimpinya sebagai seorang wanita karir.

"Mas, beberapa pekerja masih bandel." Begitu memasuki kantor, keluhannya masih sama.

"Budaya kerja baru berjalan. Jangan terlalu kaku, okay? Sisanya biar aku yang handle."

"Tapi masalah duit gak boleh main-main, Mas. Aku gak suka mereka ngeremehin. Pokoknya tiap pembelian harus pakai struk. 500 perakpun tetap kucatat!"

Siapa bilang perempuan tak bisa jadi petinggi perusahaan?

Faktanya, Fitria menyadarkanku bahwa laki-laki tak selamanya selalu di atas. Laki-laki makhluk simpel. Kami sering remehkan hal-hal kecil yang sebenarnya sangat penting. Sedangkan perempuan menutupi kelemahan itu. Fitria teliti. Cara bekerjanya seperti ibu rumah tangga. Dia memastikan pengeluaran dan pemasukan, keteraturan di lingkungan kerja, sampai memarahi pekerja yang agak bandel. Persis seorang ibu ke anak-anaknya. Istriku makin cerewet.

"Sabar, okay?" Sekali lagi kutenangkan wanita itu, sebelum menoleh Doni yang sedang sibuk di depan laptop. "SOP perlu dibenahi. Perhatikan retensi karyawan."

"Budaya kerjanya nanti gak jalan kalau kita lembek."

"Mereka butuh pembiasaan. Pelan-pelan dulu. Mereka keluarga kita."

"Siap, Bang!"

Sebagai ayah bagi perusahaan, aku lebih banyak sabarnya. Pikiranku harus rasional. Aku mulai berubah dari pria liar jadi pria yang lebih bijak. Aku harus memperhatikan perusahaan dari tempat yang lebih tinggi dan lingkup yang lebih luas. Perusahaan bukanlah sekolah dimana orang-orangnya mengejar nilai. Taruhan kami adalah uang. Seorang direktur ibarat sopir yang menentukan mau kemana kami berjalan.

Aku harus sabar sebagai pemimpin.

"Mang Cecep."

"Iya, Pak?"

"Pastikan semua karyawan memakai alat keamanan kerja. Terutama masker. Dan tak boleh merokok saat bekerja. Pastikan juga mendengarkan keluhan mereka. Usaha kita harus professional."

"Siap, Pak!"

"Sekalian pelajari cara membuat laporan. Belajar sama Doni."

Mang Cecep naik jabatan sebagai manajer operasional. Walau hanya lulusan SD, aku tak ragu mengangkatnya. Pendidikan tak menjamin kecakapan seseorang. Mang Cecep sangat penurut. Dia mau belajar tanpa membantah sedikitpun.

"Mas, penjualan kita naik terus." Fitria agak mengeluh gara-gara berita baik. "Supply belum siap. Kita butuh koneksi baru untuk bahan baku."

Aku terdiam sesaat. Kulirik daftar suplier yang selama ini bekerja sama dengan kami. Sejak mengganti model bisnis, kami bukan lagi meubel ecek-ecek. Setiap hari ada penjualan untuk bermacam perabotan desain. Pembeli kami kebanyakan usia muda. Mereka tak suka desain antik.

"Fokus ke pinus, sungkai dan mindi. Jangan beli jati lagi."

"Sekalian beli banyak?"

"Gak perlu nimbun. Kita gak pakai lagi kayu berat. Gak perlu biaya lebih untuk gudang. Lebih baik ambil kontrak berkelanjutan. Kalau mau dibayar di muka, suplier tak boleh menaikan harga untuk pembelian selanjutnya."

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now