File Rahasia

6.8K 868 46
                                    

Setelah Mbak Dyah berlalu, aku tak punya alasan lagi lama-lama duduk di kursi. Ada jadwal bersama Fitria untuk membahas standar gaji dan mengajukannya ke meja investor. Aku mulai sibuk. Tapi di sebelahku, Abidin bergelagat sedang tak mau ditinggalkan.

"Boss mau kemana?"

"Ke ruang CFO. Lima menit lagi ada re-evaluasi."

Si item itu celingukan. Dia menghalangiku saat kaki hendak beranjak.

"Mau ngapain? Jadwalku padat."

"Ada yang penting, Boss."

"Waktumu tiga menit. Sampaikan saja."

Pria itu tidak menjawab. Dia justru memencet layar ponselnya dan mengirim pesan ke seseorang. Aku tahu yang dia hubungi saat ponselku mulai berbunyi.

"Sepertinya sangat penting sampai kamu hubungi istriku. Ada apa?"

Abidin menghela napas. Tidak biasanya si item itu terlihat miris. Ada beban yang dia tunjukan hingga kutelpon Fitria lagi untuk menunda pekerjaan kami.

"Aku ada waktu 30 menit. Sampaikan to the point."

"Hufff ... Boss, ini masalah pribadi. Tolong jangan marah ya?"

"Bicara saja. Waktumu tinggal 29 menit 28 detik."

Abidin bercerita bahwa masalah itu berhubungan dengan pernikahan. Terdengar sensitif. Dia berkata bahwa pendapatannya sekarang belum cukup untuk mulai berumah tangga. Terdengar aneh di telingaku. Karena setahuku, di perusahaan ini tak pernah pusing masalah gaji.

"Gajimu sepuluh juta perbulan, bukan? Dan Clarissa 12 juta. Masih kurang?"

Abidin mengangguk. Dia berkata, "bukannya tidak bersyukur, Boss. Kalau calon istri saya perempuan biasa, uang itu lebih dari cukup. Tapi Clarissa kelasnya beda."

"Iya juga sih. Clarissa seperti angsuran mobil mewah untuk karyawan bergaji rendah. Spek dia ketinggian. Kamu sih, milih cewek gak lihat-lihat."

"Memangnya karena siapa kami jadian?"

Aku pura-pura lupa ingatan.

"Boss, Ayah Clarissa memang sederhana. Cuma pemilik toko kelontong. Tapi kerabat dia tak ada yang miskin. Konglomerat Singapura. Mereka remehkan saya meski Koko sudah setuju. Clarissa dijodoh-jodohin sama relasi mereka. Sama-sama Tionghoa. Makanya Koko menyarankan kami menikah cepat. Biar anaknya gak diganggu lagi."

"Bukannya itu bagus?"

Abidin menggeleng.

"Masalah harga diri boss. Kalau kami menikah dengan keadaan sekarang, Clarissa bisa diremehkan. Aku sih gak apa-apa diremehkan orang. Sudah terbiasa. Tapi kalau Clarissa dan Koko ... bahkan sebelum kami jadian, posisi Koko sudah gak enak, Boss. Gimana nih?"

Aku sudah menangkap garis besarnya. Mirip masalahku dulu sebelum menikahi Ibunya Izra. Tentang harga diri sebagai suami. Abidin mengalaminya. Tapi aku belum punya solusi karena itu sangat pribadi.

"Gak apa-apa, Boss. Saya gak minta perlakuan khusus. Dan saya berpegang teguh tidak korupsi."

"Iya, aku tahu itu."

Seperti yang kubilang, Abidin bekerja sebagai pengawas konstruksi. Selain memastikan presisi bangunan dengan desain, dia juga pastikan bahan material sesuai spek. Rentan korupsi. Bisa saja dia kongkalikong dengan kontraktor untuk menggelapkan uang material. Karena itulah aku tempatkan Abidin di posisi itu.

Dia pria jujur.

Aku tak pikir panjang untuk memberi satu permintaan.

"Berapa pendapatan ideal yang kamu butuhkan?"

Mendadak AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang