Rapat Tiga Hati

5.8K 784 61
                                    

"Menurut anda, negosiasi nanti akan berhasil?"

Di kursi belakang mobil, aku terdiam saat Linda bertanya serius. Rapat nanti sangat penting sampai-sampai melibatkan semua petinggi perusahaanku. Termasuk tokoh politik dan para pesaing kami di dunia property.

"Entahlah, Bu. Ini Indonesia. Kita harus punya basis politik. Kalau mau dapat proyek besar ya harus setor duit ke partai." Aku bicara agak menerawang. Mengingat lagi ucapan Pak Hardi dan Pak Asep. Dua sosok mentor yang membentukku seperti sekarang.

"Proyek dari Silver Bridge nilainya tak main-main, Pak. Dan perusahaan kita jadi satu-satunya operator. Saya yakin, banyak kompetitor mau menjegal. Mereka tak akan rela grup baru seperti kita tiba-tiba jadi raksasa."

Napasku terhela sesaat. Ucapan Linda tidaklah salah. Tapi sebagai CEO, tak ada salahnya menaruh harapan ke seseorang yang paling bisa kami percaya.

Seorang Respati.

Tamu utama di rapat nanti.

"Bu Linda, perusahaan kita pakai basis Internasional. Pak Respati sangat idealis. Dia paling benci korupsi. Dia juga paling benci disuruh tunduk pada siapapun. Toh, setelah jadi Warga Amerika, negara kita tak punya hak lagi memaksa dia."

"Karena itu dia pindah kewarganegaraan?"

Bibirku tersenyum geli. Menyembunyikan cemas akan rapat besar di BKPM. Atau Badan Koordinasi Penanaman Modal jika dipanjangkan. Lembaga negara yang menangani investasi di Indonesia. Tujuan kami setelah ini.

"Pak Handoko, anda akrab dengan beliau, bukan? Pak Respati orangnya seperti apa, sih?" Linda bertanya antusias. Dari nadanya yang tidak natural, kentara sekali wanita itu sedang memancing rasa cemburu.

"Pria itu terlihat kalem di luaran. Bisa dibilang ramah. Tapi dia sangat arogan kalau sampai ada orang menantangnya. Dia tak setengah-setengah urusan bisnis. Mirip-mirip seseorang lah. Bedanya, kalau Pak Respati mensakralkan dunia bisnis, pria itu mensakralkan dunia militer."

"Iya, mereka sangat mirip. Terutama mulutnya kalau melihat wanita cantik," cibir Linda, melirik ketus ke seseorang di depan kami.

Mas Pram pura-pura tuli. Dia masih sibuk di belakang kemudi saat Linda makin bergosip.

"Iya, Pak Handoko. Saya baru sadar dua orang itu sangat mirip. Pak Respati juga genit ke semua perempuan. Bu Herlyn bilang pacarnya banyak. Kok bisa mirip ya? Apa Pram anak pungut?"

"Handoko yang anak pungut. Nemu di hutan." Mas Pram tersinggung. Dia menoleh ke belakang dan menatap Linda sama ketusnya. "Linda, aku tak melirik siapapun selain kamu. Minum alkoholpun tidak. Bisakah kau ramah padaku di depan orang?"

"Ramah ke pria sepertimu?"

"Tolong jangan bahas Respati atau siapalah itu."

"Mas, fokus Mas, fokus."

Aku melerai saat mereka mulai bertingkah seperti bocah. Padahal sudah tunangan. Dua manusia dewasa itu kehilangan identitasnya. Terutama Mas Pram. Dia makin tersinggung menatapku.

"Kamu duduk di sebelahku. Jangan berduaan sama Linda. Bukan muhrim."

"Kan kami bahas bisnis, Mas?"

"Dan kenapa pula aku jadi sopir?"

Aku tak menggubrisnya.

Kucolek pundak Mas Pram yang masih juga uring-uringan.

"Sesuai aplikasi ya, Pak."

***

"Mau protes? Ayo protes ke Fitria kalau berani."

Mas Pram menoleh ke depan. Sejak melamar Linda, istriku makin ketat kepadanya.  Mas Pram pun harus sadar perasaan perempuan yang dijadikan ban cadangan. Seluruh keluargaku pasang mata. Istriku pun menghukum Mas Pram karena ketahuan menyelinap di kamar Linda.

"Linda sendiri mau, kok. Dia sendiri yang nyosor."

"Pram!"

Setelah melewati tol, mobil tiba di Kota Jakarta. Hamparan gedung menyambut kami di antara polusi dan kemacetan. Kota ini tak pernah berubah. Sesak. Mobil kami tak bisa bergerak begitu masuk ke pintu kota.

Laju mobil lebih lambat dari Izra waktu merangkak. Inilah alasanku tak pernah suka Kota Jakarta. Panas. Tak sesejuk Kota Bandung. Suasana itu lebih panas lagi karena orang-orang tak tahu diri.

TIN! TIN!

"Kalian lihat para idiot di belakang kita? Sudah tahu macet masih menyalahkan klakson." Mas Pram menggerutu. Dialah yang paling tak sabaran di antara kami. Mungkin karena tersinggung kami sindir atau entahlah.

Mood-nya sedang buruk.

TIN! TIN! TIN!

"Orang itu minta dihajar."

Aku sontak menepuk pundaknya saat kakakku melepaskan sabuk pengaman.

"Sabar, Mas. Sabar. Kita baru masuk Jakarta. Jangan bikin masalah. Duduk manis, okay?"

TIN! TIN! TINNN!

Mas Pram semakin kesal. Kutahan lagi pundak rampingnya saat hendak keluar mobil. Linda pun menengurnya. Mas Pram urungkan niat dan memilih membuka jendela. Memberi jari tengah ke mobil belakang.

Sebuah BMW yang nampak familiar.

TIN! TIN! TINNNNNN!"

"Ck! Tahu gini aku ke Jakarta naik Tank."

***

Mobil melenggang bebas setelah dua jam terjebak macet. Dua jam pula kakakku menahan amarah karena tingkah pengendara lain. Wajahnya sudah merah padam. Dia seperti ranjau siap meledak. Linda yang baru tahu perangai aslinya, diam-diam berbisik padaku.

"Apa Pram seperti itu?"

"Kalau ada rekor menghajar orang tanpa alasan, Mas Pram dapat Guinness Book of Record. Hobinya sejak kecil. Kalau tidak kita tahan, pengendara tadi masuk UGD."

"Dia kasar ke perempuan?"

Aku menggeleng pelan.

"Sekejam-kejamnya Mas Pram, dia tak pernah memukul perempuan."

"Iya, aku tak pernah main tangan ke lawan jenis." Mas Pram menanggapi. "Tapi kalau main jari sering. Kamu juga suka, bukan?"

"Pram!" Gantian Linda yang merah padam. "Berhenti bersilat lidah!"

"Bukannya kamu suka lidahku semalam? Kepalaku sampai kamu benam-benam—

"Kyaaa! Jangan cerita!"

Mas Pram berhenti bicara setelah Linda menjambak-jambak dari belakang.

Galak juga wanita ini.

Tanpa terasa, mobil tiba di Gatot Subroto. Mas Pram menyetir pelan saat memasuki pintu gedung Kementrian. Lebih tepatnya gedung BKPM dimana rapat kami akan terselenggara. Suasana sudah ramai. Aku melihat beberapa mobil yang kukenali sudah terpakir di depan gedung. Salah satunya mobil Pak Hardi, sosok chairman di grup kami.

"Aulia ikut ayahnya?" Mas Pram bertanya sambil melihat ke arah yang sama.

"Iya, tuh orangnya."

Bukan hanya kami, sosok Aulia memancing mata seluruh orang di tempat parkir. Mau bagaimana lagi? Jarang-jarang ada bule berjilbab di negara ini. Apalagi kulit putih secantik dia.

Aku cemas. Kulirik Linda yang pelan-pelan mendekati Mas Pram. Dia rangkul siku calonnya saat si bule datang menyapa. Suasana kontan mencekam saat keduanya bertemu pandang.

"Selamat siang, Bu Linda. Terima kasih meringankan tugas saya tahun ini," ucap Aulia dengan logat yang mulai fasih. Dia lirik kakakku dan bicara agak mencibir. "Saya tak tahu harus berduka atas kematian calon istri anda atau berbahagia melihat anda bersama Bu Linda. Secepat itukah?"

Mas Pram tidak canggung sedikitpun. Dia justru merangkul Linda untuk menjawab sindiran itu.

"Laki-laki juga bebas memilih. Bukan hanya perempuan."

"Dan perempuan juga bisa agresif. Bukan hanya laki-laki. Anda mau bukti?"

Linda langsung pucat. Gayanya seperti anak kecil yang mainannya hendak direbut. Aulia kontan tertawa dan bicara dengan ramahnya.

"Saya hanya bercanda, Bu Linda. Tenang saja. Saya masuk duluan, ya?"

Mendadak AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang