Puncak Perlawanan

888 130 0
                                    

Suasana semakin tegang. Beberapa orang berwajah pucat, beberapa lagi menatapku penuh dendam. Inilah tantangan seorang auditor. Mereka harus berani berkonfrontasi seperti layaknya seorang petarung.

Aku tak takut.

Kubalas tatapan itu dan berkata, "kalian mau apa? Ngajak ribut? Ayo!"

"Aku tak tahan lagi! Ini bukan rapat umum! Ini pengadilan!" Seorang manajer teriak-teriak. Penuh amarah dia beranjak, setelah sekilas memberi tatapan bernada mengancam.

Suasana semakin riuh. Rapat yang seharusnya elegan berubah jadi lomba saling menatap.

Dan aku pemenangnya, hahahaha!

Suasana mulai kondusif setelah kutelanjangi mereka satu persatu. Bukan hanya catatan buruk, aku juga sampaikan catatan baik dari kinerja beberapa divisi. Kulihat senyum puas para manajer yang mendapatkan raport cemerlang. Dan setelah menangani manajemen menengah, tiba waktunya kusampaikan catatan buruk dari kinerja top management.

Kinerja buruk dari seorang direktur tua, yang kasusnya lebih tebal dari kamus bahasa Zimbabwe.

"Saya sudah mengulas 40 lembar catatan evaluasi middle management. 40 halaman tersisa adalah detail evaluasi kinerja dari salah satu direktur kita."

Nyoto langsung angkat suara.

"Kamu itu siapa berani mengkoreksi saya, hah!"

"Saya tidak menyebut nama anda. Kok anda sudah merasa?"

Si Nyoto kelabakan. Dia kontan berdiri setelah mendengar suara tawa.

"Saya ini direktur!"

"Saya auditor yang bekerja sesuai AD/ART dan persetujuan pemegang saham. Di ruang ini, posisi saya lebih tinggi dari anda."

"Saya tak terima! Hanya pemegang saham yang berhak mengatur saya!" hardik Nyoto, memberi tatapan memohon ke arah istrinya. Sudah pasti si ibu menor membelanya.

"Saya juga pemegang saham. Top management bukan wilayah anda. Saya yang berhak menentukan kinerja direktur baik atau buruk."

Aku merasa tak nyaman. Kulirik Prasojo yang makin diam setiap kali si perempuan tua berbicara. Wajahnya nampak tertekan. Aku mulai merasa perempuan itulah alasan Prasojo menyewa jasaku. Andai bibinya bukanlah pemegang saham, Prasojo tak mungkin repot-repot menggunakan tangan dan mulut orang ketiga.

Dia memberi gestur sedang tak bisa membelaku. Diam-diam kuberi pesan padanya untuk meminta persetujuan.

"Boleh saya atasi sendiri?"

"Iya, untuk itulah anda dibayar."

Kutatap mata si perempuan tua dan berkata, "keputusan Pak Prasojo mempekerjakan saya sudah mewakili suara mayoritas. Ini sesuai Undang-Undang yang berlaku tentang RUPS. Saya harap anda menghormatinya."

"Suara mayoritas darimana? Hanya Bu Rahman dan Prasojo yang tanda tangan!"

Aku agak panik. Aku mulai ragu dengan persiapan Prasojo akan rapat ini. Kulirik satu pemegang saham tersisa yang berwujud si pria tua.

"Ada tanda tangan Bapak juga di surat tugas saya, bukan? Evaluasi ini resmi karena ada tanda tangan tiga shareholder."

Istri Nyoto seperti orang kerasukan setan. Aku yakin, sampai detik ini, belum pernah ada yang berani melawannya. Dia menatap si pria tua. Tanpa rasa malu ia mengancam pak tua itu. Uang selalu menang, katanya. Pria tua itu pun mulai goyah saat Nyonya Nyoto menyebutkan nominal hutang.

"Sa-saya tarik keputusan saya," ucap pak tua terbata.

"Tapi anda sudah tanda tangan!" Aku membantah.

"Tanda tangan itu saya anulir. Tolong coret sekarang juga."

Prasojo kaget. Begitupun ibu-ibu berjilbab yang juga dikhianati si pak tua. Suara chairman terpecah dua. Fifty fifty. Aku tak bisa lanjut bicara karena secara hukum aku tak berhak.

Bagaimana ini?

Apa semua harus berhenti sampai di sini?

Pantas saja si Nyoto tak bisa disentuh!

Beruntungnya, di tengah suasana genting itu. Seorang pengusaha besar diam-diam menyenggol kakiku.

"Tenang saja, Pak Handoko. Ada saya di sini." Respati berbisik.

"Tapi Bapak hanya tamu di sini. Dan sesuai Undang-Undang ..." Aku potong ucapanku sendiri saat Respati menendang kakiku lagi.

Pengusaha besar itu tersenyum ramah padaku. Kharismanya memberi ketenangan aneh, dan rasa percaya diri yang terasa sangat asing.

"Jangan terlalu lurus. Kita bukan lembaga pemerintahan, Pak Handoko. Kita pebisnis. Dan anda dibayar untuk kreatif."

Aku terkesima dengan level kepemimpinannya. Saran singkat itu membuat pikiranku kembali jernih. Karena Respati, dalam sekejap aku mendapat inspirasi, untuk membungkam mulut si chairman angkuh.

Kutatap tajam si menor itu dan berbicara dengan gayaku.

"Bu Nyoto, sepertinya anda lah yang harus tahu diri di rapat ini."

***

Kenapa pengusaha sehandal Prasojo bisa tunduk pada Bu Nyoto?

Itulah misteri yang baru terjawab belakangan ini.

Prasojo memang mewarisi jiwa pebisnis keluarganya. Tapi tidak untuk harta berbentuk fisik. Pria itu tidak diwarisi uang, perusahaan, mobil, rumah, tanah dan segala aset yang bisa dilihat. Awalnya aku heran. Tapi setelah Pak Asep bercerita, kini aku tahu kenapa anak yang lahir sebagai orang kaya akan mati sebagai orang kaya pula.

Manusia normal pasti berpikir bahwa anak orang kaya akan diwarisi harta dari kedua orang tuanya. Faktanya, pemikiran itu adalah pola pikir orang miskin. Orang kaya punya pola pikir sendiri tentang cara mendidik anak, yang jauh berbeda dari bayangan kebanyakan orang.

Orang kaya pun tahu bahwa roda kehidupan selalu berputar. Tapi mereka juga tahu sebuah cara agar roda itu selalu di atas. Mereka tak mau memanjakan anaknya dengan harta. Mereka memilih mendidik anak-anaknya dengan pola pikir, wawasan, kepribadian, skill, serta mentalitas yang tak mungkin diajarkan di sekolah umum.

Anak pengusaha kaya harus bisa mencetak uang sendiri. Kalaupun mereka mau memakai harta orang tua sebagai modal, mereka harus tahu bahwa bisnis adalah bisnis, keluarga adalah keluarga.

Pertanyaannya, jika uang itu tidak diwariskan ke anak-anaknya, harta orang tua Prasojo diwariskan ke siapa?

Untuk kasus boss besarku, uang itu diwariskan ke saudara kandung sang ayah, yang kebetulan istrinya Nyoto. Karena itulah Prasojo tak berani bertingkah karena dia sadar dari siapa uangnya mengalir. Dan karena fakta itu pula, pria itu mempercayakan langkah caturnya padaku, untuk melawan bibinya sendiri.

"Bu Nyoto, sepertinya anda lah yang harus tahu diri di rapat ini."

"Apa kamu bilang?" Ibu-ibu itu mengintimidasi.

Aku bersikap setenang mungkin. Aku makin berani karena di belakangku ada Prasojo dan Respati.

"Bu Nyoto, anda sudah tahu RUPS ini membahas pembentukan Group, bukan?"

"Iya, jangan mengajari saya dan segera pergi dari tempat ini."

Aku berusaha untuk tidak tersinggung. Seperti suaminya, orang itu muka badak.

"Anda sudah tahu modalnya berapa dan mengalir dari siapa, bukan?"

"Iya. Memangnya kenapa?"

Aku mulai kesal. Kukeraskan volume suaraku saat berkata, "seharusnya anda juga tahu kalau penguasa di sini bukan anda, melainkan Pak Respati!"

Si menor itu tak berani bicara saat Respati tersenyum padanya. Senyum ramah yang menakutkan. Tapi dia masih bersikukuh saat kembali menatap mataku.

"Tapi undang-undang sudah jelas. Kamu tak berhak bicara lagi di rapat ini."

"Kalau Pak Respati meminta saya tetap di sini, anda masih berani mengusir saya? Lakukan jika anda punya nyali."

Mendadak AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang