Bau Bau Duit

9.9K 1.3K 41
                                    

"Iya Pak. Saya sudah agendakan bersama Pak Handoko. Untuk worksheet produksi sudah saya cantumkan di laporan," kata istriku sambil hilir mudik.

Fitria bersikap formal di balik piyama imut bermotif kelinci. Lucu sekali. Aku tertawa dalam hati karena baju kekanakan itu sangat berlawanan dengan sikapnya.

"Sekitar 600 juta, Pak. Itu perkiraan awal. Untuk detailnya bisa bapak baca di laporan kuartal. Sudah saya kirim via email."

Aku tak bisa berhenti tersenyum. Perkembangan istriku terlalu cepat. Rasanya baru kemarin dia masih perempuan pendiam yang bicarapun sering gagap. Dan bukan hanya aku, Ibupun melihat menantunya dengan tatapan terheran-heran.

"Si Nduk kok bisa gitu, ya?"

"Bisa gitu gimana, Bu?"

"Itu loh, cara ngomongnya seperti di TV TV. Sikapnya juga kalem. Memangnya si Nduk ikut kerja?"

"Iya. Dia kerja bantu aku."

Ibu melirikku dan Fitria bergantian. Entahlah apa pikirannya.

"Kok gak bilang ibu?"

"Lah ibu gak pernah tanya."

Beliau cemberut. Ibu cubit pipiku sambil memberi tatapan trenyuh.

"Ibu ini gak tanya karena takut, Le. Iya kalau pekerjaanmu bagus. Kalau misalnya kalian susah, pertanyaan Ibu kan nambah beban pikiranmu?"

"Memangnya Ibu bayangin apa?"

"Ibu bayangin kamu kerja kasar. Jungkir balik ngasih makan Izra dan Fitria."

Kali ini aku tersenyum karena hal lain. Bayangan ibuku tidaklah salah. Tapi masa-masa itu sudah kulalui sebelum kami menikah. Kucium pipi ibuku, memberi kesan bahwa aku tak akan memberi bayangan buruk.

"Pekerjaanku bagus kok, Bu. Doakan aku sukses ya?"

"Kamu ini sudah gedhe masih manja saja sama ibu." Jemari ibu mengacak-acak rambutku. Beliau lirik Fitria lagi untuk menuntaskan rasa penasarannya. "Terus, si Nduk bagian apa?"

"Dia sekretarisku, Bu," jawabku setengah berbohong.

"Lah posisimu?"

"Manajer." Aku berbohong lagi.

Ibuku terbelalak. Jabatan itu pasti di luar perkiraannya. Ibu berbeda jauh dibanding ayah soal ini. Jika ayahku kalem soal pekerjaan, ibu masih terbawa watak kakekku yang mengedepankan urusan prestise.

Makanya aku berbohong. Jika jabatan manajer saja sudah membuat ibu megap-megap, tak bisa kubayangkan apa reaksinya kalau beliau tahu bahwa aku seorang direktur.

"Tenan toh le? Aduh anakku lanang."

"Iya, Bu. Tapi semua karena Fitria. Dia yang ngurus aku bahkan sebelum kami menikah. Dia bantu urus keuangan, kebutuhan rumah tangga, dan selalu belajar dampingi aku. Dia itu pinter ngatur uang, Bu. Mantumu itu juga perhatian. Fitria jadi cerewet kalau aku lupa makan atau penampilanku amburadul."

Ibuku langsung mewek. Dia lirik lagi si menantu yang masih sibuk menelpon Pak Asep.

"Lah pantesan anakku ini makin dewasa. Belum nikah saja sudah jadi kepala rumah tangga. Tapi kalau hubungan kalian sedekat itu, si Nduk gak kamu apa-apain kan sebelum nikah?"

"Astaga tanya itu lagi?"

Ibuku terbahak-bahak. Beliau jewer telingaku dan berkata, "pokoknya si Nduk gak boleh hamil dulu. Mengerti?"

"Lah kan dia gak hamil toh Bu? Dokter sudah pastikan kok."

"Karena itu mulai sekarang harus hati-hati. Awas kalau mbablas!"

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now