Ruang Interview

8.1K 1.2K 23
                                    

Aku duduk di ruang tunggu bersama beberapa orang seumuran istriku. Fresh graduate. Aku jadi ingat lima tahun lalu posisi kami sama persis. Sama-sama mencemaskan masa depan dan bayang buruk andai kami tidak dapat pekerjaan. Wajah mereka harap-harap cemas. Aku merasa jadi alien di tempat itu karena aku saja yang ekspresinya terlalu tenang.

"Yang bernama Indah Hartini silahkan masuk!" kata perempuan yang baru membuka pintu ruangan.

Seorang gadis beranjak. Wajahnya terlihat tegang. Dia menelan ludah saat kakinya mulai melangkah. Ruang personalia itu seperti eksekusi hidup dan mati. Tak ada seorangpun yang bersuara. Membosankan sekali. Aku geli melihatnya dan coba mencolek orang sebelah.

"Nama saya Handoko. Kalau boleh tahu, nama anda siapa?"

Orang itu tak langsung menjabat. Dia nampak heran dengan caraku bersikap.

Oppsss ... Aku lupa kalau di tempat ini aku bukan lagi eksekutif.

"Hahahaha, Namaku Handoko. Kamu siapa?"

"Aku Abidin," jawabnya dengan masih sedikit heran.

"Baru pertama melamar?"

Abidin mengangguk. Dia nampak tertekan.

"Santai saja, jangan terlalu tegang. Nanti malah gagap di wawancara."

"Memangnya Bang Handoko sering melamar?"

Dia semakin heran karena aku memberi gelengan.

"Aku juga baru pertama melamar kok. Kemarin-kemarin nganggur lama," jawabku sebisanya.

"Oh, berarti kakak angkatanku dong?"

"Iya. Umur kita cuma beda lima tahunan. Santai saja. Gak perlu terlalu formal." Aku bicara seolah-olah formalitas itu bukan aku yang memulainya.

Sebenarnya, pembicaraan itu untuk mengalihkan perhatianku sendiri akan rencana Pak Prasojo. Entah kenapa aku disuruh mendaftar kerja seperti anak-anak baru lainnya. Aku tak boleh overthinking. Aku harus menikmati proses. Dan pembicaraan itupun berakhir ketika nama Abidin mulai dipanggil.

"Doakan ya Bang, aku berharap banyak di perusahaan ini."

Jempolku teracung. Abidin masuk ruangan dengan mood berbeda setelah kami berbicara. Abidin anak cerdas. Dia tak asing dengan beasiswa. Pemuda itu juga punya motivasi kuat karena posisinya sebagai tulang punggung. Dia SDM ideal. Aku yakin dia diterima. Tapi yang tak kusangka, Abidin justru keluar dengan langkah yang sangat berat.

"Bagaimana?"

Pemuda itu menggeleng. Dia hela napas panjang begitu kembali ke tempat duduk.

"Apa mereka buta?"

"Gak apa-apa Bang. Mungkin tahun depan aku ada kesempatan lagi. Untuk sementara biar bantu emak di sawah."

"Hah? Kenapa gak cari kerja di tempat lain?"

Napasnya terhela lagi.

"Sejak SMA aku ingin kerja di sini, Bang. Aku kuliah di teknik sipil walaupun orang tuaku miskin. Untuk beli komputer saja aku kerja sampingan. Tapi mau gimana lagi? Semoga aja tahun depan bisa keterima."

Selama jadi direktur, aku pengalaman membaca potensi seseorang dari cara mereka bersikap, berbicara, bahkan dari cara berjabat tangan. Apalagi Pak Asep sendirilah yang melatihku. Doni pun punya andil besar pada isi kepalaku, dari wawasanya sebagai anak konglomerat.

Gila. Bisa-bisanya calon SDM sebagus Abidin mereka sia-siakan?

Perusahaan ini tak beres!

"Yang bernama Handoko Dwi Dharma, silahkan masuk."

Aku tidak tahan. Kuminta nomor Abidin saat namaku mendapat panggilan.

"Jangan pulang dulu. Nanti kita bicara di kantin."

***

Ruangan personalia itu cukup mewah. Meski tak semewah kantorku dulu setelah upgrade. Tapi fasilitas itu tak sebanding suasana hatiku. Ruang kantor itupun tak selaras dengan nuansa penghuninya, yang nampaknya para staff personalia.

Ada tiga orang di ruangan itu. Di bangku tengah ada pria pertengahan 30-an. Di kanan kirinya ada dua pekerja perempuan yang terlalu cantik sebagai asisten. Pria itu memaksakan wibawanya. Dia bolak balik dokumen lamaran yang sebelumnya aku serahkan.

"Anda kuliah di Surabaya. Prestasi anda cukup bagus di sana. Kenapa mau bekerja di sini? Kenapa tidak di Surabaya?"

Sebuah pertanyaan di luar standard. Aku menjawabnya setenang mungkin.

"Surabaya zona nyaman saya. Akan lebih optimal jika saya bekerja di tempat jauh. Bandung kota terbaik, dan perusahan ini pilihan terbaik."

"Alasannya?"

"PT. Griya Cipta Laksana adalah perusahaan yang menguasai 40% marketshare property menengah ke bawah di Jawa Barat. Masa depan perusahaan ini jelas. Dan logis bagi saya memilih perusahaan terbaik untuk meniti karir."

Sebelah alisnya terangkat. Begitupun dua asisten seksi yang saling menoleh heran. Aku tahu jawaban itu tak mungkin keluar dari mulut pekerja baru. Tapi aku tidak menahan diri dan memilih menjawab apa adanya. Pria itu tersenyum simpul. Dia lanjutkan interview dengan deretan pertanyaan klise.

"Deskripsikan diri anda."

"Saya bisa menjamin integritas pribadi, loyalitas dan etos kerja di perusahaan ini. Sekaligus kemauan belajar." Aku menjawab klise.

"Apa yang anda ketahui tentang perusahan ini?"

"Tadi sebagian sudah saya sebutkan. Perusahaan ini memiliki pengembangan pesat walau sentimen pasar agak menurun di sektor real. PT. Griya Cipta Laksana berada di titik lepas landas. SDM baru berkualitas sangat dibutuhkan di setiap lini manajemen. Dan itu motivasi saya untuk bekerja di perusahaan ini. Tempatkan saya di operasional, seperempat masalah perusahaan beres. Silahkan baca CV dan track record."

Satu persatu pertanyaan kujawab dengan tenang dan lugas. Termasuk pertanyaan sensitif soal gaji yang aku minta. Aku tak peduli walau jawabanku terlalu canggih. Tapi aku tidak bilang bahwa sebelumnya aku adalah seorang CEO. Dan seperti yang kuduga, ketenangan itu justru berbuah penolakan.

"Maaf, Saudara Handoko. Perusahaan kami belum bisa menerima anda. Kami hanya menerima fresh graduate."

Mataku terpicing sejenak. Pria itu agak terintimidasi dengan caraku menatap matanya. Aku tahu ada yang tidak beres di interview ini. Aku bisa membacanya dari gestur dua asisten yang tak berani menatap mataku. Kejanggalan itu juga bisa kubaca dari para calon pekerja yang lebih dulu memasuki ruangan.

Mereka pikir aku tak tahu?

Sebagian besar calon pekerja yang mereka terima adalah perempuan muda yang penampilannya di atas rata-rata. Sebagian lagi beberapa orang yang duduk tenang karena alasan yang sangat kentara. Yeah, kekuatan orang dalam. Gaya-gaya songong itu hanya ditujukan oleh calon pekerja yang kebetulan punya kenalan. Aku mulai tahu alasan Pak Prasojo memintaku memulai karir sebagai seorang pelamar biasa.

"Oh iya, Pak Anam," kusebut nama pewawancara itu. "Ada satu pertanyaan yang seharusnya anda tanyakan ke saya kalau mengikuti protokol HRD. Saya pikir anda lupa menanyakannya."

Dahi pria itu terkernyit. Asisten perempuan yang biasanya memanggil peserta juga batal menuju pintu. Dia menoleh sejenak karena terpengaruh pertanyaanku.

"Biasanya pewawancara meminta feedback dari calon pekerja untuk menguji seberapa peduli mereka dengan baik buruk perusahaan ini. Dan itu pertanyaan terakhir sekaligus evaluasi terpenting di proses wawancara. Kenapa tidak anda tanyakan?"

Ketiganya saling menoleh seperti orang idiot. Mataku terpicing tajam bersama nada rendah yang sangat tegas. Aku paling benci tipe tipe orang seperti mereka. Dan kebencian itu terus aku sampaikan, dari intimidasi yang semakin mereka rasakan.

"Pak Anam, perusahaan ini pakai balance scorecard, bukan? Seharusnya anda baca requirement dari HRD, bukan? Kok yang diterima gadis-gadis model? Anda ini niat bekerja atau bagaimana?"

Pria bernama Anam itu menelan ludah. Dia minta asistennya keluar ruangan. Setelah hanya ada kami berdua, dia bertanya agak panik.

"Maaf, anda auditor?"

Mendadak AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang