Memberi Harapan

23.7K 2.3K 33
                                    

"Duh, yang baru kencan. Begitu dong. Sekali-kali istrinya diajak keluar." Seseorang langsung berkomentar begitu kami tiba di depan kontrakan.

"Dia bukan istri ..."

Kujeda ucapanku sendiri karena yang meledekku adalah ibu-ibu pemilik kontrakan.

Bu Eulis senyum-senyum melihat kami jalan berdampingan. Berlawanan dengan ekspresiku, Fitria menyapanya ceria sambil memamerkan hasil buruannya.

"Neng Fitria senang hari ini?"

"Iya, Bu! Tadi beli baju banyak!"

Dia pamerkan tas belanjaan seperti anak kecil.

"Sana dicoba dulu di kamar. Ibu mau ngobrol sama Mas Handoko."

Aku terkesima melihat Fitria. Makin kusadari ibu muda itu jadi sosok berbeda dibanding dirinya sebulan lalu. Ada rasa bangga karena perubahannya. Ada desir di dadaku yang membuatku tanpa sadar mengamatinya. Dan saat mataku terpaku, ternyata Bu Eulis memperhatikanku dengan ekspresinya yang agak aneh.

"Mas Handoko?"

"Ehem! Uh, maaf Bu. Ada yang mau ibu sampaikan?"

Bu Eulis menatapku dengan senyum keibuan. Ada raut kesedihan yang kutangkap saat beliau memperlisahkanku duduk. Aku tak tahu apa yang ingin beliau bicarakan. Tapi aku harus pasang telinga karena pasti ada sesuatu yang sangat penting.

"Mas Handoko tahu? Selama ini teh ibu memperhatikan Mas Handoko sama Neng Fitria."

"Memperhatikan gimana,Bu?" jawabku agak cemas.

Aku mulai takut kehadiran kami mungkin tak berkenan bagi beliau. Setelah menghela napas, kuutarakan kecemasanku dengan kalimat sesopan mungkin.

"Fitria masih bisa tinggal di sini kan, Bu?"

Bu Eulis sejenak bengong sebelum tertawa. Beliau memberi gelengan kepala, yang menunjukan bahwa kecemasanku tak beralasan.

"Ibu teh justru senang ada Neng Fitria. Ibu jadi ada temannya sejak Risma kuliah," ucap Bu Eulis, menyebut nama puteri tunggalnya. "Yang ibu maksud itu, Mas Handoko teh perhatian pisan ke Neng Fitria. Jarang-jarang ada lalaki mau bantu istri ... maksudnya mau bantu perempuan di dapur mah. Mas Handoko bahkan langsung bantu dia begitu pulang dari tempat kerja."

"Ooo ... saya kira apa, hahahaha," jawabku masih gerogi. "Mengurus anak itu susah, Bu. Dan Fitria juga banyak pekerjaan rumah. Tak pantas rasanya saya cuma duduk diam saat dia sedang sibuk."

Entah kenapa wajah Bu Eulis semakin murung.

Ada yang salah dari jawabanku?

"Mas Handoko punya pacar?"

Spontan aku menggeleng. Dan entah kenapa pula gelengan itu mengundang senyum.

"Ibu dan Neng Fitria hampir senasib, Mas. Ibu hidup berdua dan bekerja sendiri demi Risma. Tapi ibu masih punya saudara. Masih punya kakek neneknya Risma. Om dan tantenya. Sedangkan Fitria tidak punya siapa-siapa lagi selain Mas Handoko."

Sampai disini aku berusaha menahan gerogi. Kalimat terakhir itu terdengar seperti tanggung jawab besar yang Bu Eulis kemas dalam pujian. Aku sadar itu. Namun yang tidak aku pahami, Bu Eulis berkali-kali menghela napas seakan ada sesuatu yang segan untuk beliau sampaikan.

"Apa Mas Handoko tidak terpikir untuk..."

"Berpikir untuk apa, Bu?"

Aku benar-benar gerogi sekarang.

Pikiranku sedikit panik saat Bu Eulis menjeda kalimatnya sendiri. Mungkin mau menaikan sewa atau entahlah. Aku cemas sekalipun siap. Namun anehnya, setelah sekian lama nampak menimbang, beliau justru beranjak sambil menggelengkan kepala dan sejenak menghela napasnya.

"Mas Handoko teh polos. Lelaki dan perempuan itu berbeda. Lain kali hati-hati, nya? Kasihan Neng Fitria jadi berharap."

***

Berharap?

Berharap apa?

Pagi inipun kalimat ibu kontrakan masih terngiang di telingaku. Rasanya ada yang janggal. Di halaman rumah, aku melamun menimang Izra gara-gara sikap Bu Eulis. Fitria pun tak membantu saat aku menanyakannya. Dia terkesan menghindari topik itu seakan ada sesuatu yang tak boleh aku tahu.

"Fitria, aku ada salah ya?"

"Serius gak ada apa-apa, Mas?"

"Kalau aku salah, bilang ya? Aku minta maaf."

"Dibilangin gak ada apa-apa, kok."

"Kok kata Bu Eulis kamu berharap?"

"Aaaakkh! Gak ada apa-apa!"

Aku makin gelisah saat Fitria agak terburu lari ke dapur.

"Berangkat kerja, Mas Handoko?" Seseorang menegurku. Pria berpeci itu melambaikan tangan saat aku menolehnya.

"Iya, Pak," jawabku sambil menimang Izra yang langsung tertawa melihat Pak RT. "Iuran bulan ini jatuh sekarang, kan Pak?" lanjutku sambil melirik kertas laminating yang dia jepit di ketiak.

"Ah, Mas Handoko ini ceplas-ceplos. Saya jadi enak, hahahaha!"

"Saya juga enak Pak, hahaha!"

Pria bersahaja itu menaruh tangan di pipinya dan bicara agak berbisik. "Selama Mas Handoko rajin ikut ronda, iuran dua bulan kedepan saya gratiskan."

"Serius, Pak?"

"Hahahahaha, maling mah takut duluan lihat Mas Handoko," kata penguasa komplek itu sambil memperagakan gaya seorang bina raga. "Istrinya ... Uhuk! Maksud saya Neng Fitria mana?"

Alisku agak terkernyit. Pria itu orang kedua yang hampir keceplosan bicara.

"Di dapur, Pak."

Pak RT terbahak lagi. Aku tak mempermasalahkan sikapnya karena kata "gratis" yang baru terucap. Setelah menyapa Fitria, pria itu pergi ke rumah tetangga dan melanjutkan basa-basi demi iuran bulanan.

"Mas, bekalnya."

Penuh senyum Fitria menyerahkan kotak bekal. Penuh senyum pula kuserahkan Izra ke gendongannya.

"Ada kebutuhan urgen untuk minggu ini?"

"Gak ada, Mas."

Mataku memindai buku catatan yang Fitria tunjukan. Semuanya rapi, kecuali beberapa hal yang perlu dibenahi.

"Mulai sekarang tambah anggaran untuk makan sehari-hari. Sepertinya uang kita cukup untuk beli beberapa potong daging ayam."

"Mas yakin?"

"Iya. Jangan terlalu pelit pada diri sendiri."

Fitria membalas kalimat itu dengan wajah merona merah. Seminggu ini dia seperti orang lain. Perempuan itu selalu tersenyum ceria, selalu antusias bicara, seakan dia tak pernah punya masalah. Seharusnya aku senang. Tapi ada sensasi aneh yang kurasakan setiap kali senyum itu dia tunjukkan.

"Mas kenapa? Kok bengong?"

"Gak apa-apa, aku senang kamu ceria terus."

Fitria mengalihkan wajah. Dia juga alihkan topik saat seseorang tiba dengan motor tuanya. Mang Cecep datang menjemput. Seperti biasa, rekan kerjaku itu mengajak bicara sambil melihat kaca spion.

"Neng Fitria ceria sekali pagi ini. Semalam berapa ronde?"

Mendadak AyahNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ