Spiritual Quotient

7.5K 1.1K 76
                                    

"Pak Handoko, menurut anda, bagaimana cara pandang masyarakat terhadap orang kaya?"

"Cara pandang masyarakat?"

"Iya. Orang-orang di sekeliling kita yang kebetulan hidup berkekurangan."

Aku berpikir sejenak. Pak Hardi hampir mirip Pak Asep yang menyukai obrolan filosofis. Mungkin karena persamaan usia atau entahlah. Akupun menjawabnya dengan jawaban sekomplit mungkin.

"Rata-rata orang miskin memandang orang kaya sebagai golongan yang suka berhura-hura, memandang tinggi gengsi dan sangat arogan. Pandangan itu juga didukung oleh media hiburan seperti sinetron dan novel-novel. Banyak media yang menggambarkan orang kaya dari sudut pandang orang miskin."

Sudut bibir CEO itu sedikit naik. Dia bertanya, "bagaimana jika orang yang punya cara pandang itu tiba-tiba mendapat uang?"

Aku sedikit bingung. "Maksudnya?"

"Bagaimana jika ada orang miskin yang menganggap orang kaya golongan sombong, tiba-tiba mereka sendiri yang jadi kaya?"

Aku tak punya jawaban apapun untuk pertanyaan itu. Pak Hardi memahaminya. Beliau pun menjawab sendiri pertanyaannya, setelah sejenak melirik Pak Asep.

"Orang-orang itu akan jadi sombong, Pak Handoko. Mereka akan jadi hedonis, dan suka Merendahkan orang lain. Persis seperti cara pandang mereka sendiri. Karena anda tahu? Saat kita berpikir buruk tentang orang lain, sebenarnya kita ini sedang bercermin. Orang sombong selalu benci orang sombong lain."

Dahiku langsung terkernyit. Jawaban Pak Hardi mengingatkanku pada sikap kerabatku sendiri yang terjun di dunia politik. Memang benar. Para kerabat itu jadi angkuh sejak jadi orang kaya. Bahkan kepada ayahku yang notabene pernah membantu mereka.

"Pak Handoko, di level anda sekarang, belajarlah spiritual."

"Agama?"

Pak Hardi menggeleng.

"Spiritualitas dalam agama juga ada. Tapi hanya dipelajari orang-orang di level tinggi. Contohlah Kyai, Biksu, Pemangku, tinggal sebut. Mereka orang-orang yang hidupnya adem. Spiritualitas itu kemampuan memahami kehidupan. Kita harus pandai membaca hal tak tertulis. Anda pasti tahu konsep IQ, EQ dan SQ, bukan? Pemimpin seperti kita harus punya Spiritual Quotient."

Aaah, aku paham arah pembicaraannya. Ternyata spiritualitas yang beliau maksud adalah kedewasaanku selama ini sebagai pemimpin. Hal-hal yang dulunya membuatku takut, marah, cemas, saat ini tidak lagi. Karena aku makin bisa memahaminya. Aku ditempa oleh berbagai konflik, tekanan, harapan, dan segala hal yang terus bertumbuh.

Pasti karena itulah Pak Hardi menceramahiku. Seorang pemimpin wajib memiliki kecerdasan otak, kecerdasan emosi, dan yang paling penting, kecerdasan spiritual.

"Anda tahu kenapa spiritualitas itu penting sebagai pemimpin? Karena Pak Nyoto adalah contohnya. Beliau itu dulunya miskin."

Sebelah alisku langsung naik. Karena sejauh yang aku tahu, Nyoto adalah paman dari Pak Prasojo dan Doni. Secara logika dia kaya sejak awal. Tapi mendengar cerita dari Pak Hardi, sepertinya ada hal lain yang belum kutahu dari si botak itu.

"Ayahnya Pak Prasojo punya kakak perempuan. Dan beliau itu istrinya Pak Nyoto. Sekaligus pemegang saham di perusahaan kita."

Oh, dia kaya mendadak karena menikahi perempuan kaya? Klasik sekali. Pantas saja songong.

"Sebenarnya kurang baik membicarakan masalah pribadi orang lain. Tapi ini sangat berhubungan dengan tugas anda, Pak Handoko."

Aku terdiam. Kini aku tahu kenapa Pak Asep tak banyak bicara pada si Nyoto.

"Iya, Pak. Saya tahu. Saya siap dengar."

Hari ini aku bertemu lagi dengan Dirut dan Direktur Produksi PT. Griya Cipta Laksana. Ada Linda di sebelahku. Aku yakin mereka tahu masalah pribadi antara aku dengan Direktur Marketing. Pembicaraan itu sangat tertutup. Kami bahkan reservasi semua meja agar tak ada pelanggan lain di restoran itu.

Tapi ada yang mengganjal di kepalaku. Aku agak tak nyaman karena Pak Prasojo juga masuk daftar undangan.

"Apa Pak Prasojo tidak keberatan kita bicarakan ini?" tanyaku pada CEO itu.

Pak Hardi tersenyum sekilas. Beliau menatap Pak Asep dan mengangguk, sebelum kembali menoleh padaku.

"Justru karena inilah anda kami rekrut di perusahaan kami, Pak Handoko. Posisi anda bukan sekedar mengaudit. Posisi anda adalah—

"Menyingkirkan orang-orang bermasalah dari perusahaan saya termasuk paman saya sendiri." Seseorang datang memotong. Kami berempat langsung berdiri dan menjabat tamu utama di meja kami.

Pak Prasojo tak tersenyum sedikitpun. Beliau langsung duduk setelah menyerahkan amplop bersegel merah. Sebuah dokumen rahasia. Pria seumuran Mas Pram itu tak suka berbasa-basi. Dia berbicara pada intinya, setelah dokumen itu sudah masuk dalam koperku.

"Saya mau rombak total perusahaan ini dan mengubahnya jadi group. Segera singkirkan Nyoto dan orang-orang yang tercantum di dokumen itu. Anda bebas mau pakai cara apapun."

***

Pak Prasojo hanya beberapa menit saja di meja kami. Tapi pesan yang ia sampaikan terlalu mendalam, sedalam uang di dompet kami andai group itu bisa berdiri.

Oh iya, Group adalah sebutan dari sekumpulan perusahaan yang bernaung di bawah satu kepemilikan. Dan calon pemilik itu adalah Pak Prasojo. Jika kami menjadi group, akan ada perusahaan sendiri yang bergerak di developer perumahan, mal, apartment, pergudangan, perusahaan konstruksi, sampai perusahaan furniture. Persis seperti group property lain semacam Ageng Sedoyo Group.

Ini rencana besar. Dan sebuah rencana pasti memiliki syarat-syaratnya. Dan salah satu syarat itu adalah menyingkirkan sekumpulan parasit.

"Jadi, anda sudah tahu kenapa anda kami rekrut, Pak Handoko?" Pak Asep menegur.

Aku mengangguk pelan. Kakiku agak gemetar dengan sebuah rencana yang akan mengubah hidupku lebih jauh lagi.

Di meja itu tersisa aku, Pak Asep dan seorang Linda. Kami tak langsung pulang untuk penjelasan lebih lanjut. Mengejutkan sekali. Dan sepertinya hanya Pak Asep yang sudah tahu rencana itu.

"Group?" Linda bertanya.

"Iya. Ini rencana saya, Pak Prasojo dan Pak Hardi sejak lima tahun kemarin. Tapi baru kali ini bisa berjalan."

Pak Asep menepuk pundakku.

Dia tersenyum kalem dengan alis agak terangkat.

"Kerja bagus, Pak Handoko. Kami sudah kirim banyak auditor. Tapi belut itu licin-licin. Ada auditor yang kena suap, ada yang diintimidasi, ada pula yang masuk rumah sakit. Kami butuh auditor seperti anda yang tidak takut pada siapapun."

Dadaku langsung terbusung. Tapi Linda menghancurkan harga diriku dengan berkata, "kecuali ke Bu Fitria."

Pak Asep tertawa terbatuk-batuk. Dia lanjutkan obrolan serius setelah meminum air mineral.

"PT. Teruna Cipta Furniture juga masuk daftar akuisisi. Saya tidak menyangka Pak Handoko langsung setuju."

Aku jelas tidak menolak. Jika perusahaanku jadi bagian dari group, perihal uang perkara gampang. Dan aku pun tak mungkin bisa menolak karena istriku terlajur disuap iming-iming saham gratis.

Oh iya, akuisisi adalah istilah kerennya "membeli perusahaan."

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now