PS - Misi Mustahil

6.2K 761 68
                                    

Sejauh ini berjalan mulus. Kami merampas dua pucuk AK-47, satu senapan runduk Dragunov, empat pistol Makarov, sebuah senapan mesin ringan, serta beberapa granat dan ranjau rakitan tangan. Cukup mumpuni untuk regu empat orang yang mana aku jadi komandan.

"Aaway Awad? sababta uu waqti dheer u qaatay?"

"Waxaan u maleynayaa inuu mar kale seexday."

Sayup-sayup, kudengar dua perompak sedang bercakap. Mereka membicarakan beberapa rekannya yang tak kunjung kembali dari sesemakan. Aku cukup paham bahasa Somali. Kuberi kode tangan pada anak buahku untuk merunduk, sekaligus memberi tahu jenis senjata yang digunakan lawan kami.

Misi kami sederhana. Menyelamatkan sandera, mencari radio, dan kabur ke Arab Saudi dengan perahu cepat yang sudah kami siapkan. Dan setelah memastikan dua perompak itu adalah lawan terakhir di perimeter, kami habisi mereka, setelah itu bisa bercakap tanpa takut didengar orang.

"SpongeBob, lihat menara itu?" ucapku pada spesialis senjata berat yang berasal dari Denjaka. "Buat perimeter, amankan sarang burung," lanjutku, menyebut kode untuk lokasi senapan runduk. Kutunjuk pula anggota perempuan yang sedang mengatur scope sniper. "Sandy, cover me."

"Roger!"

Kami berada di tepian Desa Gumah. Desa yang sama dimana sembilan tahun lalu aku jalani misi serupa. Kali ini bukan lagi pasukan gabungan antar negara, melainkan prajurit elit di tubuh TNI.

Rumah-rumah di desa itu adalah rumah berdinding lumpur beratap jerami. Khas desa miskin Afrika. Tapi yang berbeda, sebagian besar rumah itu adalah markas para perompak yang berbaur dengan warga sipil. Desa itu juga dikelilingi semak pesisir dan menara kayu sebagai pos jaga.

Salah satu pos itu sudah kami kuasai.

Kami menyiapkan strategi untuk langkah yang lebih berbahaya.

Perompak Somalia bukan lawan biasa. Organisasi mereka sangat rapi, bahkan terkoneksi dengan pemerintah setempat hingga memaksa kami harus datang dari pantai Arab. Misi ini sangat beresiko. Jika kami gugur di sini, kisah kami tak akan terdengar karena masalah diplomatik.

Aku masih ingin menikah seperti adikku.

Aku ingin merasakan kehangatan rumah tangga sepertinya.

Apalagi sniper perempuan itu adalah salah kandidat istriku, andai dia bukan pecemburu.

Dua prajurit pun berjalan mengendap menuju gubuk jelek beratap jerami. Prajurit itu adalah aku, juga spesialis bahan peledak yang kuberi nama Squidward. Setelah mendekati sebuah rumah yang cukup besar, jemariku membentuk huruf C di sekitar leher. Kode taktis bahwa aku melihat dua sandera dari Indonesia.

Ciri-cirinya persis seperti foto yang kami lihat. Mereka adalah pengusaha yang mengirim barang dari Indonesia untuk pasar timur tengah. Tak ada bekas penyiksaan. Kami datang di saat yang tepat. Perompak Somalia tak akan menyangka bahwa TNI sudah ada disini saat mereka negosiasi.

Di kegelapan malam, kupantau gerak-gerik mereka. Aku melihat ada empat perompak di dalam ruangan. Dua orang bersenjatakan pistol, sementara dua lagi memegang senapan serbu. Syukurlah mereka tak siaga. Dengan mengendap pula kami berniat menghabisi mereka, dengan gerakan sesenyap mungkin.

Squidward ikut menyiapkan pisau. Dengan awas dia mengikutiku yang mengendap-endap masuk ruangan. Saat aku membekap seorang perompak, dengan cekatan pula dia membekap penjaga lain yang sedang tidur di samping pintu.

Dua orang tewas dalam sekejap. Begitupun musuh ketiga yang kutusuk ulu hatinya.

Akan tetapi, saat orang keempat kami lumpuhkan, orang itu masih sempat melepas tembakan.

"F*ck!" Squidward sampai mengumpat dalam Bahasa Inggris.

Cepat-cepat kubebaskan sandera dan membekalinya dengan protokol.

"Kami dari TNI. Tolong jangan bersuara dan ikuti kami di titik berkumpul."

***

Dar! Dar! Dar!

"Hel iyaga!"

Desing peluru gempar menggema di gelap malam. Perompak Somalia terlalu kaya hingga menembak membabi buta.  Mereka mengira kami masih berada di gubuk sandera. Mereka buang-buang amunisi. Karena setelah membebaskan dua sandera, kami segera merunduk di semak-semak. Dua pengusaha itu cukup kooperatif untuk bersikap sesuai instruksi.

Aku berjalan pelan di baris terdepan diikuti dua VIP.  Berjalan agak merunduk di bawah semak setinggi satu meter. Si Squidward di baris belakang untuk bersiaga dari pengejar, sekaligus memasang ranjau anti personel.

Para perompak itu membidikkan senter di hamparan semak-semak. Aku memberi kode untuk diam saat senter itu menerangi semak-semak di antara kami. Kupastikan agar dua sandera tak bersuara maupun bergerak. Karena jika senter itu menangkap satu saja daun bergerak, kami pulang tinggal nama. Terlebih puluhan perompak mulai menyebar ke berbagai arah. Dua sandera nampak ketakutan saat beberapa langkah berjalan mendekat. Kira-kira tiga meter di sebelah kami.

Kusiapkan pistol dan siap menembak saat mereka semakin dekat.

Dua meter ...

Satu meter ...

Jantungku mulai berdegup.

Degupan itu semakin kencang saat kulihat sepatu boot beberapa senti saja dari mataku.

Mereka berhenti melangkah. Dua sanderapun menutup mulut sendiri dengan wajah penuh keringat. Syukurlah, saat satu langkah saja posisi kami pasti ketahuan, mereka justru balik badan. Tiga perompak itu berjalan menjauh sambil bercakap penuh frustasi.

Aku lega, tapi tidak untuk Squidward. Dia menatapku tajam sebelum melirik ke arah pengejar. Aku tahu maksudnya. Tiga orang itu berjalan menuju ranjau yang sudah kami siapkan. Hingga saat kawat pemicu mereka terobos ….

BLARRR!!!

… serpihan daging pun berterbangan. Salah satu sandera kontan berteriak saat potongan kaki jatuh di depannya.

"Yesus lindungi kami!"

"Kami sedang melindungi anda, tolong jangan bersuara!" aku berbisik setegas mungkin.

Setegas mungkin pula kuperintah mereka agar segera mengikutiku. Para perompak membabi buta hingga tanah di sekitar kami melayang bebas terkena tembakan. Puluhan perompak mengejar lagi. Meski belum ketahuan, mereka bisa menebak ke arah mana kami berjalan.

Satu demi satu ranjau meledak. Posisi kami makin tertebak. Terlebih seorang sandera masih komat kamit menyebut Tuhannya dan bergerak dengan paniknya. Hingga suatu ketika, nyala senter pun berhenti di semak yang sedang begerak, di mana kami tengah sembunyi.

Posisiku ketahuan. Kurasakan moncong dingin senapan serbu menempel tepat di kepalaku. Aku tak punya pilihan selain menyerah dan melempar pistol ke atas tanah. Dua tanganku pun terangkat perlahan, begitupun dua sandera yang sudah bicara setengah memohon.

Perompak itu mulai menekan pemicu dari AK-47 yang tertodong di kepalaku. Bibirku tersenyum, kupejamkan mata untuk dunia yang kulihat terakhir kalinya.

"Handoko, adikku ... selamat tinggal."

DORR!!!

Mendadak AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang