Hari Bahagia

6.2K 803 76
                                    

Banyak hal yang berubah semenjak kami cuti bersama. Mulai dari hubungan asmara orang-orang di sekitar kami, rencana pernikahan mereka, dan segala kabar gembira dari orang-orang itu dalam yang hampir bersamaan. Mas Iwan resmi pacaran, Jared resmi melamar Risma, Respati jadi WNA, dan Prasojo pun makin dekat dengan Linda. Semuanya kabar gembira.

Namun, ada satu hal yang tak pernah berubah. Gairah Fitria di atas ranjang. Aku makin kelabakan karena istriku lupa daratan.

"Dibilangin jangan kasar-kasar. Kalau Gitarja brojol gimana?" ujarku masih ngos-ngosan. Baru sempat memakai kolor. Masih kesal karena gairah istriku makin lama makin mencemaskan.

"Sudah sembilan bulan, Ayah. Stimulasi biar nanti lancar." Fitria memberiku alasan sama.

Sampai detik ini aku tak mengerti istriku sendiri. Terutama libidonya yang agak berlebih. Aku pikir hanya hyper. Setelah iseng survey dengan beberapa pekerja perempuan, istriku kasusnya lain. Bisa dibilang kelainan. Bisa dibilang seribu satu jenis-jenis perempuan sepertinya.

Percaya tidak percaya, Mas Pram bahkan langsung tahu sejak awal mereka bertemu. Dari bulu-bulu di lengan Fitria, katanya. Bulu istriku memang agak tebal sebelum rutin di-wax. Termasuk kumisnya yang sangat kentara dari jarak sekian meter.

Apalagi bulu daerah tertentu yang sering nyangkut di tenggorokanku.

Aku bahkan baru tahu bahwa keinginannya punya madu karena berhubungan dengan nafsu. Tahu lah, orientasi Fitria juga sedikit melenceng ke sana. Linda pun juga agak-agak kalau melihat seberapa kejam laki-laki menyakitinya di masa lalu. Untung saja aku gigih menolak. Bisa kering duluan kalau sampai keturutan.

Namun, aku tak keberatan dengan libido istriku karena satu paket dengan isi kepalanya. Terutama kualitasnya di pekerjaan. Fitria tak pernah mengecewakan.

"Bunda tolong bantu hitung ini, ya? Sebelum Pak Respati memberi tugas lagi."

Istriku senyum-senyum. Istri manapun pasti senyum-senyum melihat milyaran uang siap-siap masuk rekening.

"Alokasikan beberapa ke yayasan yatim piatu milik Mas Iwan, sebagian ke Yayasan seniman dan veteran yang dikelola Pak Dhe Tejo, ke yayasan shelter binatang binaan Bu Herlyn. Oh iya, jangan lupa sumbang juga ke sekolah bisnis gratis binaan Pak Respati."

Senyum istriku makin melebar walau separuh dari penghasilan itu akan kami transfer ke lembaga amal. Tak ada keraguan sedikitpun. Lebih baik uang itu digunakan untuk membantu sesama daripada jadi kemewahan seperti CEO di novel-novel. Toh, rejeki kami tak habis-habis.

Wajah istriku semakin kalem. Orang tak akan percaya si cantik itu belum sampai seperempat abad. Terlalu muda untuk pencapaian kami saat ini. Tapi sangat dewasa karena perjalanan hidup dan komitmennya untuk pantas bersamaku. Wajah itupun semakin kalem, sebelum tiba-tiba pucat saat melirik genangan air dari pahanya.

"Ayah ..."

"Apa?"

"Segera panggil ambulance."

***

"Mas tenang, ya? Ini normal, kok," ucap istriku saat jemarinya kupegang erat.

Di sepanjang lorong menuju ruang bersalin, badanku masih berkeringat. Padahal kami tidak berlari. Perawatpun terlihat santai saat mendorong ranjang beroda sejak turun dari ambulance. Keringatku pun semakin deras saat Fitria sesekali merintih pelan.

"Mas, jangan pingsan dulu." Dia menegurku.

Walau selalu menjaganya selama hamil, aku belum siap mengalami tahapan ini. Pengalaman pertamaku mendampingi istri di ruang bersalin. Kata Fitria wajahku pucat. Tanganku gemetaran. Ludahku tertelan berkali-kali sampai-sampai Mbak-mbak perawat ikut menegur. Menenangkan pria besar yang bersikap seperti pengecut.

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now