Berjanjilah Padaku

23.1K 2.2K 57
                                    

"Oweeeeee!!!"

Mataku terkedip-kedip. Suara familiar itu membebaskanku dari mimpi indah di atas sofa empuk. Pandanganku masih buram. Begitu membuka mata, aku menengok seseorang yang agak ragu mencolek lenganku.

"Mas, Izra ..."

Kuulurkan tangan tanpa berhasrat menjawabnya. Kulirik sudut jarum jam dinding yang hanya berpindah sekian derajat.

Syukurlah bisa tidur satu jam.

"Psstttt ... anak cowok harus kuat."

"Maafkan aku, Mas. Gara-gara aku Mas Handoko jarang tidur."

"Pssstttt ... Ibu yang baik gak boleh ngeluh." Gantian Fitria yang kutenangkan. "Emosi ibu juga dirasakan anak. Kalau kamu sedih Izra juga akan sering nangis. Mengerti?"

Sudut bibirnya bergelombang. Raut sesalnya terlihat jelas. Ada sesuatu yang seakan mau Fitria sampaikan, tapi terhalang keberaniannya membuka mulut.

"Ada apa?"

"Anu, Mas ... anu ... kenapa Mas Handoko ... hmmm."

Ibu muda itu semakin gelisah. Dia menggantung niatnya bicara begitu seseorang masuk ruang tamu.

Ah, si keriting ini lagi.

"Mas Iwan mau kopi? Aku bikinin ya?"

Fitria alihkan pembicaraan. Dia langsung pergi ke dapur setelah tamu itu mengacungkan jempol.

"Kantung mata dikau semakin hitam, Anak Muda. Cocok jadi vokalis Black Metal."

"Mas ke sini mau menyindir atau minta dibikin kopi?"

Tangan Mas Iwan menutupi mulutnya yang tertawa dibuat-buat. Aku kesal dengan caranya melihatku yang seperti sedang melihat badut.

"Silahkan tertawa sesukanya. Aku tak akan mengubah pendirianku."

"Iya iya, daku tahu sekeras apa kepalamu itu," katanya sambil melihat Izra yang sedang kutimang. "Apa tekadmu sudah kotak?"

"Bulat, Mas."

"Iya. Sudah yakin bisa mengasuh bayi ini?"

Dua jariku menunjuk mataku sendiri sebagai jawaban.

"Apa aku terlihat tidak yakin?"

"Dikau terlihat seperti seseorang yang hidupnya akan susah."

"Aku tak punya pilihan lain, Mas!"

Aku bicara dengan nada yang tinggi. Bukan karena kesal dengan Mas Iwan, melainkan kepada seseorang yang belum pernah kutahu batang hidungnya.

Si Ferdiansyah.

"Tahu sendiri kan mantan suami Fitria seperti apa? Dia bahkan menjanjikan surat pernyataan tak akan meminta hak asuh Izra. Apa Fitria masih bisa kembali ke Sidoarjo?"

Kuungkit lagi pesan singkat yang kuterima kemarin. Mas Iwan pun membacanya. Dia juga ikut kesal saat kuceritakan hasil pembicaraanku dengan Ferdiansyah. Nasi sudah menjadi bubur. Kami sama-sama tak punya gambaran tentang kapan harus cuci tangan, atau rencana apapun dari nasihat Mas Iwan.

Pria kurus itu menghela napas panjang. Dia pijit keningnya sendiri seakan masalahku juga bagian dari masalahnya.

"Hando, dikau siap berkorban?"

"Lebih dari siap, Mas. Aku tak akan menjilat ludahku sendiri. Mulai detik ini Izra adalah puteraku!"

***

"Totalnya Rp. 71.200, Pak. Delapan ratus rupiahnya boleh disumbangkan?"

"Jangan, Mbak. Saya yang lebih butuh sumbangan."

Leluconku memancing senyum pengunjung minimarket. Begitupun mbak-mbak kasir yang gemas dengan bayi digendonganku. Setelah sejenak menggoda Izra, dia kembalikan uang receh yang kilaunya seperti koin emas di mataku.

Aku sangat miskin. Hanya tersisa dua puluh ribu sekian setelah isi dompetku dibelanjakan.

"Mas, aku masih ada enam ratus ribu dari Mas. Kita pakai ya?" Di sepanjang langkah kaki menuju kontrakan, Fitria menegurku dari belakang.

"Jangan. Anggap itu tabungan kita. Kamu sudah catat semua pengeluarannya, kan?"

Fitria membalasnya dengan menunjukan buku catatan. Aku memintanya memegang anggaran agar dia merasa berguna dan tak mempertanyakan lagi harus membalasku apa.

"Bagus. Kamu jago sekali menata anggaran?"

Fitria menghindari mataku saat bibirnya tersenyum simpul. Hanya senyum kecil, tapi lebih baik daripada wajah murungnya empat hari ini. Setidaknya bisa mengakrabkan kami. Karena sebagai sesama orang terusir, aku tak ingin perempuan itu masih menganggapku seperti orang asing.

"Hidup ini berat, Fitria. Akan lebih berat lagi kalau kita jalan sendiri-sendiri."

Kuperlambat langkah kaki. Aku toleh ke belakang dan memintanya berjalan berdampingan. Aku juga ulurkan tangan kiriku untuk Fitria pegang, saat tangan kananku sibuk menggendong puteranya.

"Nah, begini kan lebih enak? Tuh Izra seneng."

Senyum Fitria semakin mengembang. Ternyata benar kata kakakku bahwa menggandeng tangan perempuan bisa menghibur hati mereka. Bukan hanya dia, mood-ku pun terasa baik. Senyum Fitria melegakanku dari bayangan buruk hari esok.

Kusimpan rapat-rapat pikiranku yang sedang pelik. Sisa uang di dompet itu adalah jawaban di balik hidup kami yang dipenuhi ketidak-pastian.

Apa aku bisa menghidupi mereka?

Sampai kapan kami bertahan?

"Mas ..."

"Iya, kenapa?"

Aku menoleh saat Fitria bersuara. Dia pasti hendak menanyakan sesuatu yang sempat dia gantung.

"Ken-kenapa Mas Handoko membantuku sejauh ini?"

"Aku tak tahu, Fitria. Aku hanya menghormati keputusanku sendiri," jawabku sejujur mungkin. Tanpa kalimat normatif ataupun kata-kata berbalur gula.

Napas panjang terdengar jelas dari hidungnya. Kurasakan genggaman Fitria semakin erat, seakan menunjukan isi hatinya saat ini. Aku tak ingin dia cemas di hadapan Izra. Cukup aku saja yang menggelisahkan bulan depan kami makan apa, tinggal di mana, dan hal-hal lain yang membutuhkan komitmenku sebagai orang yang menanggung hidup mereka.

Aku laki-laki.

Semiskin-miskinnya diriku, aku masih punya prinsip.

"Fitria, pegang kata-kataku. Aku siap kerja keras agar hidup kita lebih layak. Tapi aku mohon berjanjilah."

"Janji apa, Mas?"

"Berjanjilah jangan pernah merasa sendiri."

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now