Hadiah Kecil

9K 1.3K 33
                                    

Sekretaris itu memakai rok span sedikit di atas lutut. Dia duduk silangkan kaki menyangga tangannya yang juga agak tersilang. Posisi badannya tegak. Khas wanita karir. Posisi itu sangat didukung tinggi badannya yang hampir 170 senti.

Elegan sekali.

Fabolous!

Aku tak bisa berhenti mengamatinya. Rambut bob-cut-nya pun masih sama seperti beberapa dua tahun kemarin. Termasuk gaya make-up minimalis dan sepasang kacamata minus. Sangat mencuri mata. Setidaknya, sampai kurasakan seseorang diam-diam mencubit pinggang.

"Ehem! Ada perlu apa mencari saya, Ibu Linda?"

"Saya sudah coba menghubungi anda lebih dulu, Pak Handoko. Tapi nomor anda tidak aktif dua hari ini," katanya setelah sesaat memberi senyum. Dia juga memberi senyum yang sama kepada Fitria, menyirat kesan bahwa tak ada yang perlu ia cemaskan. "Saya diutus Pak Asep menyerahkan dokumen ini. Mohon feedback dari anda."

Dokumen itu tak langsung kubaca. Bahkan tak kusentuh sehingga Linda kernyitkan dahinya. Sebagai profesional, dia langsung tahu makna di balik sikap apatis.

"Saya mewakili Pak Asep mohon maaf atas kejadian kemarin. Saya tahu Pak Handoko tersinggung. Tapi percayalah, kami tak ada maksud buruk. Anda bisa pahami maksud kami dari dokumen itu."

"Saya percaya Bu," balasku mengiyakan. Tapi tanganku masih enggan menyentuh dokumen.

Kalau Linda bilang aku tersinggung, iya aku tersinggung. Terutama kepada Pak Asep yang terkesan memanfaatkanku. Beliau memang memberiku karir. Beliau juga melatihku agar aku layak sebagai pemimpin. Tapi tetap saja tak ada makan siang gratis. Aku baru tahu bahwa sikap baik itu ternyata memiliki agenda sendiri.

Seharusnya aku bersyukur. Tapi Pak Asep sudah tak jujur. Beliau tidak bilang bahwa PT. Teruna Cipta Furniture sejak awal memang disiapkan untuk Doni. Aku tak pernah berpikir bahwa suatu saat nanti buah kerjaku akan diambil. Apalagi Fitria yang menaruh harapan di sana. Andai saja beliau terbuka sejak awal, istriku tak akan kecewa. Fitria tak akan menangis untuk sebuah mimpi yang terpaksa putus di tengah jalan.

Beliau pasti tahu itu. Pak Asep pasti paham alasanku tak membalas semua pesannya.

"Apa boleh buat. Mungkin anda memang perlu waktu, Pak Handoko." Linda menghela napas. Dia tersenyum kalem dengan tatapan meminta maaf. Wanita pertengahan 30-an itu berdiri pelan, dan ulurkan tangannya untuk kujabat. "Segera hubungi saya kalau ada keputusan."

"Pasti."

Apa aku akan menghubunginya?

Aku tak tahu. Aku tak punya motivasi lagi untuk rencana baru mereka yang entahlah mengarah kemana. 178 juta perbulan lebih dari cukup sebagai uang pensiun. Jika mereka menginginkanku berjudi lagi, aku tidak antusias. Aku tak punya dorongan sedikitpun.

Pikiranku berkelana pergi saat tubuhku ikut berdiri. Kuatar Linda menuju pintu bersama segala rasa gamang. Sekali lagi, Pak Asep sudah berbuat banyak. Fakta itu tak bisa kubantah. Tapi pikiranku masih menimbang antara ikut maunya atau diam di sini saja. Aku belum berminat membaca dokumen itu. Apalagi memberi keputusan. Aku masih terpaku dalam lamunan bersama sebuah tatapan kosong.

Tatapan kosong ke pantat Linda yang lenggak lenggok menuju mobilnya.

"Ehem!"

Cepat-cepat aku menoleh. Kulihat Fitria sedang menatapku dengan mata agak terpicing.

"Apa pantatku yang sering Mas tabok ini masih kurang seksi?"

"Eng-enggak Sayang. Aku cuma melamun. Berangkat yuk? Sudah telat nih."

"Hari ini gak mau kerja."

"Loh kenapa?"

"Mas lagi butuh aku sekarang."

Istriku kembali ke ruang tamu. Aku yakin dia penasaran dengan dokumen yang Linda antar. Setelah membacanya, dia menghampiriku dan menunjukan sebuah halaman yang berisikan deretan klausul.

"Mas mau ambil peluang ini?"

"Menurutmu?"

Fitria hela napasnya. Tatap trenyuh ia tunjukan. Biasanya, dialah yang memaksaku untuk ambil peluang besar. Dan kamipun sering bertengkar karena aku bicara resiko. Tapi kali ini berbeda. Dia menunjukan sikap kompromi karena terpengaruh masalah kemarin. Dia kembalikan dokumen itu ke meja, dan memintaku agak membungkuk agar tubuhku bisa dipeluk.

Sebuah pelukan yang sangat lembut.

"Mas pasti capek ya jadi yang terbaik demi aku dan Dedek?"

Jemarinya mengelus punggungku. Kurasakan pelukan itu seakan mengalir di pembuluh darah. Desah Fitria terdengar lembut. Terlalu lembut hingga hatiku terasa ringan. Setelah memelukku, Dia tatap kedua mataku dan memberi senyum termanis.

"Untuk kali ini aku bebasin Mas ambil keputusan. Kalau Mas ambil peluang itu, aku mendukungmu sebagai partner. Tapi kalau suamiku ini memilih istirahat, aku ada di sini sebagai istri. Mas mengerti?"

***

Jadi bapak rumah tangga itu tak selamanya buruk. Kerjaku menyiapkan makanan, belanja, cuci baju, beres beres rumah, mengasuh anak, dan pasang telinga untuk cerita istri tentang aktivitasnya di tempat kerja. Pikiranku makin damai dua minggu ini. Kutolak tawaran Pak Asep yang sebenarnya sangat menggiurkan. Tapi orang itu terus menemuiku meski aku berkata tidak.

Fitria benar. Mungkin aku lelah. Kunikmati masa pensiunku sebagai pengangguran berpenghasilan.

Hidup yang ideal, bukan?

Satu-satunya masalahku hanyalah mulut tetangga yang semakin liar melihat pria muda tak kunjung pergi bekerja.

"Eh tingali eta, masa istrinya disuruh kerja?"

"Jaman sekarang teh cari kerja susah."

"Laki-laki kok gak tahu kodrat."

Tak kugubris kisik-kisik mereka. Ibu-ibu itu tak tahu bahwa tanpa bekerjapun puluhan juta lancar mengalir ke rekeningku. Di pagi itu aku belanja dengan kuping tersumpal ear phone. Dan di pagi itu pula sosok kecil selalu menjemputku di pintu pagar rumah Bu Eulis.

"Yayahh!"

"Uwaahh, sahabat kecil ayah sudah bangun." Aku langsung jongkok serendah mungkin. "Dedek sudah mam mam?"

Dia mengangguk. Tangan kecilnya menunjuk mobil baru yang sedang terpakir di depan kontrakan. Sebuah SUV yang cukup mewah. Terlalu mewah hingga dahiku terkernyit. Aku yakin itu utusan Pak Asep untuk merayuku menandatangi kontrak.

Merepotkan sekali.

"Bil bil!"

"Iya, nanti ayah beli mobil sendiri." Kuserahkan tak kresek kecil yang berisi potongan tempe. "Tapi bantu ayah bawa ini dulu ya? Berat banget nih."

"Iya!"

Astaga, cerdasnya anakku. Dialah alasan utamaku jadi pengangguran dua minggu ini. Selama berada di rumah, aku bisa memantau Izra di usia lucu-lucunya. Surga ini tak bisa kubeli. Waktu bersamanya terlalu berharga untuk ditukar kesibukan kerja. Langsung kutemui tamu itu dan berniat menolaknya.

Pintu rumah kubuka. Tapi tak ada seorangpun yang menungguku di ruang tamu.

"Loh, orangnya mana?"

Puteraku menggeleng. Dia tunjuk sesuatu di atas meja yang dilengkapi secarik surat. Aku penasaran. Kuambil benda itu yang ternyata kunci mobil, ponsel mahal dan foto sebuah rumah modern minimalis. Kubaca pula surat di bawahnya yang hanya berisi satu kalimat.

"Semua ini milik anda."

Heh? Maksudnya? Kuhidupkan ponsel itu yang ternyata tidak dikunci. Dan saat aku membukanya, terdapat pesan suara yang seseorang tunjukan kepadaku.

"Pak Handoko, mohon Bapak pertimbangkan lagi penawaran kami untuk bekerja di PT. Griya Cipta Laksana. Anda kami berhentikan sebagai sebagai operator karena perusahaan induk lebih butuh sosok seperti anda. Anggap ini syarat kedua yang belum sempat saya sampaikan. Dan anggap pula hadiah kecil ini sebagai tanda serius kami. Hormat Saya, Prasojo."

Ck! Orang ini gigih sekali.

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now