Aku Seorang Ayah

24.3K 2K 67
                                    

Aku bersyukur Bu Eulis berbaik hati menampung Fitria lebih lama. Sewa kamarnya jadi separuh. Bu Eulis bahkan menjelaskan pada Pak RT hubunganku dengan Fitria, sekaligus kronologi pertemuan kami. Aku bisa bernapas lega. Seminggu ini pun aku bukan pengangguran. Komitmen pada Fitria bukan sekadar omong kosong.

Simpel bukan?

Itu sih teorinya.

Faktanya, segalanya cukup berat bahkan di hari pertama aku bekerja.

Mas Iwan bilang pekerjaanku murni di desain. Kerjaku cuma menggambar, puff! Setelah itu dapat bayaran. Ternyata tidak. Bukan hanya merancang, aku juga harus jadikan rancangan itu contoh yang ditiru para pengerajin.

Sudah lima hari ini aku bekerja di tempat itu. Aku harus membuat meja, kursi, rak, dan kawan-kawan. Contoh itu pun bukan cuma satu. Tapi tiga sampel. Satu saja menghabiskan waktu tiga jam. Alhasil, posisiku tak jauh beda dari para pekerja lain yang murni menggunakan tenaga.

Demi 100 ribu rupiah dari pagi hingga menjelang maghrib, gelar sarjana ini sungguh tak ada harganya.

"Ini demi Izra dan Ibunya." Itu lah motivasiku setiap kali hendak mengeluh.

Pertanyaannya, aku kerja dimana?

Aku bekerja di sentra kerajinan kayu. Atau boleh disebut workshop. Kami membuat furniture yang dijual ke cafe-cafe dan perumahan. Bisnis itu cukup besar. Ada puluhan pekerja, potongan papan, alat pertukangan, serbuk kayu, serta bau polytur yang sangat menyengat.

Ini melelahkan. Tapi aku tak boleh mengeluh. Kepalaku diisi ketakutan mau makan apa Fitria dan anaknya. Belum lagi popok, susu formula, atau kebutuhan-kebutuhan dadakan andai-andai mereka sakit.

Sungguh tak bisa dipercaya.

Aku belum menikah, tapi sudah merasakan beratnya menjadi ayah.

"Kumaha, Mas Handoko? Hese, teu?" Salah seorang pekerja menegurku dengan Bahasa Sunda.

Aku sedikit paham kata-katanya. Kupilih senyuman sebagai jawaban. Aku terlalu haus. Rongga mulutku terlalu kering untuk sekadar menjawab iya.

"Ieu teh, cai."

Rekan kerjaku ini bernama Mang Cecep. Dia satu-satunya pekerja yang mau berteman saat yang lain jaga jarak. Selain melepas dahaga, air itu cukup lumayan mengganjal perutku yang sampai sore ini hanya diisi sarapan. Perutku keroncongan. Mang Cecep bahkan bisa mendengarnya. Dia tersenyum simpul padaku, hingga gorengan yang dia beli tiba-tiba berpindah tangan.

"Makan saja. Sok atuh."

"Terima kasih, Mang," balasku seramah mungkin. Aku coba beradaptasi meski sekadar berbasa-basi. "Ngomong-ngomong, kok di sini tidak ada air minum ya?" Kusinggung lagi keadaan worshop yang kurang ramah pada pekerja.

"Kamari mah aya Aqqua," kata Mang Cecep sambil melirik bekas dispenser air mineral. Dia lirik pula sebuah bangunan dan berkata, "tapi sejak ada kasir baru, semuanya dipotong."

Oh, ternyata karena itu?

Aku ikut melirik ke arah sama. Ternyata air mineral saja dikorupsi sama si kasir. Bahkan sampai detik ini kasir itu masih bolos. Aku masih punya urusan yang sampai sekarang belum tuntas.

Gajiku belum dibayaaaaar!

***

Workshop itu hanyalah CV, atau mungkin tak memiliki badan hukum. Para pekerjaannya diperlakukan seperti kuli bangunan dengan upah serba harian. Tak ada bonus, tak BPJS, apalagi jenjang karir. Semuanya serba otot.

Parahnya lagi, begitu kasirnya datang,  dia membuatku kehilangan kesabaran.

"Hei muka tomat. Bayaranku 100 ribu perhari, kan? Kok cuma 80?"

"Ini peraturan dari Pak Asep." Dia sebut nama pengelola workshop. "Terima saja. Kamu masih mau kerja di sini, kan?"

Sudut mataku langsung kedutan.  Kutatap kasir itu yang bersikap semakin angkuh. Di saat aku menahan sabar, kasir itu justru mengayunkan tangannya seperti mengusir seekor anjing.

"Kau dengar, Anak baru? Semua dibayar delapan puluh ribu. Ini sudah peraturan. Pergi sana! Jangan buang waktuku."

"Yang sabar, Mas Handoko. Ini teh minggu pertama." Melihatku agak gemetaran, Mang Cecep berinisiatif menempuk pundak.

Hohohoho!

Pria sebaik aku tak akan mungkin sebar-bar itu.

"Tenang saja, Mang Cecep. Aku akan menyelesaikannya dengan cara keluargaan."

Sekilas, kulirik surat kontrak di mejanya.  Mataku kian memicing. Praktik memotong upah sudah sering aku alami di pekerjaan lama. Dan karena itu pula aku berakhir di kantor polisi oleh kasus kekerasan.

Tapi itu masa lalu. Sekarang aku pria dewasa. Urusan semacam ini harus diselesaikan secara dewaa. Dengan satu tangan, kucekik leher si kasir dan mengangkatnya tinggi-tinggi.

"Kamu hanya punya tiga detik sebelum lehermu patah. Berikan uangku sekarang."

Pertengkaran kami menarik perhatian pekerja lain. Sebagian dari mereka perlahan mendekat dan memberiku tatapan mendukung. Termasuk Mang Cecep yang awalnya melerai. Si kasir itu pun merogoh saku saat wajahnya mulai membiru.

"Iya! Ini duitmu! Dasar miskin!"

Kupungut dua lembar sepuluh ribuan yang tercampak di atas lantai. Aku tidak malu dan tak punya waktu untuk itu. Para pekerja kontan bersorak saat kasir itu menyerah. Bukan hanya uangku saja, pekerja lain juga ikut-ikutan meminta hak mereka.

Termasuk Mang Cecep.

"Mas Handoko hebat euy!"

Hanya senyuman yang bisa kuberikan. Juga tatap hambar karena gengsi yang harus kutelan sendiri. Dulu, uang dua puluh ribu tidak ada artinya bagiku. Uang segitu hanya senilai satu porsi makanan, tidak lebih. Tapi sekarang sangat berharga sampai  aku hampir saja menghajar orang. Aku pun tak perdulikan harga diriku lagi saat dia hina, karena ada bayang Fitria dan Izra di uang itu.

Aku seorang ayah.

"Gak naik angkot, Kang Handy?"

Saat beranjak pulang, kubalas Mang Cecep yang menghampiriku dengan motornya.

"Enggak Mang. Dekat kok."

"Abdi antar, kumaha? Kang Handy teh sudah bantu saya."

Kuterima kebaikannya. Aku juga agak gamang harus berjalan kaki 2 km jauhnya dari tempat kerja menuju kontrakan. Meskipun bisa naik angkot, aku memilih menghemat uang karena bayang kebutuhan bayi yang jadi prioritas keuanganku. Tak satu batang rokokpun kuhisap sekalipun aku perokok berat. Dan karena keadaan itu, aku tak pakai sungkan saat seseorang menawariku tumpangan.

"Jauh pisan kontrakan Kang Handoko mah. Gak capek setiap pagi jalan kaki?"

"Tidak Mang, sekalian olah raga."

"Pantesan badannya gedhe. Sudah berkeluarga, belum?"

Aku hendak menjawab tidak. Tapi kuurungkan jawaban itu saat melihat ibu muda yang sedang menggedong bayinya. Fitria menungguku di jam pulang. Dia berdiri di tepi jalan bersama Izra yang nampak sedang menangis.

"Mas, Izra ..."

"Iya, aku tahu dia menungguku."

Hatiku meleleh. Amarahku sirna saat kulihat senyum si kecil.

"Pantesan rajin, Ayah muda ternyata. Geulis pisan istrinya. Cantik euy!"

Sekali lagi aku tidak menjawab. Hatiku terlalu rindu pada makhluk imut yang menyambut gembira kedatanganku. Setelah Fitria mengantongi surat cerainya, aku lepas dari cemas. Aku lepas dari ketakutan kalau-kalau Izra jauh dariku. Dan saat si kecil di gendonganku, kucium keningnya, kuangkat badannya, dan berbisik pelan dengan penuh perasaan.

"Izra. Ayah pulang, Nak. Jangan nangis lagi, ya."

Mendadak AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang