Keluarga Ningrat

6.2K 921 57
                                    

Mas Pram bilang, ayah ibuku tak bercerita ke keluarga besar tentang karirku di Kota Bandung. Biasa lah, hanya keluarga kami yang tak bergantung warisan kasta. Darah biru hanya masa lalu bagi ayahku. Meski di mata para paman dan bibiku, nama keluarga modal utama untuk mendukung karir mereka. Apalagi yang sudah terjun di partai politik. Istilah "trah" tak semudah itu mereka sisihkan.

Kami keluarga modern.

Kami harus sukses dari hasil keringat sendiri.

"Le, mobilnya Mas pakai lagi ya? Calon mertua ngajak jalan-jalan nih."

"Lah, terus aku pakai apa ke Surabaya?"

"Beli mobil lagi lah. Masa boss besar gak punya duit?"

Aku jelas sewot. Walau kami orang berada, urusan uang tak semudah itu dikeluarkan. Semua harus pakai perhitungan. Apalagi istriku paling suka barang gratisan. Jangankan ratusan juta, seratus perakpun pasti dicatat oleh Fitria. Aku lebih memilih naik motor daripada beli mobil lagi hanya karena dorongan gengsi.

Mas Pram paham itu.

Dia telpon seseorang dan seenaknya meminjam mobil.

"Nih, aku dapat mobil dari kawan baik. Tinggal pilih. Mau bawa Lamborghini atau Porsche Panamera?"

Aku agak syok. Dua mobil itu bukan jenis mobil yang bisa ditemui setiap hari. Harganya milyaran. Aku jadi heran kawan seperti apa yang Mas Pram maksud.

"Gak usah ragu. Pilih saja."

"Porsche Panamera saja Mas. Empat pintu. Biar ayah dan Ibu bisa ikut."

"Yakin?"

"Iya."

Alis Mas Pram sedikit terangkat. Dia telpon kawannya lagi yang terdengar seperti seorang pengusaha besar. Entahlah siapa. Pengusaha kargo, katanya. Mereka ngobrol dengan akrab sambil sebut Desa di Somalia.

"Minggu depan Porsche itu jadi milikmu. Mobilmu yang ini aku ambil."

"Hah? Bukannya aku cuma pinjam?"

"Mau Porsche gak?"

Langsung kuserahkan BPKB mobil.

***

Seminggu Kemudian.

Orang bilang, uang tak membeli kebahagiaan. Tapi aku memilih menangis di mobil mewah ini daripada menangis di dalam angkot. Mas Pram kakak terbaik. Dia tak ragu menukar SUV satu milyar dengan sedan yang harganya empat kali lipat lebih mahal.

Kursinya super empuk. Didesain sempurna demi kenyamanan dan kemewahan. Mesin dan suspensinya pun sangat halus hingga bisa kudengar dengkuran anakku yang sedang tidur di pangkuan ayah.

Damai sekali.

Berlawanan dari ibuku yang masih ngomel di bangku belakang.

"Padahal pacarnya dia banyak, cantik-cantik. Masa ndak bisa milih?"

"Namanya orang sudah cinta kok Bu." Fitria di sebelahnya, menenangkan ibuku demi mulusnya sebuah restu. Dia jelas membela Mas Pram karena disuap mobil milyaran. "Mas Pram pasti punya alasan memilih Mbak Sandra."

"Tapi kan ya lihat bibit juga toh. Macam kamu misalnya. Si Nduk cantik. Handoko kan bisa perbaiki keturunan?"

"Kok aku juga kena?" balasku tersinggung. Ibuku memang ceplas-ceplos tanpa pikirkan perasaan orang.

Hari ini hari H reuni keluarga. Lebih tepatnya keluarga ibuku. Kami bertandang ke Kota Solo di mana Pak Dheku tinggal di sana. Ayahku duduk di depan bersamaku. Sedangkan ibu duduk di belakang bersama menantu kesayangan. Suasana seharusnya hangat. Tapi kabar tentang Mas Pram memaksa ibuku tak bisa diam. Walau keluarga kami moderat, ibuku masih membawa sifat alaminya sebagai bagian keluarga ningrat.

"Seharusnya kan sama Aulia. Anaknya cantik, bule. Atau sama Linda. Dia kan sudah akrab sama Ibu. Kok malah milih perempuan macho? Pram ini maunya apa toh?"

Ayah yang sedang memangku Izra, tak tinggal diam karena ibu masih cerewet.

"Bapak itu kenal Sandra. Orangnya baik. Lagipula mereka itu sama-sama prajurit. Jadi lebih nyambung kalau ngobrol."

"Ibu bukan prajurit. Tapi pernikahan kita langgeng terus."

"Karena Bapak ini super sabar," balas ayahku pelan sekali karena takut ibuku emosi. Dia menolehku dan memberi tepukan pundak. "Handy, kamu lihat sendiri kan hubungan mereka?"

"Iya ayah. Mas Pram cinta banget sama Mbak Sandra. Kali ini serius."

"Hallah emprit! Mulutnya Pram kok dipercaya?" Ibuku masih tak terima.

Jika hubunganku dengan ayah pernah terhalang dinding tebal, hubungan ibu dan Mas Pram seakan terhalang sebuah gunung. Masih musuhan. Amarah ibu sering meledak untuk apapun ulah kakakku. Entah ngidam apa waktu hamilnya. Ibu bahkan menyiapkan sapu hanya demi memukul pantat.

Pantas saja Mas Pram tak betah.

"Nanti kan dia berubah kalau sudah nikah. Seperti adiknya ini nih." Ayah menepuk pundakku sekali lagi.

Sedangkan ibu masih buang muka dan memajukan ujung bibirnya.

"Jangan manyun dong, Bu. Nanti cantiknya hilang."

"Bapak gak usah merayu. Ibu gak kasih restu."

Ayahku tak menyerah. Beliau menoleh kebelakang dan menyentuh dagu ibuku.

"Pram itu ganteng karena ikut wajah ibunya loh. Mau nikah sama siapapun anaknya nanti tetap nurun wajah kamu. Cantik. Awet muda."

"Bapak ini, ada anak-anak. Jangan merayu."

"Orang punya istri cantik kok ndak boleh dirayu?"

"Ah, Bapak ..."

Aku malu sendiri melihat ayah ibu malah bermesraan di sebelahku.

Mobil memasuki Kota Solo. Sebuah kota di mana aku dan Mas Pram lahir. Sebelum ayah jadi komandan. Sewaktu beliau masih diremehkan hanya karena prajurit rendahan. Tapi cinta berkata lain. Demi ibuku, ayah rela bekerja ganda. Dia jalani misi-misi mustahil demi pangkat dan juga martabat.

Iya, tidak mudah menikahi ningrat.

Ayahku pun masih tak move on dari masa lalunya saat kota itu di depan mata. Matanya terpicing. Dagunya agak terangkat bersama nafas yang agak berat.

"Handy, mampir ke Kodim Surakarta."

"Ayah ada perlu?"

"Tidak. Kita numpang parkir di sana. Jangan sampai keluarga tahu kita ke sini bawa mobil mewah."

Aku paham maksudnya. Akupun mampir ke tempat itu setelah high five dengan ayahku. Ibuku diam. Beliau tahu bahwa sudah waktunya keluarga kami unjuk gigi di depan pada kerabat.

Prajurit jaga spontan hormat saat melihat wajah ayahku. Siapa yang tak kenal Brigjen Sudibyo? Prajurit itu menata jalan setelah ayah bilang kami butuh tempat parkir.

Yeah, hak prerogatif petinggi militer. Ayah sangat berwibawa walau hanya berbaju batik. Tidak pakai seragam. Tidak pula sepertiku yang memakai setelah rapi, jas dan juga dasi. Setelah bicara sejenak dengan perwira di markas itu, kami pergi ke rumah Pak Dhe dengan menyewa taksi online.

Ayah tersenyum bangga.

Beliau rangkul pundakku begitu taksi menjemput kami.

"Handy, kita rendah hati dulu. Tapi kalau kerabatmu yang sombong-sombong itu pamer, tunjukan ke mereka kamu ini anaknya siapa."

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now