Jodoh Seorang CEO

744 99 3
                                    

"Mr. Respati Mahesa Asyura, son of Mr. Abu Hasyim, I marry off and I wed off my real daughter, Herlyna Sekar McKingston to you, with the dowry US$ 3237, in cash."

Seorang pria paruh baya kulit putih mencuri mata seluruh saksi di rumah itu. Rumah sederhana di kampung pelosok. Respati mengulurkan tangannya pada penghulu yang tak lain ayah mertua. Di samping wanita cantik bermata biru. Di bawah kerudung putih yang menyatukan mereka berdua. Sepasang pengusaha besar yang meresmikan hubungan di bawah prosesi agama Islam. Dalam bahasa yang hanya dipahami sebagian orang.

Senyum Respati nampak kalem. Bisa dibilang santai. Berbeda dari Herlyn yang tak sanggup menyembunyikan air matanya. Dan air mata itu menular ke dua perempuan di sebelahku. Fitria dan Linda mewek-mewek seperti ibu-ibu nonton Titanic.

"I accept her marriage and wedding, Herlyna Sekar McKingston, daughter of Mr. George Dyna McKingston with the dowry mentioned above in cash."

"Sah?"

"SUUAAHHHH! Aduh duh!"

Fitria mencubit pinggangku karena teriakanku lah yang paling keras. Istriku seakan tahu aku akan teriak "merdeka!" andai dia tak mencegahnya.

"Malu-maluin! Ditiruin Kakak tuh!" bisiknya sambil melirik Izra.

Prosesi itu berjalan lancar. Semua tetangganya pulang, menyisakan beberapa saja tamu undangan seusianya. Salah satunya wanita imut yang hampir seimut postur istriku. Wanita itu masih memakai seragam PNS yang nampaknya seragam guru.

"Mas Asyu, selamat ya?"

"Nanti kucari calon suamimu yang ilang itu."

"Apaan sih?" Wanita imut itu mencubitnya.

Setalah basa-basi dengan temannya, Respati sungkem agak lama ke sang ibu. Membawa sebuah ekspresi yang tak pernah dia tunjukkan ke siapapun. Senyum lembut dan mata basah. Dia tak gengsi menunjukkan ekspresi itu di depanku, Linda, Fitria, dan seorang Prasojo. Kami paham alasannya. Karena setelah ini, Respati akan terpisah benua dari ibunya. Sosok perempuan yang paling dia cintai.

"Ibu gak apa-apa, kan? Setelah ini mau jenguk saja harus pakai visa."

"Lah, kan sudah dari kemarin, Le?"

"Aku akan sibuk di Amerika, Bu."

Ibu Respati lebih tua dari ibuku. Tapi karakter mereka hampir sama. Keduanya sama-sama bijak. Aku bisa membacanya dari mata itu, mata seorang ibu yang sudah siap anak lelakinya pergi jauh. Dengan bijak pula dia belai rambut Respati dan memberi tatapan teduh.

"Kamu boleh jadi boss besar. Uangmu boleh banyak. Semua orang boleh menghormatimu. Tapi selama kamu di depan ibu, kamu tetap anaknya ibu. Ngerti le? Ibu restui apapun impianmu."

Andai aku yang menerimanya, andai ucapan itu dari ibu atau ayahku, aku pasti menangis. Tapi tidak untuk Respati. Dia hanya tersenyum. Tatap matanya sangat dalam, memberi gambaran seberapa besar pengalaman hidupnya.

Karena Respati tak punya ayah. Beda dariku, dia tak dicetak seseorang. Dia mencetak dirinya sendiri sejak kecil. Wajar jika pria 32 tahun itu memiliki aura yang sangat sulit kami baca. Apalagi di mata seorang Prasojo, pria yang lahir dari keluarga kaya. Wajah seriusnya jadi kendor saat melihat rumah ibu Respati. Dia pasti baru tahu pengusaha besar yang paling dia hormati itu ternyata lahir di keluarga miskin.

"Pak Handoko, kok bisa ya?" katanya bisik-bisik.

"Saya juga heran, Pak," jawabku sama anehnya.

Percaya tidak percaya, rumah ibu Respati masih berlantai keramik era 90-an. Dindingnya pun dari keramik di era yang sama. Terutama di ruang tamu yang hanya berukuran empat kali empat. Cukup luas di desa-desa. Tapi sangat sempit di mata kami sebagai kaum penghuni langit. Dengan santainya Respati jawab tanpa gengsi sama sekali.

"Ibu sudah saya tawari segalanya. Tapi beliau tidak mau. Beliau ingin rumah ini apa adanya, agar orang tahu jerih payahnya membesarkanku. Dan kau lihat? Here I am."

"Hir ayem hir ayem, ngomong itu yang bener sama tamu."

Sang ibu menjewernya, saat Respati rentangkan tangan karena narsis. Persis perlakuan ibuku ke Mas Pram. Pengusaha itu juga terlewat santai sampai istrinya dibiarkan begitu saja. Herlyn masih senyum-senyum. Matanya basah lagi saat pipinya dicium lagi oleh mertua.

"Akhirnya, setelah dicuekin bertahun-tahun, kamu nikah sama si Tole."

Herlyn yang kalempun tersedu-sedu menggigit bibir. Dia benamkan wajah cantiknya di pangkuan ibu mertua. Mereka terlihat akrab. Nampaknya, ada kisah yang tak kutahu dari sepasang pengusaha itu. Di balik formalitas mereka. Di balik keseharian mereka yang menjaga etika bisnis. Pemandangan itu jelas memancing wajah mencibir dari seorang ibu hamil.

"Kok gaya Pak Respati mengingatkanku ke seseorang, ya?" ucap istriku dengan wajah sebal. Dia makin ketus karena Respati malah terkekeh saat istrinya mendayu-dayu. Cuek sekali. Fitria makin sebal saat Respati dengan cueknya menghampiri kami.

"Halo Handoko My Men! Akhirnya, aku gak bebas lagi," katanya, sebelum dilempar gelas air mineral dari belakang. "Bencanda, Bu. Bercanda!"

"Kalau Nduk Herlyn nangis ke ibu, kamu aku pecat jadi anakku!"

***

Seusainya prosesi ijab kabul, Respati mengajak kami ke Kota Jember. Hanya tiga jam dari kampung halamannya di Banyuwangi. Di kota itupun kami juga bertamu di rumah sederhana tipe tiga enam. Rumah yang Respati huni bersama Herlyn selama ini. Tinggal berdua bahkan sebelum menikah. Terang saja, Prasojo makin blingsatan.

"Bapak serius tinggal di sini?"

"Iya. Sejak mendirikan PT. Prodexa. Saya tak terbiasa tinggal di rumah besar. Selama nyaman dipakai tidur dan kerja, rumah ini lebih dari cukup."

Prasojo mengangguk-angguk. Wajah seriusnya hilang lenyap. Berganti wajah bengong bercampur heran. Terlebih ketika Herlyn datang dari dapur. Wanita kelas atas itu seperti ibu rumah tangga pada umumnya. Memakai daster. Menemani suaminya yang memakai oblong dan celana pendek.

"Herlyn dulunya tinggal di hotel," sambung Respati, merangkul wanita Amerika itu semesra mungkin. "Tapi setelah kami pacaran, dia langsung pindah ke sini. Mengawasiku 24 jam. Padahal kan saya pria setia?"

Ucapan itu disambut wajah masam tiga perempuan di ruang itu. Terutama istriku. Respati tertawa setelah menyadari ucapannya kurang ramah untuk ibu hamil.

"Hahahaha, maaf, maaf, saya lupa di ruang ini ada ladies-ladies." Pria itu memandangku dan Fitria bergantian. Setelah itu menatap Prasojo yang kebetulan duduk berdampingan bersama Linda. "Pak Prasojo tak punya pandangan menikah?"

"Belum, Pak. Masih banyak yang belum tuntas."

"Saya juga masih banyak yang belum tuntas. Dan masalah itu tak akan tuntas jika saya tidak menikahi wanita ini. Itu separuh alasan saya menikah, Pak Prasojo. Demi bisnis."

"Separuh sisanya?"

"Because I love her. Simple."

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now