Iwan Shakespeare

28.8K 2.4K 43
                                    

Kaos singlet putih berdaki, pria keriting itu memoles kaca matanya dengan ujung kaos. Dia pakai kaca matanya lagi, dia lepas lagi, dipoles lagi, dipakai lagi, dilepas lagi ...

Mas Iwan pasti syok!

"Mas Iwan tidak salah lihat."

Kulirik Izra di gendonganku. Kulirik juga Fitria di sampingku dan berkata, "kejutan!"

"Maaf, dikau salah alamat."

BRAK! Pintu ditutup.

"Mas, serius! Aku bisa jelasin!"

Jam delapan malam itu, kugedor-gedor pintu kontrakan seniorku.

"Setahuku juniorku itu jomlo mengenaskan. Bukan penculik bayi dan istri orang. Daku tak mau terlibat!"

"Sumpah, Mas! Aku bisa jelaskan!"

Pintu terbuka. Kali ini Mas Iwan menemuiku dengan penampilan yang lebih pantas. Dia juga mematikan pemutar musik di kamarnya yang melantunkan lagu-lagu underground.

"Jelaskan dengan saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya."

Kujelaskan kronologi pertemuanku dengan ibu dan anak itu. Kuceritakan pula perjalanan hidup Fitria sejauh yang kutahu dari bibirnya. Mas Iwan manggut-manggut. Sesekali ia bertanya pada ibu muda yang entah sejak kapan menggandeng tanganku. Simpatinya ikut terusik.

"Dikau gak diculik, kan?"

"Mas!"

Si Keriting itu berwajah datar. Dia hela napas panjang sembari menggeleng pelan. Aku bingung. Fitriapun semakin takut. Terlebih saat Mas Iwan mengajak kami menuju rumah pemilik kontrakan.

"Berdiam dirilah di sini. Daku hendak tuturkan gulana dikau kepada Sang Pemilik Negeri."

"Hah?"

"Maksudnya Bu Eulis."

Jantungku dag dig dug. Aku harap-harap cemas. Apalagi saat Mas Iwan bicara berdua dengan Bu Eulis agak jauh dari kami. Entah apa yang mereka bahas. Aku berharap ada solusi untuk Fitria karena akulah yang membawanya. Terang saja, Bu Eulis pun datang dan menghujaniku dengan segudang pertanyaan.

"Eh Mas Handoko, Neng Geulis ieu teh saha?"

Sumpah aku gerogi. Posisiku bisa dibilang tak masuk akal. Baru hari ini aku bertemu Bu Eulis, tapi kesan pertamaku justru sudah bawa masalah. Sejujur mungkin aku berkata bahwa aku tak tega menelantarkan ibu dan bayinya di Kota Bandung. Aku pun memaksa Fitria untuk lebih banyak bicara, menceritakan kisah hidupnya lebih lengkap.

Aku pasrah. Aku siap kalau-kalau kami diusir. Tapi yang tak kuduga, Bu Eulis justru menangis seperti baru nonton sinetron.

"Karunya atuh, untung Neng Fitria ketemu Mas Handoko," katanya, sambil menimang Izra yang juga berhasil menyihirnya.

"Fit-Fitria istirahat di mana, Bu?" Aku beranikan untuk bertanya.

Bu Eulis tak nampak panik. Beliau cukup kalem saat memberi kami solusi.

"Tadi teh Ibu sudah ngobrol jeung Iwan. Sementara Mas Handoko tidur di kamar manehna, nya? Neng Fitria biar istirahat di Kamar Mas Handoko. Kumaha?"

Aku lega. Sikap nekadku berujung solusi. Kutengok Fitria yang tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih.

Akhir bahagia, bukan?

Setidaknya, sampai seseorang asal nyeletuk.

"Dikau dengar? Malam ini istri dan anakmu tidur di kamarmu."

"Dia bukan istriku."

Mas Iwan melepas kacamatanya. Bola matanya menatap malas ke mataku, sebelum berpidah ke lenganku yang seenaknya merangkul cewek.

"Lalu, dia siapamu, Arjuna?"

Aku gelagapan. Aku langsung tak enak badan begitu menyadari merangkul Fitria saking geroginya. Memalukan sekali. Bukan aku saja, Ibu muda itu pun baru sadar bahwa kami hampir berpelukan.

"Ma-maaf!"

***

Iwan Sutiawan, kakak kelasku SMA dulu sekaligus senior di kampus yang sama. Orang-orang lebih mengenalnya sebagai Iwan Sang Pujangga. Eksentrik sekali. Pria ceking itu juga musisi yang cukup terkenal di komunitas bawah tanah.

Metalhead!

"Selamat datang di Kota Bandung, Hando."

Kontrakan kami berada di pinggiran Kota Bandung. Lebih tepatnya daerah Ujung Berung. Ada tiga rumah milik Bu Eulis yang salah satunya tempatku tinggal bersama Mas Iwan. Tipe 45, empat kamar tidur. Mas Iwan menyewa rumah itu untuk dia sewakan lagi tiga kamar tersisa kepada tiga orang lain.

Salah satunya kepadaku.

"Aku sempat bicara banyak sama dia, Mas. Ayahnya meninggal dua minggu lalu. Sakit jantung. Dia tak punya siapa-siapa lagi sekarang. Bayangkan. Baru resmi jadi yatim piatu, eh diceraikan."

"Iya sih, dirinya bagai sukma terhilang asa." Mas Iwan menjawab santai. "Tapi daku tak habis pikir. Bisa-bisanya binatang jalang yang terbuang ini menolong orang." Mas Iwan buka topik lain. Dia singgung watakku yang katanya egois dan individualistik.

Okay, aku mengaku tudingannya tidaklah salah. Keputusanku menolong Fitria pada faktanya bukan karena kesengajaan. Kebetulan saja dia duduk di sebelahku. Andai kami berbeda bangku, aku tak sebaik itu bersikap dermawan untuk seseorang yang tidak kukenal. Isi dompetku tak memberi alasan untuk menjadi seorang pahlawan.

Logis, bukan?

Namun, semua jadi berbeda setelah aku menggendong Izra.

Ada ikatan aneh antara aku dan bayi itu. Aku merasa dia sangat mengenalku, begitupun sebaliknya. Wajahnya sangat familiar. Aku merasa pernah melihatnya, entah dimana. Alasan aneh, bukan? Dan alasan konyol itu tak mungkin kuutarakan pada pujangga si tukang sindir.

"Aku gak tega, Mas. Kalau mereka bertemu orang jahat gimana?" jawabku sekenanya. Aku menghindari mata Mas Iwan yang sedang membaca lawan bicaranya.

"Bukan kebetulan. Tapi takdir. Siapa tahu dia jodohmu?"

Langsung kupelototi si keriting itu. Aku kesal karena Fitria dia jadikan bahan untuk menggodaku. Tapi belum sempat aku komplain, Mas Iwan membuka kamarnya dan memintaku segera masuk.

"Nanti Bu Eulis siapkan kamar untuk isteimu. Sementara menginap dulu di istanaku ini."

"Istana apanya?" Langsung kukomentari kamar Mas Iwan yang lebih mirip Pembuangan Akhir.

Ada abu rokok berceceran di lantai. Ada bungkus makanan dan pakaian kotor yang dia taruh sesukanya. Belum lagi celana dalam yang nampak jamuran. Mengerikan sekali. Pantas saja dia jomblo sampai sekarang. Setelah menyuguhkan kopi dan kotak rokok padaku, Mas Iwan duduk di kursi komputer sementara aku rebahan di atas karpet. Khas anak kost. Aku jadi merasa tak ada bedanya dengan masa kuliah. Melihat lingkungan di sekitarku, aku juga tak tahan untuk tidak menyindirnya.

"Mas Iwan buka usaha daur ulang?"

Kakak angkatku melirik datar tanpa mau berkomentar. Ekspresi terlalu datar hingga kutelan sendiri kalimat tadi.

Suara keyboard bergemeratakan. Mas Iwan nampak serius di depan komputer. Setelah mengetik seperti maniak, dia memberiku kode untuk ikut lihat monitor.

"Daku yakin pria ini suami Fitria, Anak Muda. Ada foto Izra di sana."

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now