Keputusan Bulat

20K 1.9K 24
                                    

Nara Park, Bandung. Di tempat itu tersedia tujuh restoran berbeda untuk para pelanggannya. Aku pilih cabang Porto Bistreau, sebuah restoran Eropa untuk lidah kami yang mulai naik kelas. Kurogoh kocek dalam-dalam. Kubebaskan Fitria memilih menu apapun tanpa melihat daftar harganya.

"Enak?"

Fitria mengangguk cepat. Sikap kekanakannya kembali karena Crème Brulee yang dia santap. Walau hidangan penutup itu harganya amit-amit, melihat wajah cerianya, kalkulatorku jadi rusak.

"Udah seneng, kan? Jangan ngambek lagi ya."

"Habisnya, Mas baru hari pertama saja sudah lirik-lirik."

Hari ini kencan kami agak bermodal karena Fitria masih kesal. Ternyata dia cemburu pada Linda. Dan rasa cemburu itu makin menjadi-jadi karena aku tak juga mengerti. Mas Iwan yang bilang. Aku jadi heran kenapa si keriting itu lebih mengerti perempuan dibanding aku.

"Aku kan obyektif, Fitria. Kalau orang itu cantik ya aku bilang cantik."

Mata Fitria melirik tajam. Aku langsung ingat pesan Mas Iwan untuk tidak memuji perempuan lain.

"Tapi gak ada yang lebih cantik dari kamu."

"Beneran?"

"Kapan aku bohong?"

"Mas sendiri bilang dia cantik, tinggi, ngomongnya lugas, gak basa-basi, bilang aja dia seleramu."

Aku teringat lagi pesan Mas Iwan untuk menghindari perdebatan. Walau tergoda untuk membantahnya, kupilih memberi rayuan agar Fitria semakin lunak.

"Sayang ... ehem," ucapku agak geli dengan sebutan itu. "Kamu cinta pertamaku. Dan karena kamu aku berubah banyak. Apa dipikir semudah itu aku berpaling?"

"Sejak kapan Mas bisa gombal?" Dia malah menyindir.

"Ayolah, aku sudah berusaha romantis."

"Aku tahu kamu, Mas. Dengernya saja aku geli, hahahaha."

Gantian aku yang sewot. Perempuan itu masih tertawa dengan whip cream di pipi bulatnya. Cara makannya masih belepotan. Tanpa sadar kuambil tisu, dan Fitria memajukan pipinya seakan sikapku sangatlah wajar.

"Mas memang gak jago ngomong. Tapi Mas sering bertindak. Ini yang bikin aku jatuh cinta."

Gerakan tanganku terhenti. Kupandang Fitria yang makin cantik dengan gaunnya, potongan rambutnya, serta riasan make up yang dia poles. Perempuan ini jauh berbeda dibanding pertama kami bertemu. Dibanding dulu, Fitria saat ini adalah perempuan yang sangat menghargai dirinya sendiri.

Aku ingin menciumnya detik ini juga. Tapi terlalu banyak orang di restoran itu, juga ada Izra yang sibuk mengejar kupu-kupu.

"Eh, dedek mainnya jauh banget. Mentang-mentang sudah bisa jalan." Fitria beranjak. Dia hampiri putera kami yang sedang bermain dengan waitress.

Pemandangan itu indah sekali. Keceriaan mereka lebih nikmat dari menu yang kami santap. Dulu aku pernah memilih keputusan gila untuk membawa perempuan asing bersama bayinya. Siapa sangka keputusan itu telah mengubah hidupku. Aku sadari banyak hal yang berbeda dari diriku, yang berawal dari sikap impulsif. Dan hari ini, dua pilihan itu datang lagi saat hubungan kami semakin jauh.

Aku tak mau ragu lagi.

Fitria harus tahu keputusanku.

"Mas, dedek jadi nakal sekarang. Kabur mulu."

"Pssttt ... gak boleh bilang kata itu. Masa sudah baca bukunya kok masih melanggar?" ujarku selembut mungkin.

Fitria tersenyum malu. Seharusnya dia tahu seorang anak tak boleh mendapat cap nakal, bodoh, dan stempel lain yang akan dia amini setelah besar nanti. Izra harus tumbuh jadi anak cerdas. Dan seperti kata orang, anak yang cerdas tak mungkin tumbuh bersama ibu yang bodoh.

Karena itulah Fitria harus kuliah. Karena itu pula aku sering membelikannya buku untuk dia baca di waktu senggang.

"Mas, kata penelitian, anak mewarisi sifat mandiri dari pelukan ayahnya loh. Pantas Izra jarang rewel sekarang." Fitria mengulas buku Neuro-Parenting yang dia pelajari belakangan ini.

"Dan anak usia seusia Izra masih belum memahami kata, tapi memahami emosi kita sebagai orang tuanya. Jadi jangan ngambekan ya, Dedek terpengaruh loh." Kumanfaatkan minatnya pada buku itu untuk sedikit meringankanku.

Fitria tersenyum malu lagi. Dan ekspresi itu mengembalikanku pada topik penting yang harus kami bahas detik ini juga.

"Fitria, minggu depan kita harus menikah."

DEG!

Ekspresinya langsung berubah. Dia menatapku dengan wajah tak percaya.

"Mas yakin?" ucapnya lirih.

"Iya. Aku tak mau menunda lagi."

Fitria nampak berusaha menahan haru. Dia ulur kedua tangannya, dan meraih tanganku untuk dia cium.

"Keluarga Mas sudah merestui?"

"Aku akan meminta restu mereka. Kalaupun tidak merestui, aku tak peduli."

Bibirnya bergelombang. Aku tahu Fitria bukan perempuan egois yang hanya menuruti kemauannya sendiri. Dia ingin segera menikah, tapi dia tahu bahwa pencapaianku masih butuh waktu. Dia tak ingin hidupku berantakan hanya karena emosi sesaat.

"Maafkan aku, Mas. Aku tahu Mas pasti tertekan karena hubungan kita." Air matanya mulai mengalir. Dia tarik tanganku dan meletakkannya di dada, seakan memintaku untuk menyentuh hatinya. "Aku gak nuntut, Mas. Tapi aku takut Mas nanti diambil orang."

"Apa keputusanmu?"

Fitria menghela napas panjang. Dia masih merengkuh tanganku hingga aku sadar benda apa yang sedang kusentuh. Aku berusaha untuk tetap serius. Tapi benda kenyal itu seperti sumber listrik yang mengalir cepat ke bagian tubuhku yang lain.

Ada yang tegak.

Dan itu bukan keadilan.

Kutarik tanganku saat si Elang mau terbang.

"Mas, aku siap menemui orang tuamu dan apapun pendapat mereka." Fitria menarik lagi tangan itu dan menciumnya dengan pipi basah. "Dan aku siap mendapat penolakan."

Wajah itu pasrah sekali.

Demi apapun, penolakan itu tak boleh terjadi.

"Aku laki-laki, Fitria, restu orang tua bukan masalah bagiku," ucapku memutar topik. "Tapi kamu perempuan. Aku harus minta izin ke walimu."

Fitria menegadah dengan wajah kaget. Dia menatapku dengan kilasan benci yang bisa kubaca dari matanya. Aku tak tahu kenapa. Dia sebut nama wali itu dengan bibir terbata-bata.

"Pam—Paman Sukardi?"

"Iya. Minggu ini kita harus bertemu dengan siapapun itu."

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now