Dunia Pejantan

8.5K 1.2K 39
                                    

Tinggi badan Fitria 152 cm. Sedangkan berat badannya 49 kg. Tergolong ideal walau dia merasa kegemukan. Dan bagiku yang rajin berolahraga, istriku cocok sebagai partner.

"15 ... 16 ... 17 ..."

"Mas, sudah selesai belum?"

"Sebentar ... 17 ... 18 ... duh, sampai lupa hitungan."

Aku telentang di susunan kursi tanpa sandaran. Tangan kiriku menyangga bahu Fitria sementara tangan kananku menyangga pahanya. Aku sedang bench press. Kunaik turunkan badan istriku yang sedang berperan sebagai alat angkat beban.

"Mas, pegal nih."

"Sabar."

20 hitungan kulalui. Kutaruh istriku dan mengambil barbel yang lain yang lebih kecil. Dumbbell untuk satu tangan. Siapa lagi kalau bukan Izra?

"Mas memang butuh alat fitness nih, huffff ... Butuh modal berapa?"

Kegiatanku sejenak terjeda.

"Kalau mau satu set, kira kira 20 jutaan. Ada alokasi untuk kebutuhan pribadi?"

"Iya, aku alokasikan untuk bulan ini. Sisanya kita pakai untuk beli saham."

Kalau boleh dibilang, pendapatan kami lebih dari lumayan. Setidaknya ada 300 juta perbulan dari gabungan gaji kami berdua serta dividen perusahaan. Tapi bukan berarti kami boleh berhura-hura. Istriku sangat ketat mengatur uang. Dia tak meremehkan uang kecil. Sampai detik ini dia masih mencatat pengeluaran di nominal ratusan perak.

"Pengeluaran rumah tangga kita lima juta perbulan, Mas. Uang jajanmu tiga juta, sedangkan aku tujuh juta. Itu diluar biaya kuliah."

"Enak banget jadi istri."

"Cewek butuh perawatan, tahu? Dan biaya perawatan itu mahal! Mas gak akan peka, aku potong rambut saja Mas gak tahu."

Kuletakkan si dumbbell kecil. Kuamati lagi wajah istriku yang makin berbeda belakangan ini. Wajahnya jadi glowing. Baby face-nya kambuh lagi setelah lepas dari stress. Mirip artis Jepang yang Jared sebut.

Hmm ... Kanna Hashimoto atau siapalah. Hampir tak ada bedanya.

Kecuali bagian dada.

"Cowok itu simpel Mas. Mereka cuma butuh pembersih muka sama alat cuur janggut. Kalau cewek itu harus lengkap."

Iya juga sih, meja rias kami jadi dipenuhi barang aneh-aneh. Aku heran bagaimana istriku bisa hafal produk-produk itu. Padahal bagiku sama saja. Aku pernah coba-coba memakai salah satunya. Bentuknya mirip pembersih muka. Dan setelah memakainya, aku baru tahu ternyata botol itu adalah pembersih kewanitaan.

Untung Fitria tak tahu.
Aku bisa ditertawakan.

"Okay okay, aku tahu kebutuhanmu memang banyak. Tapi serius nih mau beliin aku alat fitness?"

"Iya, daripada aku sama Dedek Mas jadiin barbel. Lagian hari ini kan istimewa Mas?"

Aku tak sanggup menahan senyum. Iya, setelah merayakan bersama Mas Pram, kurayakan lagi ulang tahunku berdua saja bersama istri. Candle light dinner, kami berasa pacaran lagi.

Tanpa sadar aku memeluknya. Kupandang matanya dan perlahan mendekatkan wajah.

"Fitria, aku mencintaimu dan tak akan bosan menyatakannya."

"Mas ..."

Dan tepat saat kami berciuman, seseorang masuk ruangan.

"Jangan pedulikan, sayang." Fitria makin agresif menciumku.

"Mesra mesraan itu di kamar, jangan di ruang tamu. Gak kasihan apa, sama yang jomlo?"

"Memangnya Mas Pram jomlo?" Istriku langsung menyahut. "Kalau cewek-cewek yang Mas tiduri itu hamil ..."

"Satu kompi anakmu semua, hahahahaha!" Lanjutku terbahak.

Mas Pram cemberut. Wajahnya selalu lucu kalau dia sedang di-bully. Tapi dia tak berani membalas kami karena istriku adalah penguasa di rumah ini.

"Mas Pram darimana? Katanya kasih hadiah buat suamiku?" Fitria langsung menagih.

"Iya, ini baru ambil dari kantor."

Mataku berbinar-binar. Mas Pram tak pernah memberiku hadiah murahan. Tapi sekali lagi, kami hanyalah hamba sahaya untuk seorang ratu berbadan mungil. Istriku lebih dulu mengambilnya, merobek bungkusnya, sebelum histeris setelah melihat apa isinya.

"Dasar laki-laki!"

***

P-3A, varian terkecil dari line-up buatan Pindad. Memiliki kaliber 7,65 x 17 mm, didesain untuk penembakan jarak dekat. Panjang larasnya hanya 102mm. Imut sekali. Kapasitas magasennya mencapai 12 peluru karena kalibernya yang tergolong kecil. Sebenarnya aku lebih suka 9mm. Tapi sayangnya, kaliber itu belum boleh digunakan di Indonesia sebagai alat bela diri.

Pistol itu pun dilengkapi sarung dan sabuk rompi yang bisa kusampirkan di balik jas hitam. Kompak sekali. Sangat cocok kalau memakai setelan resmi. Aku tak lagi cemas kalau Mas Pram tak berada di sampingku. Dengan pistol itu, aku masih bisa membela diri kalau ada pengeroyokan lagi. Dan dengan pistol itu pula aku merasa gagah saat menemani istriku belanja.

"Mas, kita kan cuma di mal, ngapain pakai jas?"

Aku menjawabnya dengan sedikit membuka jas. Fitria alihkan mata saat pistol itu dia lihat.

"Kenapa sih cowok suka kekerasan?"

"Ini demi keamanan kita, tahu? Lagian kenapa sih benci banget sama pistol ini?"

"Ukurannya kekecilan. Aku lebih suka pistol suamiku. Ukurannya lebih gedhe," balasnya, sambil mengepalkan tangannya sendiri.

Aku tak menjawabnya. Urusannya bisa panjang kalau watak mesum itu aku tanggapi.

Hari ini kami belanja di sebuah mal. Fitria berjalan di depan, sedangkan aku mendorong troli di mana Izra sedang duduk di atasnya. Gaya hidup kami berubah total. Dulu, aku selalu pusingkan harga saat menginginkan suatu barang, bahkan untuk barang bekas. Tapi sekarang apapun yang kami beli tinggal menggesek kartu kredit.

Horang kayah!

"Mas ngapain senyum-senyum sendiri?"

"Oh enggak, tiba-tiba saja aku ingat pertama kali belanja bareng. Di Pusdai. Waktu itu Dedek masih lima bulan. Gak terasa ya? Putera kita hampir tiga tahun."

Gantian istriku yang senyum-senyum. Dia rangkul lenganku di antara gerai tenant dan butik-butik.

"Iya, aku gak akan lupa pertama kalinya Mas bilang aku cantik."

"Masa?"

"Mas gak ingat? Aku loh masih ingat Mas ucapin itu dengan wajah bego, hahahaha!"

"Serius? Masa sih?"

"Iya, Mas gak seperti cowok kebanyakan yang ngarep sesuatu saat memuji cewek. Mas itu polos banget. Bahkan gak sadar kalau Mas lagi merayu."

Kugaruk rambutku yang tidak gatal. Dia memang sering komplain akan sikapku yang terlalu lugu. Istriku benar. Aku berbicara apa adanya. Aku tak tahu kalau ucapan itu bisa dimaknai lain oleh perempuan yang mendengarnya.

"Sikap Mas itu berlawanan sama Mas Pram. Dia itu kalau memuji cewek selalu ada udang di balik batu."

"Iya, dia suka gonta ganti pacar."

Istriku tersenyum manis.

"Tapi Mas tahu gak? Akhir-akhir ini Mas Pram agak berubah setelah tinggal sama kita. Sepertinya dia sadar kalau suatu saat nanti akan menikah."

"Masa?"

"Mas mana peka soal ginian? Aku loh terasa. Sepertinya dia pingin punya rumah tangga seperti kita."

Ucapan Fitria mengingatkanku akan sikap Mas Pram semalam. Iya juga sih, akhir-akhir ini Mas Pram sering melihat kami dengan tatapan aneh. Terutama saat dia mengasuh Izra.

Mungkin istriku benar. Mungkin Mas Pram ingin punya keluarga sendiri setelah seminggu bersama kami.

"Mas Pram sudah 30 lewat. Apa kita jodohin saja ya biar gak keluyuran kesana kemari? Mas setuju?"

"Sama siapa?"

Aku gelagapan saat istriku seenaknya menyebut seseorang.

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now