Petasan Kecil

37.4K 2.9K 39
                                    

"Mbak, tolong dedeknya ditenangkan. Penumpang lain juga terganggu," ucapku agak berbisik.

Saat penumpang semakin ribut, wanita itu jutru terdiam. Satu gerbong bangun semua gara-gara tangisan bayi. Aku makin panik jadi pusat perhatian. Kucolek-colek si ibu muda dan menggunakan pendekatan lain.

"Sepertinya dia lapar. Kapan terakhir nyusu?"

Si ibu muda masih enggan berbicara.

"Kamu malu menyusui di sini?"

Dia mengangguk pelan. Aku pun mengambil selimut saat dia melepas kancing.

"Tutupi pakai ini. Kasihan anakmu nangis terus."

Si Ibu muda mau mengangguk setelah aku bersikap tegas. Secara reflek, kutoleh ke arah lain saat dia melepas kancing. Sekaligus menutupi badannya agar tak dilirik penumpang sebelah. Seperti yang kuduga, bayi itu langsung diam setelah mendapat dada ibunya.

Cih, enak sekali jadi bayi.

Aku juga mau.

"Sel—selimutnya, Mas."

"Pakai saja. Aku sudah ada jaket," balasku, sembari melihat tubuhnya agak menggigil.

Kelas eksekutif menyediakan selimut dan bantal di setiap bangku yang tersusun dua deret. Cukup nyaman, sepadan dengan harga tiket. Tapi wanita itu menggunakan selimutnya sebagai alas tidur si kecil, hingga tubuhnya terpapar AC gerbong. Malam ini dingin sekali. Aku kasihan padanya. Selimutku pun kupakaikan ke ibu muda itu yang agak kerepotan menggerakkan badan. Alhasil, sikap dermawan itu memicu komentar ibu-ibu yang duduk tepat di belakang kami.

"Nah, begitu dong. Istrinya diperhatikan. Jadi suami harus ngalah."

Sebenarnya aku kesal. Tapi bibirku malah tersenyum. Entah kenapa, ada sensasi tersendiri saat aku sedang bersikap seperti suami. Rasanya seperti orang lompat kelas. Rasa gerogiku sirna. Berganti rasa simpati dan naluri melindunginya. Berhubung si imut itu mau bicara, aku berani bersikap akrab.

"Namaku Handoko, namamu siapa?"

"Fitria."

***

Beberapa saat kemudian.

"Oweeee!"

Duh, bayi itu menangis lagi.

Fitria ikut terbangun dengan wajah kaget. Begitupun penumpang lain yang langsung menoleh ke arah kami. Mereka menatapku dengan wajah menyalahkan. Beberapa penumpang bahkan menghidupkan lampunya sebagai tanda bahwa kami mengganggu mereka.

Ibu muda itu semakin panik. Dia berusaha menenangkan si kecil dengan suara setengah terisak.

"Izra jangan nangis ya. Ibu mohon. Jangan bikin ibu lebih susah lagi, hiks!"

Oh, Namanya Izra?

Tangisan bayi itu semakin keras. Saking paniknya, Fitria mengeluarkan sebelah dada saat aku memperhatikannya. Besar sekali. Ini pertama kalinya aku melihat dada telanjang. Kontan saja, aku alihkan mata saat ketahuan mencuri pandang.

"Maaf."

Fitria tidak menjawab. Dia masih sibuk dengan si kecil yang suaranya seperti mercon.

"Kenapa masih menangis?" Aku bertanya tanpa berani menolehnya.

"Gak tahu, Mas ..."

Semakin banyak penumpang bangun. Aku makin tak nyaman saat mereka kembali berbisik dan membuat salah paham ini semakin rumit.

"Kamu itu suami macam apa sih? Tolong anaknya ditenangkan."

"Iya, ganggu orang tidur saja."

Sialan. Sandiwara ini jadi senjata makan tuan. Sebagai orang yang tak pernah berpacaran, aku baru tahu jadi ayah tak seindah itu. Mau tak mau harus tanggung jawab. Setidaknya mendiamkan si kecil. Tapi sekali lagi, sebagai pria tak berpengalaman, aku tak tahu harus bagaimana. Fitria pun tak berbuat banyak karena tak tahu maunya Izra.

Mendadak AyahDonde viven las historias. Descúbrelo ahora