Hando-Oppa

17.5K 1.8K 39
                                    

Coba bayangkan, karyawan macam apa yang minta cuti setelah mengajukan proposal kerja?

Itu yang sudah kulakukan. Aku minta libur setelah investasi kami disetujui. Integritas yang kubangun seperti agunan di pegadaian. Walau Pak Asep menyetujuinya, keputusanku tetaplah tak beretika.

"Ini cuti pertama dan terakhir saya sampai perusahaan jadi Perseroan Terbatas, Pak Asep. Itu goal saya."

"Saya paham, Pak Handoko. Tenang saja, proyek kita masih di tahap perencanaan." Pak Asep menjawab kalem di panggilan itu. "Saya tidak meragukan komitmen anda."

Pak Asep menerima alasan bahwa sembilan bulan ini aku tak pernah pulang ke rumah. Aku ingin bertemu orang tuaku sebelum jadwal semakin padat. Tak banyak yang tahu bahwa aku akan menikah. Mereka terlanjur percaya bahwa aku sudah lama berkeluarga.

Akan tetapi, tanggung jawab tetaplah tanggung jawab. Aku tak berani bersantai karena posisiku adalah pimpinan.

"Terima kasih, Pak. Saya pastikan roadmap kita tetap jalan walau saya di Surabaya."

Doni sudah bekerja sesuai yang kuminta. Jared pun membantuku mempromosikan produk yang masih konsep. Semua berjalan mulus. Kusudahi panggilan itu dan berniat memanaskan mobil.

"Mas Pram transfer tiga juta loh buat uang saku." Fitria menunjukan ponselnya saat aku menata koper. Dia bicara santai padaku, setelah tahu bahwa aku dan Mas Pram sudah ketemuan.

Kucubit pipinya.

Aku masih kesal karena Fitria diam-diam main belakang.

"Pantesan belagu!"

"Maaf sayang Mas Pram yang suruh aku tutup mulut katanya Mas Handoko banyak yang naksir terus terus kalau aku gak duluan cewek-cewek lain bakal rebutan apalagi Mas sekarang sudah punya karir." Dia menjawab panik tanpa koma dan titik.

Dahiku masih tertekuk. Badanku agak membungkuk saat bicara lebih serius. "Jangan dengar semua omongannya. Dia itu jago menipu orang," kataku semakin ketus. Gara-gara Mas Pram, aku ditertawakan Fitria karena telat menyadari bahwa benda di sakuku ternyata alat kontrasepsi.

Sumpah!

Memalukan!

"Terus uang saku ini gimana? Aku kembalikan?"

Tanganku melambai cepat. Aku memang kesal dengan Mas Pram, tapi tidak untuk uangnya.

"Satu jam lagi kita berangkat. Sudah pamitan ke Bu Eulis?"

"Iya Mas." Fitria mengangguk cepat. Dia toleh ruang tamu sebelum menoleh lagi padaku. "Mas pamitan dulu gih. Aku tunggu di sini sama Risma."

***

Tidak butuh waktu lama bagi Izra untuk menaklukan anak Bu Eulis. Dalam sekejap Risma betah jadi baby sitter-nya. Tidak butuh waktu lama pula bagi Fitria dan Risma untuk saling mengakrabkan diri. Mungkin karena seumuran atau sesama perempuan. Entahlah. Mereka punya kesamaan yang aku tidak paham. Keduanya nampak cekikikan dengan apapun pembicaraan di samping mobil.

"Akhirnya kalian menikah juga." Bu Eulis bicara dengan suara agak pelan.

"Masih proses, Bu. Sekalian jenguk orang tua."

Bu Eulis tersenyum penuh makna. Beliau lirik dua perempuan yang masih sibuk gosip di mobil.

"Bahkan Risma tahunya kalian sudah menikah loh."

"Iya, Bu. Saya pastikan minggu ini sudah menikah."

Dari semua orang yang kami kenal, Bu Eulislah yang paling berharap kami memiliki status resmi. Beliau menganggap Fitria seperti puterinya sendiri, dan Fitria pun seperti menemukan sosok ibu kandung. Aku bersyukur beliau membantu kami sejak pertama berada di sini. Namun karena kebaikannya, kami tak boleh lupa kami ini sebenarnya siapa.

"Tapi serius Fitria tetap tinggal? Itu kan kamarnya Risma?"

Bu Eulis tersenyum kecil. "Risma sejak awal tidak keberatan. Dia senang Ibu di sini ada temannya. Tapi setelah menikah, kalau bisa Mas Handoko tinggal di kamar Neng Fitria, ya?"

"Memangnya kenapa, Bu?" Aku agak kebingungan. Bu Eulis justru tertawa sambil menggelengkan kepalanya.

"Di rumah Iwan teh isinya lalaki semua. Masa tega Neng Fitria ikut ke sana?"

Oh, iya ya? Baru aku sadari hal sederhana itu. Aku tak berani membayangkan andai Fitria rebutan kamar mandi di rumah Mas Iwan.

Logika simpel, bukan?

Akan tetapi, logika kecil itu mengantarku ke logika lain yang juga baru terbesit. Dalam sekejap pikiranku berkelana di kamar berdua bersama Fitria. Dan sebagai laki-laki normal, bayangan itupun menjadi ...

"Ehem, kunaon Mas Handoko wajahnya jadi merah kitu?"

"Gak apa apa, Bu." Aku terhenyak. Segera kualihkan topik sebelum Bu Eulis menggodaku lebih jauh. "Berarti izin tinggal kami nanti berubah dong, Bu?"

"Soal itu sudah Ibu bicarakan ke Pak RT. Cuma beliau dan Ibu yang tahu status asli kalian. Semua tetangga tahunya kalian memang pasangan."

Wow, secara tidak langsung Bu Eulis sedang memberiku tekanan. Jika minggu ini gagal menikah, apa kata dunia?

Wanita paruh baya itu beranjak. Beliau mengantarku ke luar dan membicarakan topik lain saat matanya melihat Risma yang sedang mengasuh Izra.

"Ibu teh takut Risma nanti gak mau nikah. Katanya cowok Indonesia bukan seleranya. Semoga Izra bikin puteri ibu berubah pikiran."

"Hah? Memangnya kenapa,Bu?"

Bu Eulis tertawa kecil. Dia tegur puterinya yang masih sibuk menggedong puteraku.

"Mas Handoko teh mau berangkat, sana balikin Izra dulu."

Risma menunjukan wajah tidak setuju. Dia menatapku dengan mata agak memelas.

"Hando-Oppa, Izra biar di sini, ya?"

***

Mesin mobil menyala setelah kubukakan pintu untuk Fitria dan memasangkan sabuk pengaman ke tubuh imutnya. Kami lambaikan tangan ke beberapa orang yang sosoknya makin menjauh.

Resolusiku sudah bulat.

Bagaimanapun caranya, minggu ini aku harus jadi seorang suami.

"Dedek nanti ketemu kakek sama nenek loh." Fitria bicara antusias. Putera kami berekspresi sama seakan mengerti ucapan ibunya.

"Memangnya kamu siap?"

"Aku siap, siapa takut?" jawab Fitria dengan dada agak terbusung.

"Terus, kalau ortuku gak setuju gimana?"

"Kita kawin lari!"

Bibirku tak bisa menahan senyum dengan tingkah kekanakannya. Kutepikan mobil di tempat sepi dan membuka sabuk pengaman. Fitria mengerti mauku. Dia pejamkan mata untuk sebuah ciuman yang tak mungkin mendapat gangguan. Izra tertidur atau mungkin pura-pura tidur. Kupagut bibir ibunya demi sebuah sensasi yang baru kali ini aku alami.

Aku sering melihat orang ciuman di layar kaca. Dulu, aku anggap kegiatan itu sangat aneh dan berlebihan. Tapi semua berbeda saat aku sendiri mengalaminya. Ciuman itu seperti sebuah catatan untuk sembilan bulan perjalanan kami, suka duka kami, dan sebuah kesimpulan bahwa pertemuan kami bukanlah kebetulan.

Aku mencintainya.

Aku serahkan sisa umurku untuk seorang perempuan yang mempercayakan arah hidupnya padaku. Bibirnya hangat dan terasa manis. Ciuman itupun berlangsung lama, hingga kurasakan bibirku basah oleh air mata dari pipinya yang berlesung.

"Fitria, aku milikmu kemarin, sekarang dan hari esok. Aku tahu kamu takut. Percaya padaku. Penolakan itu tak mungkin terjadi."

Mendadak AyahHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin