PS - Transformasi

4.6K 712 24
                                    

"Sayang, mimpi buruk itu lagi?"

Kepalaku mengangguk dengan napas masih tersengal. Aku belum terbiasa meski mimpi itu selalu hadir dalam tidurku. Terlebih saat bebas tugas. Di apartement itu, aku berdiam pasrah di samping wanita yang seminggu ini tak mau pergi.

Wanita itu adalah Sandy.

"Kamu butuh psikiater," ujarnya sembari sodorkan air mineral.

Aku tak langsung menjawab. Kupilih sandarkan kepala ke atas pahanya yang terasa keras seperti kulkas. Sandy tahu sisi lemahku. Dia belai rambutku dengan badan masih telanjang.

"Kamu sudah gak apa-apa, kan?"

Aku mengangguk lagi. "Semua orang menyangka prajurit seperti kita punya kehidupan mudah," ucapku memulai kata, dan menatap Sandy yang nampak lembut di pagi ini. "Selalu ada harga yang harus dibayar."

"Dan harga itu sangat mahal. Prajurit biasa tak akan sanggup membayarnya."

Aku yakin hanya sebagian kecil prajurit TNI yang pernah merasakan perang sungguhan. Itupun dari OMSP atau Operasi Militer Selain Perang. Menghadapi Separatis misalnya. Keadaan itu sangatlah lazim karena fungsi utama militer adalah alat untuk menggertak. Semakin kuat militer suatu negara, semakin kuat pula posisinya dalam urusan geopolitik.

Indonesia tidak seperti Amerika yang punya kepentingan di negara lain. Indonesia tidak punya ladang minyak di Timur Tengah, atau cabang-cabang perusahaan multinasional di mana tentara akan selalu dikerahkan. Sehingga jika ada masalah antar negara yang diplomasinya berbelit-belit, Indonesia mengerahkan regu kecil paling elit.

Dan regu itu adalah reguku.

Tidak heran jika kami selalu menjalani misi mustahil. Misi yang tak dilindungi seluk belum diplomasi. Regu kami sangat rahasia bahkan di lingkungan TNI sendiri. Karena keadaan itu, kami juga mengalami masalah kronis yang tak dimiliki rata-rata prajurit.

Masalah kejiwaan. Masalah identitas sebagai manusia atau sebagai mesin pembunuh. Kami sulit menikmati hidup jika jauh dari medan tempur. Seperti kecanduan narkoba. Kami selalu gelisah jika keadaan terlalu damai. Darah kami selalu mendidih. Sandy sangat memahaminya. Hanya dia satu-satunya perempuan yang memahamiku luar dan dalam.

"Patrick, apa kamu pulang ke Bandung dulu?"

Aku menggeleng. Sandy pun tahu bahwa rumah Handoko jadi surga terbaik untuk diriku. Aneh tapi nyata. Di rumah itu aku jarang bermimpi buruk.

"Adikku CEO perusahaan besar. Biar dia mandiri dulu."

"Wow, baru kemarin kamu dilantik jadi mayor, adikmu juga jadi boss? Mertuaku pasti bahagia."

"Mertua? Sejak kapan kita menikah?"

Belaian rambutnya berubah jadi jambakan. Sandy tersenyum lembut padaku saat bicara setengah mengancam.

"Barusan bilang apa, sayang?"

"Ehem! Iya, kamu salah dengar."

Jambakannya mereda. Sandy beranjak dari ranjang setelah memastikan diriku tenang.

Sandra Dewi, satu-satunya perempuan yang berani memeriksa isi ponselku dan mempertanyakan tiap perempuan seperti seorang istri betulan. Bedanya, istri itu adalah istri yang tak asing dengan peluru. Dia seperti monster. Kakiku sampai pincang kalau menuruti desakan libido.

Badannya atletisnya dihiasi tato dan bekas jahitan, luka-luka dari medan tempur. Ada luka bekas tertembak, bekas tertusuk serpihan baja, juga bekas penyiksaan saat dia jadi tawanan. Termasuk bekas jahitan di pelipis kirinya. Bekas luka yang akhir-akhir ini dia keluhkan setelah sibuk dengan kecantikan.

Setelah dia jadi pacarku.

Dia buang sifat maskulinnya hanya demi terlihat pantas.

Sandy berbeda dari Linda, perempuan yang trauma berharap lebih.

"Patrick, aku serius ingin menikah." Sandy bicara dengan nada lembut yang tidak biasa. Suaranya masih bariton seperti laki-laki. Seperti wajahnya yang sangat tampan andai dia seorang pria. "Kenapa kau menolakku? Apa karena aku jelek?"

"Aku gak pernah bilang kamu jelek."

Sandy tak langsung menjawab. Dia terburu ke kamar mandi setelah mencium badan sendiri. Well, perempuan itu makin feminim. Bisa kucium bau lulur dari kulitnya, juga bau mulut yang agak mendingan saat ia memberi ciuman.

"Tapi aku gak cantik."

"Kamu punya kecantikan tersendiri. Jangan remehkan penilaianku." Aku menjawab asal. Sebuah kebohongan yang otomatis aku ucapkan.

Hari ini bulan kesekian setelah aku menjadi mayor. Tidak ada tugas. Tidak pula masa liburan yang kuhabiskan di Kota Bandung. Aku masih di Jakarta bersama Sandy. Aku masih di apartment-nya karena hutang nyawa yang harus kubayar. Dan di tempat itu, Sandy jadi lucu saat dia belajar feminim.

"Cih, kenapa sih perempuan harus pakai high heels? Ngapain pula pakai lipstick? Tidak taktis. Aku bisa tewas duluan di baku tembak." Dia menggerutu lagi di meja rias. "Dan ini apa? Alat menginterogasi?"

"Itu catok rambut."

Sandy mengayun-ayunkan catok dan mengamati tiap sudutnya. Dia raba rambutnya sendiri yang agak botak di dua sisi. Bagian tengahnya cukup panjang. Aku masih bisa menatanya dengan catok yang kubelikan.

Model bob cut.

"Kau lihat sendiri, bukan?"

Sandy sejenak tersipu. Dia amati penampilannya di depan cermin sambil membelai rambut sendiri. Walau bagaimanapun dia perempuan. Dia masih tetap makhluk narsis yang sangat haus akan pujian. Dia gelengkan kepala sejenak setelah sadar aku sedang memperhatikan.

"Dan ini apa? Alat perekat untuk C-4?" katanya ketus, menyebut alat peledak.

"Itu serum perawatan kulit."

"Dan ini? Alat pemotong jari untuk menyiksa tawanan?"

"Itu untuk menempelkan bulu mata palsu."

Satu persatu alat kecantikan itu dia sebut. Aku yang membelikannya, aku pula yang menjelaskan apa fungsinya di luar kepala. Benda-benda itu sangat familiar. Sebagai prajurit yang bergerak di intelejensi, aku sering mendapat misi penyamaran yang memaksaku jadi perempuan.

Percaya tidak percaya, penyamaran itu tak pernah gagal.

"Pram, nanti aku diketawain mereka gimana?" Sandy bicara lirih. Dia sebut nama asliku tiap kali merasa insecure.

Kucium pipinya dari belakang. Sandy jadi manis kalau sedang dilanda galau. Hari ini kami ada makan malam bersama SpongeBob dan Squidward. Setelah misi kemarin, mereka jadi tahu hubungan kami. Dua orang itu memaksa kami agar menjalin hubungan serius. Hal itupun menjadi tekanan tersendiri untuk Sandy, yang terpaksa mengubah penampilan karena tak mirip perempuan.

Serius, dua orang itu meledek kami sebagai homo.

Sandy dendam. Dia menuruti saranku untuk memberi sebuah kejutan. Wajahnya pun makin tersipu saat kubelikan gaun untuknya, pakaian mahal hasil kerjaku di Somalia.

"Pakai gaun ini. Tunjukan pada mereka kalau kamu wanita tulen."

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now