Tukang Flexing

1.2K 240 13
                                    

Note: Bacaan ini gratis. Author tak pernah minta vote, atau ancam-ancam tak rilis chapter kalau jumlah vote-nya tak sesuatu kuota.

No worries

Tapi saya senang kalau anda bersedia memencetnya. Terutama pembaca yang sudah sampai di chapter ini. Saya anggap vote dari anda adalah kalimat "terima kasih."

Silimit mimbici!

***

Sebelah dahiku agak kedutan jabat tanganku tidak berbalas. Sedang Fitria masih cekikikan melihatku nyengir sendiri. Sebagai CEO perusahaan besar, orang-orang berebutan menjabat tanganku. Termasuk ketua partai mereka sendiri. Tapi si pala labu malah mendongak dengan tangan tersilang rapat.

"Kharismamu gak ngefek, Mas. Hahaha!" Fitria bisik-bisik.

"Sudahlah, biarkan saja."

Kami tidak kesal sedikitpun. Pengalaman sebagai eksekutif telah mengasah mental kami ke titik tertinggi. Aku dan Fitria makin tahu mana yang penting dan mana yang tidak. Inilah yang dimaksud spiritualias. Kami tak keberatan dengan apapun penilaian orang.

Termasuk penilaian kepala labu di depanku. Dagunya terangkat tinggi melihatku memangku bayi. Aku yakin, dia menganggapku orang susah karena datang diantar taksi.

Terserahlah.

Aku bersikap ramah demi menghormati sang tuan rumah.

"Kerja dimana?" dia bertanya singkat, nemicingkan mata saat melirik.

"Saya kerja di-

"Kalau saya kerja di PT. Lestari Bina Sentosa. Saya direktur proyeknya. Direktur."

"Pfffttt!" Fitria menahan tawa lagi saat si botak malah menyela pertanyaannya sendiri.

Dahiku kontan terkernyit. Bukan karena etikanya dalam perkenalan, melainkan nama perusahaan yang belum pernah aku dengar. Entahlah perusahaan apa. Melihat atribut partai yang dia pakai, aku yakin perusahaan itu PT dadakan yang didirikan demi menadah duit haram.

Biasalah, politisi.

"Dan gaji saya 12 juta perbulan. Besar, bukan?"

"Pfffttt!" Minuman yang Fitria sruput sampai tersembur.

Kecil sekali untuk ukuran direktur proyek?

Aku makin yakin perusahaannya hanya perusahaan ecek-ecek.

Si botak itu mulai terganggu saat bibirku tersenyum geli. Matanya mulai terpicing. Gelagatnya makin jemawa sampai Pak Dhe malu sendiri.

"Kenapa? Kaget sama gajiku? Itu belum komisian loh. Apalagi kalau ada makelaran. Totalnya bisa sampai 80 juta."

"Pfftt! Aku nyerah! Hahahaha!"

"Ndak boleh gitu." Kutegur istriku yang terpingkal gara-gara adu gaji.

Kepalaku mengangguk-angguk meminta maaf. Sebisa mungkin bersikap ramah pada si botak yang mulai kesal pada Fitria. Aku juga ingin tertawa lepas. Tapi suami Pratiwi juga tamu Pak Dhe kami. Toh, tak penting juga pamer uang.

Namun, si botak mulai tak sopan. Dia makin jemawa karena kami menghormatinya. Inilah yang disebut spiritualitas. Direktur "non-kerja" sepertinya sangat mustahil punya itu. Tanpa kuduga, seperti layaknya seseorang ber-SQ rendah, dia ucapkan kata-kata yang merusak namanya sendiri.

"Saya ini kader unggulan Partai Tiga Arah. Elit politik. Jaman sekarang priyayi yang sebenarnya itu anggota partai. Bukan ningrat warisan jaman tak enak."

Mendadak AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang