Emotional Damage

1.3K 166 11
                                    

Suara bising mulai mereda setelah helo menyentuh tanah. Menyisakan dengung mesin dan sisa sisa putaran baling, helikopter itu melakukan pendinginan. Harus ada jeda beberapa saat sebelum penumpang boleh keluar.

Kontan saja, sebagian tamu berkerumun di sekitar port. Mereka adalah kerabat muda yang tadinya memuja Pratiwi. Sebagian masih tercengang, sebagian lagi mengeluarkan ponsel demi selfie. Lamborghini-nya tak laku lagi. Sebagian juga cekikikan dan berbisik cukup keras.

"Ya ampun, ternyata mobil sewaan."

"Iya, mau flexing salah orang, hihihi."

Bukan hanya mereka, aku pun ikut tercengang melihat seseorang masih menggerakkan sepasang lightstick. Aku kaget karena helipad itu dilengkapi seorang HLO, alias tukang parkir khusus helikopter.

Profesional sekali.

Helicopter Landing Officer adalah Mas Priyo sepupuku yang paling tua. Dia anak pertama Pak Dhe Tejo yang saat ini akhir-akhir 40-an. Sudah punya cucu. Pak Dhe Tejo menegurku saat puteranya memberi aba-aba ke sang pilot.

"Kang Masmu itu Master Engineer perusahaan minyak offshore di Kuwait. Dia punya sertifikat HLO. Makanya Pak Dhe suruh jadi tukang parkir dulu, hahahaha!" Pak Dhe Tejo tunjuk sang HLO yang saat ini sedang sibuk memeriksa mesin.

Luar biasa!

Aku tahu Mas Pri memang kerja di kilang minyak lepas pantai. Tugasnya memeriksa, merawat, dan memperbaiki mesin-mesin pengeboran. Tapi aku tak menyangka sepupu tertuaku itu lebih multitasking. Dia professional. Dan orang professional adalah mesin pencetak uang.

"Mas Pri masih disana?"

Pak Dhe menggeleng.

Senyumnya jadi trenyuh.

"Gajinya memang besar, Le. Tapi harus tinggal di tengah laut antara enam sampai 12 bulan."

"Seberat itukah?"

"Iya, Kang Masmu itu capek kerja di luar. Dia pingin pensiun setelah cucunya lahir. Tapi terlanjur kena post syndrome."

Aku terdiam sejenak. Post syndrome bukan masalah remeh. Itu gejala mental yang lazim dialami para pekerja di masa pensiun. Mirip-mirip keadaan Mas Pram yang selalu gatal di medan perang. Mendengar penjelasan Pak Dhe, aku baru tahu saudaraku ternyata sedang punya masalah.

"Kerja sama aku saja, Pak Dhe. Tinggal bilang minta gaji berapa dan jabatan apa."

Beliau kontan tertawa.

"Lah kok enteng tenan? Walau sudah jadi boss ndak boleh nepotisme loh."

"Saya ndak mungkin nolak SDM handal seperti Mas Priyo. Ini bukan nepotisme, Pak Dhe. Saya bukan politisi," ucapku keras-keras sambil melirik sosok pria berseragam partai. "Kebetulan perusahaanku butuh Master Engineer dan Geologist. Gak usah pakai acara melamar. Ngomong saja sama ponakanmu ini. Tapi untuk sementara kukasih 100 juta ya di masa magang."

Aku sengaja berlagak songong agar dilihat kubu OKB. Menunjukan ke mereka siapa boss-nya. Jelas saja, suami Pratiwi sudah tak sanggup bicara lagi. Hanya bisa terdiam saat istrinya merengek-rengek minta helikopter.

Dia pikir murah?

Aku saja harus memuaskan istriku dari sore ketemu sore demi heli itu.

Semahal apakah?

Harga helo memang lebih murah dibanding mobil paling mewah. Tak sampai tiga puluh milyar. Tapi perizinannya lah yang agak rumit. Harus serba verifikasi di ATC Bandara dan Kementerian Perhubungan setiap kali mau take off atau landing. Serius, mau terbang saja harus izin dulu ke kementerian. Belum lagi sertifikasi. Serba ribet. Lebih ribet dari kepemilikan pistol di balik rompiku.

"Tuh, mereka sudah turun."

Pak Dhe menegur. Beliau hampiri dua penumpang yang langsung sungkem mencium tangannya. Mereka adalah Brigjen Sudibyo bersama istrinya, yang tak lain adalah ayah ibuku.

Bayangkan, ayahku yang Jenderal saja sangat hormat kepada Pak Dhe. Wajar kami marah pada si botak berjas pink. Kata-katanya kurang ajar. Mengerikan sekali. Andai ayahku tahu kejadian tadi, kepala botaknya pasti dipoles pakai mesiu.

"Cah ayu mana, Le?" Ibu mencolekku. Beliau celingukan mencari cucu perempuan dan menantu kesayangannya.

"Di dalam sama Fitria. Masih nangis dengar suara helikopter."

Ibu langsung ke dalam melewati kerumunan tamu. Sedangkan ayah, beliau menggendong anak pertamaku. Izra semakin besar makin fanatik pada militer. Dan ayahku makin lama memanjakannya. Percaya tidak percaya, prajurit kecil itu sudah pernah merasakan naik Leopard.

"Lain kali, kalau Izra minta apa-apa jangan langsung dituruti. Mengerti? Untung cuma minta helikopter. Kalau minta tank?"

***

Dengan masih menggendong Izra, ayah masuk ke dalam bersama Pak Dhe. Mereka meninggalkanku yang masih diam di atas port karena urusan dengan pria di bangku kokpit. Sesosok Mas Pram, kakak kandungku, pria tampan sejuta skill. Mayor 34 tahun itu adalah tentara elit, pengawal pribadi, pilot pribadi, sekaligus setan sialan yang mempengaruhi puteraku agar dibelikan helikopter.

Aku ada urusan dengannya.

"Bravo five zero five has touchdown, copy!" ucap kakakku melalui radio di helm pilot.

Dia memberi kode agar aku menunggu sejenak. Mungkin berkomunikasi dengan tower pengatur lalu lintas udara di bandara terdekat atau entahlah. Perhatianku pun teralih. Aku baru sadar masih ada satu orang di kursi penumpang. Sesosok wanita berambut bob-cut dan kacamata minus. Wanita anggun yang proporsi badannya lebih sempurna dan model majalah fashion.

Wanita itu bernama Linda.

Sesosok kakak perempuan, sekaligus CPRO perusahaanku.

"Mbak Yu kok gak ikut ke dalam?"

"Nungguin kakakmu. Dia gak mau masuk sendirian."

Sebelah alisku terangkat saat melirik gadis 10 tahun di sebelahnya. Airin anak pendiam. Tapi wajahnya terlalu cantik sampai Mas Pram mulai beruban. Dia stress anak gadisnya banyak yang naksir.

"Mas, pacarnya sudah berapa?"

"Berisik!"

***

Sebenarnya, aku terlalu sibuk untuk menghadiri reuni keluarga. Agendaku sangat padat. Tapi ada alasan kenapa kami wajib datang bersama Linda. Apalagi kalau bukan bisnis? Karena sejak bermitra bersama kerabat, reuni tahun ini lebih mirip ajang transaksi.

"Le, kamu ndak ikut masuk?" Ibuku menegur, melirik ruang khusus yang bertuliskan aksara jawa. Beliau masih menimang Gitarja yang baru saja kuganti popoknya.

"Urusan remeh temeh biar Fitria dan Mbak Yu yang handle."

"Kamu itu, duit milyaran kok bilangnya remeh temeh?"

Ruangan itu adalah ruang rapat yang Pak Dhe bangun untuk kami dari donasi selama ini. Sumbangan dari kubu kami tentunya. Kubu kerabat yang lebih sibuk mencetak uang. Bukan kubu sebelah yang hobinya pamer harta, tapi berlagak miskin waktu diminta duit sumbangan.

Salah satunya Pratiwi. Si sombong itu masih bergaya di balai pertemuan meski telah dipermalukan. Entah dari apa urat malunya. Mas Pram sampai gemas dan memberi sapaan ramah.

"Pratiwi, kamu masih burik saja sampai sekarang."

"Pram!" Ibu menegur. "Yang sopan sama saudara." Beliau cubit lengan kakakku karena gayanya masih slengekan. Duduk agak merebah seperti preman.

"Dia memang burik kok, Bu."

"Walau jelek mbok yo jangan ceplas-ceplos. Jaga perasaannya. Kamu ini nurun siapa, sih?" ujar ibu keras-keras.

Mas Pram senewen. Sampai usia 34, perangainya masih sama. Dia ubah gaya duduknya jadi lebih sopan. Kali ini agak ngangkang dan sedikit majukan badan. Dia bertanya lagi pada Pratiwi sambil menunjuk sosok pria berkepala botak.

"Bola bilyard itu suamimu? Kok tua banget?"

"Pram!" Kali ini ibu mengusirnya.

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now