Pasar Loak

22.1K 2.2K 33
                                    

Orang bilang lauk yang paling enak itu rasa lapar. Semakin lapar perutmu, semakin nikmat hidangan yang kau santap. Terlebih jika rasa lapar itu berbumbu keringat dari rasa capek. Tak bisa dipungkiri, masakan Fitria jadi nikmat sekali.

"Nambah lagi," ucapku untuk porsi ke tiga malam ini.

"Tempenya habis, Mas. Mau aku gorengin lagi?"

Dahiku terkernyit. Kulirik piring Fitria yang bersih lagi setelah mengambil porsi ke empat. Perempuan itu makannya banyak. Serius, porsinya lebih banyak dariku.

Padahal badannya imut.

"Gak apa-apa, masih ada sisa sambal dan kerupuk," balasku sembari mengkorek-korek sisa sambal lalapan.

Aku tak mau merepotkannya. Sekaligus merasa geli karena Fitria tak bisa mengerem perkara makan. Mungkin karena menyusui. Setelah puas mengisi perut, aku langsung beranjak menuju wastafel.

"Fitria, lain kali jangan menungguku pulang kalau mau makan. Kamu tahu aku kerja seharian, kan?" Di tengah kegiatanku mencuci piring, kutegur Fitria yang akhir-akhir ini ikut puasa. "Kamu menyusui, butuh banyak nutrisi. Makan yang banyak ya?"

"Tapi Mas kan gak makan di sana."

"Kata siapa? Aku makan kok."

"Kan Mas gak pernah bawa uang saku? Memangnya Mas makan apa?"

Wow, sejak kapan Fitria bisa berargumen?

"Kalau begitu Mas nanti bawa bekal makanan dari sini, ya? Aku sudah beli kotak makanan kemarin."

"Kamu ini seperti ibuku saja," ucapku tanpa bisa membantahnya.

Ada rasa senang Fitria makin terbuka sebagai seorang teman bicara. Dia bukan lagi perempuan pendiam yang hanya bisa mengangguk atau menggeleng. Ibu muda itu juga sangat memperhatikanku. Dia sangat hafal dan mulai ingin tahu detail-detail kecil tentangku, yang aku sendiri agak malas mengurus itu. Aku bangga dengan perkembangannya. Dia menepati janji agar kami tak berjalan sendiri-sendiri. Tanpa sadar kusentuh rambutnya, dan mengacak-acaknya seperti seperti kebiasaan ayahku saat aku membuatnya bangga.

"Habis ini segera tidur. Besok kita belanja."

***

Keuangan kami mulai membaik sejak semua orang memberiku kesempatan bernapas. Ada enam ratus ribu di dompet Fitria, ada enam ratus ribu lain di ATMku yang saat ini dia pegang. Itu belum termasuk enam ratus ribu pertama yang kuberikan sebulan lalu.

Lumayan, bukan?

Aku cukup bersyukur meskipun uang itu masih tak memberi kami banyak pilihan.

"Fitria, gak apa-apa ya kita belanja di sini?"

Ibu muda itu mengangguk. Dia sangat gembira meski aku mengajaknya ke pasar loak. Karena uang kami tak seberapa, dengan terpaksa pasar baju bekas itu jadi tujuan kami belanja.

"Mas mau beli pakaian apa?"

"Bajuku masih banyak kok. Kamu yang lebih butuh," kataku berbohong.

Aku tak mungkin bilang bahwa kaos militer yang kupakai inipun adalah milik Mas Pram, kakak kandungku. Fitria prioritasku saat ini. Karena seperti yang Mas Pram bilang, sebagian harga diri perempuan ada di penampilannya.

Semua perempuan ingin cantik, bukan?

Dan jadi cantik itu selalu butuh uang.

"Mas yakin?"

"Iya. Gak enak dilihat orang kamu pakai yang itu itu saja. Cari baju yang bagus gih."

Sesuai namanya, Pasar Jumat Pusdai hadir di setiap hari Jumat. Berbagai macam barang murah meriah dijual di wisata belanja tersebut. Mulai dari baju sisa ekspor hingga baju bekas, kami bebas memilihnya. Jika kami pandai memilih barang dan juga menawar harga, dompet tipis bukanlah bencana. Berita baiknya, Fitria ternyata cukup kejam urusan tawar menawar.

"Mas lihat? Aku dapat celana ini cuma 50 ribu!"

Ibu muda itu setengah berlari ke arahku. Dia tunjukan harta karun temuannya setelah beberapa saat negosiasi. Itu celana Lavy's asli. Mungkin 80 dollar kalau beli baru. Begitu memeriksanya, aku kaget saat menyadari bahwa ukurannya sama persis seperti ukuranku.

Bagaimana dia bisa tahu?

"Bagus sekali, Fitria. Keren!"

Fitria menunjukan wajah bangganya padaku. Pujian itu berhasil membuatnya menegadah. Tapi aku masih ingat bahwa pengeluaran kami harus lebih ketat dari celana dalam Mas Iwan.

Kenapa aku jadi memikirkan celana dalamnya?

"Ehem. Jangan beli buatku lagi ya. Kita kan belanja buat bajumu dan Izra."

Fitria perlahan menunduk. Dia nampak kecewa.

"Besok-besok kita kan bisa belanja lagi? Nanti saja giliranku. Setuju?" Aku terpaksa merayunya.

"Mas yakin?" Dia pastikan dengan suara yang sangat pelan. "Ini kan uang Mas Handoko?"

"Semua uang itu milikmu, Fitria. Aku sudah berjanji."

Kuingatkan lagi padanya bahwa aku tak main-main dengan komitmen.

"Beli tiga setel ya. Sisanya buat beli peralatan mandi dan perawatan muka. Biar gak kusam."

Bujukan kedua itu direspon lain. Fitria menundukkan muka seakan tak mau aku melihat ekspresinya. Dia pilin-pilin rambut tebalnya dengan jemari saat matanya memandang tanah. Seperti biasanya, dia balas ucapanku dengan suara yang sangat pelan.

"Mas malu jalan sama aku?"

"Malu? Malu kenapa?"

"Karena aku bukan cewek cakep."

"Huh?"

Dia bicara apa sih?

Kok tiba-tiba suasanannya jadi lain?

"Kata siapa kamu gak cakep?" Aku mulai heran. Kuamati wajahnya dekat-dekat dan menjawabnya selugas mungkin. "Kamu itu cantik. Apalagi kalau terawat."

Gerakan jemarinya sejenak terhenti. Dia semakin menundukkan muka hingga aku takut telah menyinggungnya. Perempuan memang sulit ditebak. Sikap Fitria sangat tidak biasa sampai aku curiga dia salah makan.

"Mas Handoko. Apa ... apa aku cantik di mata Mas?"

Kenapa dia masih tak percaya ucapanku? Aku semakin bingung dengan pertanyaan Fitria dan sekali lagi mengamati wajahnya.

Baby face, bibir imut, pipi berlesung, mata bulat sipit, persis cewek-cewek Jepang yang pasti populer di dunia Instogram.

"Aku gak bohong. Kamu cantik. Tuh lihat, memangnya wajah ganteng Izra dari siapa, coba?"

Kutengok si kecil yang bergeliat ceria di gendonganku.

"Izra, Bunda cantik, kan?"

"Mas, ak—aku lanjut belanja dulu."

Fitria tiba-tiba panik sendiri. Secara perlahan dia mundur ke belakang tanpa berani menatap mataku. Ada apa dengannya? Aku tak paham. Ibu muda itu pun langsung menghilang di antara kerumunan, meninggalkanku yang masih takjub dengan tingkah anehnya.

"Izra. Bundamu kenapa sih?"

Mendadak AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang