Pindahan

8.2K 1.2K 68
                                    

Napasku tersengal. Aku terjaga dari sebuah mimpi buruk. Mimpi tenggelam di tumpukan sampah. Busuk dan sesak. Kubenahi posisi tidur Izra yang pantatnya berada tepat di hidungku. Nyenyak sekali. Anakku tak terbangun walau popoknya sudah menggembung.

 Anakku tak terbangun walau popoknya sudah menggembung

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Mas, jam berapa?" Fitria terbangun. Ia mengucek mata dengan badan masih memeluk. "Ada temu janji kan hari ini?"

"Iya. Nanti jam tiga sore. Sekarang sudah jam delapan pagi."

Pelukan istriku makin erat. Bisa kurasakan tubuh telanjangnya yang makin hangat di balik selimut. Kepalanya menoleh perlahan. Matanya terpaku pada bagian selimut yang menonjol seperti tenda.

"Semalam cuma empat kali. Mas masih hutang satu kali nih."

"Astaga, kita baru bangun!"

"Masalah buat loh?"

"Masalah buat Dedek!" Langsung kuangkat puteraku dan menempelkan pantatnya ke hidung Fitria. "Tuh, waktunya panen."

"Jorok ih! Sana gantiin popoknya dulu!"

Aku beranjak dari kasur karena Izra mulai tak nyaman. Dia tidak menangis, tapi agak bingung kenapa popoknya belum diganti. Istriku meraih laptop saat aku mengurus bayi. Dia juga membuka berkas yang berisi tanda tangan Pak Asep.

Berkas transaksi kemarin.

"Sepertinya kita harus segera pindah."

"Iya Mas, kita gak bisa terus-terusan jadiin kamar ini kantor," jawabnya tanpa melepas mata dari monitor.

"Dan Izra semakin lincah sekarang. Dia tidurnya breakdance. Seperti emaknya."

Fitria tidak membalas. Dia pasti tak merasa bahwa setiap malam kepalaku sering dia tendang.

Rasanya, kamar itu terasa sempit. Mungkin efek psikologis karena memiliki rumah sendiri. Kami harus segera pindah. Kami tak bisa terus-terusan mengerjakan PR kantor di kamar ini. Mobilkupun butuh garasi layak karena tempat parkirku sekarang adalah milik mobil Mas Iwan. Pujangga itu belum juga pulang selama setahun di kampung halaman.

Kulirik istriku yang masih sibuk mengevaluasi laporan. Inilah perbedaan tanggung jawab di antara kami setelah aku bekerja di perusahaan lain. Sebagai karyawan biasa, hari libur ini aku punya banyak waktu. Sedangkan istriku masih membawa urusan kantor di rumah karena dia seorang direktur.

Tanggung jawabnya besar. Kubebaskan dia malas-malasan dari urusan rumah tangga. Fitria bahkan malas memakai bra saat jemarinya menari di keyboard. Kulihat jelas dada besarnya di antara kertas yang makin menumpuk.

"Mas lihat apa? Mau? Ayuk!"

Langsung kualihkan perhatiannya. "Ehem, soal presentase kemarin gimana? Pak Asep setuju?"

"Beliau anggap angka itu paling adil. Menguntungkan kedua pihak. Untung saja Mas ngusulin lima persen. Kalau pakai harga retail seperti yang aku minta kemaren, aku yang kena masalah, hahahaha!"

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now