Lepas Landas

1.3K 175 10
                                    

"Pftt! Pfft!"

Dar! Dar!

"Pffftfft!"

DAARR!

Di gudang kosong tidak jauh dari kantor, tanganku memukuli sansak. Setahun ini aku tak pernah berlatih tinju karena karena kesibukan sebagai ayah. Sekaligus karena keadaan. Rumah Bu Eulis tak memungkinan untuk jadi tempat latihan.

"Puh! puh!"

Puk!

Izra menirukanku dengan samsak mungil dan sarung tinju ukuran bayi.

"Cara mukulnya begini. Badannya diputar."

"Uca ici?"

Usia Izra saat ini 19 bulan. Aku telat melatihnya. Seharusnya sudah kulatih sejak baru belajar berdiri. Struktur tubuhnya bagus. Dia nanti tinggi besar sepertiku. Padahal Fitria pendek. Ayah biologisnya pun terlihat letoy. Tapi si kecil itu 100% mirip denganku.

Aneh sekali. Dilihat darimanapun wortel kecil itu darah dagingku. Foto-fotoku semasa bayi sama persis dengan Izra. Aku tak berhenti memikirkannya.

Atau jangan-jangan, sebelum Fitria mengandung, aku tanpa sengaja mengirim benih lewat Bluetooth?

"Kita pernah bertemu waktu kamu masih SMA?" Begitu Fitria datang, aku langsung menanyakannya.

"Kok nanyain lagi sih? Enggak."

"Kamu sering memberi kesan kalau kita sudah lama kenal. Sebelum Izra lahir, aku gak mabuk terus memperkosamu, kan?"

Fitria justru terbahak.

"Dibilangin enggak, kok. Kalau kita memang pernah ketemu, dan aku mengenal pria sebaik, Mas. Gak usah mabuk, deh. Aku sendiri yang meracunimu obat perangsang."

Mengajaknya bicara mesum adalah ide terbodoh.

Kulepaskan sarung tinju dan menyampirkannya ke sisi tembok. Sejak komitmen bekerja ganda, 15 jam waktu kami habis di kantor. Mulai dari pukul tujuh pagi sampai 10 malam. Kadang tengah malam karena order terlalu banyak. Kami sampai membangun ruang tersendiri yang lebih mirip tempat hunian. Ada dapur, kamar mandi, gym kecil, juga matras sederhana untuk sekadar tidur siang. Syukurlah puteraku betah menemani kami seharian.

"Mas, termin kuartal ini sebagian sudah siap dibelanjakan."

"Untuk aset dan Invetaris?"

"Iya. Pengajuan sudah acc. Kita akan bangun gedung baru, perluasan lahan, mekanisasi dan inventaris bergerak."

Bibirku makin menyudut. Siapapun tak akan percaya si imut itu lulusan SMA. Gaya bicaranya semakin canggih. Sesekali dia menggoda Izra yang masih sibuk memukuli samsak.

"Mas, untuk pemasaran digital gimana? Kira-kira pengajuan kita bisa di-acc, gak? Nanti aku presentasi lagi ke Pak Asep."

"Prioritaskan. Sekarang era digital. Usaha tradisional gak akan bertahan. Jaman sekarang orang belanja pakai ponsel. Mereka sudah malas jalan-jalan ke mal."

"Iya juga, ya? Sekarang mal semakin sepi. Kita harus kurangi menaruh produk ke toko-toko atau lapak mal. Lebih baik kita perbanyak reseller online. Kalau bisa wholesaler. Soalnya pasar kita usia muda."

Sebelah alisku terangkat. Segera mungkin aku mandi dan memakai pakaian kerja. Istriku makin terbiasa melihat tattoo di sekujur tubuhku. Sekaligus gumpalan otot yang seringkali dia raba. Terutama otot perut, bantal kesukaannya.

"Permintaan pasar makin banyak, Mas. 60% market share nasional kita ambil." Sekali lagi, istriku menggunakan istilah teknik saat kami kembali bekerja. "Keputusan Mas mensponsori komunitasnya Jared ternyata ngefek."

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now