Lubang Galian

7.2K 1.1K 108
                                    

Malam ini, aku berada di bar yang sama dimana kusewa jasa informan. Di malam ini pula aku duduk di depan bartender bersama seorang pecandu minuman. Mas Pram terlihat alim di sebelahku. Dia menolak tegas tiap perempuan yang coba-coba menggodanya. Setelah dua hari mendekati Linda, kakakku naik derajat jadi malaikat.

"Jus jeruk, ya?"

"Tumben gak minum alkohol," kata bartender perempuan.

"Aku gak mau mabuk malam ini."

"Kan cuma dikasih Whisky? Kamu minum dua botol saja gak mabuk."

Mas Pram menggeleng. "Pacarku gak mau mulutku bau alkohol."

Aku melongo saking herannya. Entah sebesar apa pengaruh Linda hingga Kakakku jadi berbeda. Dia memang bukan perokok sepertiku. Tapi urusan alkohol, Mas Pram meminum bir seperti sedang meminum air. Aneh sekali kalau dia mau berhenti. Bartender itu pun hanya bisa heran, sebelum mengambil juicer untuk pelanggannya yang sudah tobat.

"Wah, padahal untuk tamu seganteng kamu aku gratisin loh."

"Beneran gratis nih? Kalau gitu campur vodka dikit."

Ck! Mulutnya Mas Pram kok dipercaya.

Malam ini kami berdua ada misi penting. Sebuah misi dari kakakku untuk membalas musuh-musuh kami. Semua alat kami siapkan. Mulai dari tali, karung, kaos kaki bau, sampai tempat menyekap yang berada jauh di tepian hutan. Di propinsi sebelah. Begitupun sekop untuk menggali tanah kalau plan A dinyatakan gagal.

Mas Pram terlihat santai. Pria itu masih semrigah karena rampasan tadi pagi. Sekaligus kesal karena Linda paling tak suka melihat botol minuman keras.

"Tenang saja, Le. Kita bisa minum-minum di tempat lain."

"Di mana?"

"Panti asuhan."

Ekspresiku langsung datar. Mas Pram kalau bercanda sering kelewatan. Setelah minum-minum beberapa saat, dia colek lenganku begitu seseorang keluar bilik.

"Pria berbaju merah itu orangnya, bukan?"

"Iya. Dia mantan manajer HRD."

"Ayo, waktunya kita bekerja."

Aku dan Mas Pram mengikuti sosok itu diam-diam. Setelah keluar gedung, kupakai topeng kain yang biasa dipakai perampok di film-film action. Tentu saja topeng yang sama seperti semalam. Orang itu tak curiga sedikitpun. Sesampainya di tempat parkir, dia temui dua orang lain yang jelas-jelas sedang menunggunya.

"Markasku diobrak-abrik terrorist! Belasan orang luka parah! Kami tak mau terlibat lagi!"

Sayup-sayup, di balik badan mobil tempat kami bersembunyi, kudengar mereka sedang bertengkar. Seperti dugaan kami, mereka ribut setelah dokumen-dokumen, uang, ponsel-ponsel, sampai kulkas minuman kami bawa pulang. Mas Pram juga membawa seperangkat home theater dan TV besar.

Kamarnya jadi mewah dalam semalam.

Parahnya lagi, Mas Pram menipu mereka dengan granat mainannya Izra.

"Apa hubungannya sama kami. Pak Nyoto tak pernah terlibat terrorisme."

Plak!

Manajer itu langsung ditampar.

"Tapi suami perempuan itu bukan orang sembarangan. Dua anak buahku dia tembak!"

"Saya tak tahu kalau suaminya punya pistol."

"Informasimu tidak akurat! Gara-gara kamu kami berurusan dengan orang yang salah!"

Oh, mereka sedang membahas rencana gagal menculik Linda tiga hari kemarin. Mereka kapok setelah anak buahnya kena tembak. Mas Pram ikut mengamatinya. Dia tarik kerah bajuku dan menghardik agak berbisik.

"Pantesan Linda gak respon sama aku. Kamu beneran nikah sama dia?"

"Fokus Mas, fokus. Kita ada misi."

"Jawab!"

"Fokus Mas, fokus! Yang baju merah jangan sampai lolos," jawabku lagi setengah bernyanyi.

Mas Pram melepaskan cengkramannya. Dia mengendap-endap ke mobil lain yang lebih dekat dari sasaran. Pria berbaju merah itu mengeluarkan segepok uang. Mungkin untuk membayar kompensasi dari kegagalannya menculik Linda, sekaligus kerugian para preman setelah markasnya kami rampok. Dan setelah uang itu dia serahkan dua orang yang ia sewa, dalam sekejap, Mas Pram melumpuhkan salah satunya.

Gerakan Kakakku terlalu cepat dan akurat. Pria di sampingnya langsung siaga saat Mas Pram coba menghantam titik vitalnya.

Pria kedua itu bisa menangkis serangan kakakku. Sepertinya dia sangat pengalaman di bela diri tangan kosong. Nampaknya, dialah si pemimpin preman-preman itu. Orangnya tangguh. Refleknya cepat. Tapi setangguh apapun dirinya, Mas Pram bukanlah petarung biasa. Krav Maga yang ia kuasai bukanlah hiasan. Saat kedua tangannya sibuk menangkis serangan, Mas Pram layangkan tendangan bertenaga, tepat ke selangkangan si boss pembunuh.

PYOOKKK!!!

Suara telur ceplok menggema di tempat parkir.

"Cur—curang!"

"Kalau bisa nendang biji, kenapa nendang badan?"

PYOKK!!

Mas Pram menendang bijinya lagi.

"Cur—

PYOK! PYOK! PYOK! PYOK! PYOK! PYOK!!!

Orang itu tak sanggup bicara lagi.

Pria berbaju merah hendak kabur. Secepat mungkin kulumpuhkan dia dan menyekapnya di dalam mobil.

"Ayo, Mas."

"Bentar. Nanggung."

Mas Pram terlihat sibuk memungut uang. Walau tertutup topeng, aku bisa lihat wajah semringahnya. Puluhan juta itu Mas Pram kantongi, begitupun arloji, pisau taktis, kacamata, ponsel, cincin akik, dan semua benda berharga milik dua pembunuh bayaran.

"Mas, kok kita jadi kayak penjahat?"

"Ah, itu cuma perasaan Dik Handoko. Nih bagianmu." Dia lemparkan beberapa gepok uang ke arahku.

***

Esok malamnya.

Di ruang gelap berdebu, ada sebuah kursi di bawah ayunan lampu gantung. Di kursi itu telah duduk manajer HRD yang kami culik dari Bandung. Tangannya terikat ke belakang. Matanya tertutup kain, dan mulutnya tersumpal kaos kaki bau yang sengaja tak kucuci dua minggu ini.

"Semua informasi sudah kita gali," ucapku dengan nada serendah mungkin. Nada suara yang dibuat-buat agar si baju merah tak mengenalku. "Kita habisi orang ini?"

"Kita sudah kantongi alamat rumahnya, foto anak dan istrinya, dan semua selingkuhan dia. Kasihan mereka kalau orang ini kita habisi." Mas Pram juga bicara dengan suara dibuat-buat.

"Apa kita lepaskan saja?"

"Tidak perlu. Lebih baik kita habisi seluruh keluarganya."

Manajer HRD langsung bergeliat. Dia memohon-mohon dengan suara tersumpal kain. Kami tak peduli. Kami seret si baju merah itu ke luar ruangan, dia mana banyak semak dan bebatuan di sekelilingnya.

Penutup matanya kubuka. Begitupun kaos kaki bau yang menyumpal rongga mulutnya. Di gelapnya malam, wajah teror dia tunjukan saat melihat beberapa galian.

Galian 60 x 180 cm.

Pas seukuran manusia dewasa.

"Kami bayar anda berapapun juga! Tolong ampuni saya."

Dengan masih memakai topeng, Mas Pram menunjukan nomor rekening.

"Kirim uangnya ke sini. Aku ingin tahu berapa rupiah yang bisa kau bayar untuk nyawamu."

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now