Tentang Uang II

1.2K 194 17
                                    

Suara mendengung kian menjauh dari kantorku. Respati kembali ke Jakarta menggunakan Eurocopter EC135, helikopter cantik buatan Airbus. Harganya mencekik leher. Dia beli helo itu setelah menjual helo lamanya kepadaku. Sudah pasti dong ditawar Fitria. Seminggu lamanya dia tawar menawar dengan Herlyn yang ternyata tak kalah pelit.

"Tapi Mas, Mbak Herlyn lebih parah loh. Masa suaminya pernah dijatah air mineral? hahahaha!"

"Serius?"

"Iya. Waktu Mas Respati ketahuan lirik-lirik cewek, besoknya kartu debet dan kredit disita. Isi dompetnya cuma ada 5000 perak. Mbak Herlyn cerita sendiri."

Aku tertegun saat istriku terbahak-bahak. Sejak berpenghasilan di atas rata-rata, transaksi tunai hampir tak ada. Segalanya tinggal gesek. Apa-apa serba pencet. Dan transaksi elektronik itu sudah pasti berujung "Pip! Pip!" di ponsel istri. Fitria tahu segala hal yang kubelanjakan. Begitu pula Herlyn, Chief Financial Officer di Silver Bridge Corporation. Respati sampai mengais recehan parkir hanya demi beli rokok.

"Makanya, jangan seperti Mas Respati. Sudah punya anak masih genit."

"Aku gak pernah genit."

"Jangan sampai. Atau sehari uang jajanmu 5000 perak."

Mas Pram beruntung.

Hanya dia yang istrinya bukan direktur keuangan.

"Hah? Beli lagi? Tadi pagi sudah dua box." Aku terhenyak saat Fitria seenaknya memborong coklat.

"Sudah habis, Mas. Aku stress mikirin hitung-hitungan."

"Gila! Sehari lima box? Nanti giliran berat badan naik, aku yang dikomplain."

"Gak bakalan naik. Tiap malam bakar kalori sama suami." Dia jawab seenaknya.

Di minimarket, kami masih belanja kebutuhan dadakan untuk di kantor. Niatnya sih beli popok. Tapi separuh belanjaan adalah camilan untuk istriku yang gemar makan. Makin lama makin rakus.

"Beliin rokok dong sayang."

"Kan tadi pagi sudah kukasih jajan 20 ribu? Mas jaga kesehatan, dong. Masa sehari habis dua pak? Kurangi ya, cintaku?"

"Tadi kubagi sama Respati. Aku butuh rokok nih buat teman mikir."

Hufff, syukurlah istriku tak separah Herlyn. Dia masih mau gesek kartu. Wanita itu selalu pengertian kepadaku.

"Nih, kubeliin satu pak. Nanti malam tambah sesi."

"Hah? Kerjaanku banyak. Masa gak puas dua jam?"

Dia toleh pegawai minimarket.

"Mbak, rokoknya gak jadi."

"Bisakah kita fair? Aku loh gak protes camilanmu sehari 200 ribu."

"Mas kan tinggal minta jatah nanti malam. Aku mau kok melayani berapa kali pun demi jajanku. Adil kan?"

Adil dari Hongkong?

Fitria tak menggubrisnya. Wanita itu berlalu pergi dengan dada kian terbusung. Syukurlah aku pria kekar. Staminaku masih bisa mengimbanginya. Tapi tetap saja, saat melirik bungkus pembalut di tas kresek, aku hafal seminggu nanti dia sedang tinggi-tingginya.

"Makanya, jangan banyak merokok. Staminanya biar gak turun."

"Oh, jadi ini alasanmu?"

Fitria kabur duluan.

***

"Penjajahan gaya baru!"

"Singkirkan antek-antek asing!"

Sepulang dari minimarket, kami berjalan santai di antara para pendemo. Mereka saling dorong dengan polisi. Beberapa lagi memblokir gerbang dan menghalangi orang lewat. Suasana makin memanas. Sebagian mulai anarkis. Pendemo itu mulai membakar ban-ban bekas karena maunya tak dituruti.

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now