Chemistry

8.4K 1.2K 41
                                    

"Sayang, jangan marah dulu. Justru perjanjian tadi lebih masuk akal. Lima persen itu sudah menguntungkan kita."

"Pokoknya aku gak peduli. Mas jahat banget! Masa istri sendiri digituin?"

"Digituin gimana?"

"Seharusnya kan Mas ngomongnya biasa aja sama aku, ngapain juga pake intimidasi, hah? Aku sampai takut tadi."

"Iya, maaf sayang, tadi kelepasan."

"Biarin! Pokoknya nanti malem Mas gak boleh sentuh aku!"

"Serius nih? Aku bisa istirahat dong?"

Fitria diam sejenak. Tak ada bunyi apapun di telpon itu. Dia pasti tahu bahwa dia sendiri yang tak tahan kalau sehari saja tak dapat sentuhan. Istriku agak hyper. Tak sedikitpun dia memberi istirahat secapek apapun aku di kamar.

"Kalau nyentuh boleh deh." Istriku berubah pikiran. "Tapi harus lima kali!"

"Woe!"

"Kalau gak mau uang jajan Mas dipotong!"

"Jangan semena-mena!"

Telpon ditutup. Fitria tak mau angkat lagi panggilan ulang. Kakiku langsung lemas membayangkan malam ini tak akan tidur semalaman. Aku kembali ke meja dengan langkah yang agak berat. Tapi bukan aku saja yang ber-mood buruk di meja itu. Dua anak baru lain juga nampak depresi karena trauma mereka hari ini. Gara-gara TL goblok, mereka hampir merugikan ratusan juta uang perusahaan. Dan si TL itu pun sampai detik ini masih juga bermuka badak.

"Sebenarnya aku bisa nego lebih bagus. Tapi direkturnya cewek cakep. Aku jadi gak tega ngomong tegas. Takut dia nangis."

Tak seorangpun mau menanggapi. Abidin buang muka, sedang si Indah masih sibuk dengan dramanya. Gadis itu masih tersedu-sedu karena ulah si muka terong.

"Baru sehari bekerja, aku hampir kena masalah, hiks!"

"Tenang, masalah sudah selesai. Gak perlu nangis lagi." Si TL sok bijak. Dia berlagak menenangkan Indah yang masih menutup wajah dengan kedua tangan. "Selama ada aku pasti masalah beres," katanya lagi, seolah-olah bukanlah dia si pembawa sial.

Indah mendongak sejenak. Aku bisa menebak isinya hatinya. Kalau saja aku bilang mau menghajar si TL, dia pasti orang pertama yang mengiyakan. Tapi gadis itu tak pandai bicara. Dia menurut saja saat Parto memperlakukannya seolah mereka sudah jadian.

"Sayang, titip tas dulu ya? Perutku mules nih."

Pemandangan itu sangat menggangguku. Kunasihati gadis itu saat si TL terkentut-kentut menuju toilet.

"Kamu tahu kenapa Ibu Fitria bisa jadi direktur? Padahal usianya setahun lebih muda dari kamu. Tahu?"

Gadis itu menggeleng.

"Karena dia berani menyuarakan isi kepalanya. Kalau dia gak suka, dia bilang gak suka. Dia gak takut dipandang jelek hanya karena berani menolak."

"I—iya Mas."

Indah tak berani menatap mataku. Perempuan lemah seperti dia tak sebanding dengan istriku. Lebih baik kutoleh Abidin dan segera mengajak pulang. Kulirik lagi Indah Hartini sebelum kami beranjak pergi.

"Jangan pernah mau tunduk hanya karena kamu perempuan."

Indah menatapku agak lama sebelum tiba-tiba menundukkan kepala. Cih, merepotkan sekali. Aku jadi hilang simpati. Kutinggalkan perempuan itu yang mau-maunya menunggu si Terong.

"Mas gak kasihan sama Indah? Sepertinya dia sudah gerah sama TL."

"Urusan dia. Kalau memang mau ikut kita, kenapa gak ngomong?"

Mendadak AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang