Pujangga Tersirna

924 145 1
                                    

Tanpa banyak bicara, manajer itu mengosongkan semua saldonya. Dia langsung bersujud begitu Mas Pram melepaskan ikatan tangan. Tapi rasa lega itu tak berlangsung lama. Dia kembali panik saat kakakku menyodorkan sebuah cangkul.

"Gali di sini. Lebar 60 cm, kedalaman 60 cm. Gali mengikuti tali."

"Anda sudah berjanji mengampuni saya!"

"Iya, aku mengampunimu. Tapi bukan keluargamu."

"Tolong, saya tak punya uang lagi!"

Wajahnya semakin pucat. Mas Pram menampar kecil pipinya dan berbisik, "tapi uang Nyoto ada di kamu, bukan?"

Orang itu sejenak meragu. Dia langsung bicara saat Mas Pram menunjukan foto-foto keluarganya.

"Ka—kalau butuh uang lagi, i—iya, sa—saya masih ada!"

Aku dan Mas Pram saling menoleh. Dugaan kami ternyata benar.

"I—ini u—uang korupsi Pak Nyoto yang kami simpan di luar negeri. Sa—saya pegang password-nya."

Aku dan kakakku menoleh lagi. Mataku berbinar-binar seperti rembulan, apalagi matanya Mas Pram. Dia keluarkan lagi ponselnya dan menunjukkan rekening lain.

"Kirim semuanya di sini. Tenang saja, setelah ini kami urus si Nyoto."

Si HRD terlampau panik. Dia kuras juga uang si Nyoto yang sudah menggunung di akun offshore. Rekening kami adalah rekening gelap yang sulit dilacak. Setelah merampok tabungan Nyoto, kami tak begitu saja membebaskan tangan kanannya.

"Kenapa saya masih disuruh menggali?"

"Lubang-lubang ini kami siapkan untuk orang lain. Cepat gali! Jangan salah ukuran dan jangan buang waktu. Atau semua lubang ini untuk keluargamu!"

Si tahanan kontan terpicu. Dia gali lubang-lubang itu sesuatu ukuran yang kami siapkan. Malam pun dihiasi suara cangkul. Setelah berjam-jam menggali lubang, orang itupun kami bebaskan. Tapi tangan dan mulut si HRD kami bungkam lagi, agar dia tak melacak posisi kami, saat mengirimnya ke Kota Bandung.

"Ingat, satu kata saja keluar dari mulutmu, selamat datang ke lubang yang kamu gali sendiri."

Kutendang pantatnya dari mobil van. Orang itu pun bersikap biasa saat mobil travel menjemputnya.

Oh iya, sopir travel itu orang bayaranku.

"Ah, akhirnya selesai juga, Mas. Tinggal satu urusan yang belum beres."

"Ideku mantab, bukan?"

"Iya, mantab!"

Sesegera mungkin kami kembali ke tempat terpencil dimana HRD menggali lubang. Sederetan lubang yang dia kira lubang kuburan. Di malam hari, lokasi itu nampak mengerikan. Tapi di pagi hari, lokasi itu terlihat biasa dimana banyak kuli berkumpul di sana. Di sekitarnya pun terlihat tumpukan pasir, batu koral, dan luluhan semen untuk membuat pondasi bangunan.

"Mas, dapat berapa duit?" kucolek Kakakku yang sedang sibuk melihat ponsel.

"40 juta uang tunai, 300 juta dari rekening HRD, dan enam juta dollar di Bank Singapore. Rejeki nomplok, hahahaha!"

Aku ikut terkekeh dan berkacak pinggang. Kini aku tahu alasan Ibu tak pernah suka kalau aku dekat dengan kakakku. Orang itu tidak waras. Tapi sekeji apapun kelakuannya, dia bukan orang rakus.

Uang korupsi Nyoto jelas kami kembalikan ke perusahaan. Sedangkan tabungan HRD kami serahkan ke orang-orang yang lebih berhak. Salah satunya adalah kepada si pemilik lahan, yang lokasi proyeknya kami pinjam untuk menculik seseorang.

Kami sudah berjanji menemuinya di tempat ini. Pria itu menoleh kami dari kejauhan dengan wajah malas dan rambut keritingnya yang sangat khas.

Dan saat dia datang menyapaku, batinku sesak oleh segudang rasa rindu.

"Daku bertanya ke hamparan gunung, ke ilalang terdiam, kemanakah sang adinda yang lama tersirna?"

***

Hari ini pertama kalinya aku berkunjung ke kampung halaman Mas Iwan. Sebuah desa kecil di Jawa Timur. Desanya pelosok, berada di lembah pegunungan. Desa itu pun agak terisolir dari jalan raya, jaringan listrik, apalagi akses internet.

Mungkin karena terisolir itulah harga tanah jadi murah. Percaya tak percaya, sebagian besar lahan di lokasi itu adalah lahan milik Mas Iwan. Dan setelah bicara sejenak dengannya di lokasi proyek, dia mengajakku mampir di rumahnya, yang lumayan luas tapi sangat sederhana.

"Jadi begini, Anak muda, sebelum dikau bertanya kenapa daku tak kunjung ke Bandung, ada insan di luar sana yang enggan bersapa ke saudaranya jikalau tak punya kepentingan. Daku lupa siapa namanya."

Baru bertemu, Mas Iwan sudah menyindirku. Dia singgung kebiasaan burukku yang malas berbasa-basi meski kepada saudara sendiri. Sekalipun menanyakan kabar. Pikiranku disibukkan bisnis hingga menelponpun aku tak sempat.

"Fitria saja sering menelponku."

"Iya Mas, maaf. Aku banyak pikiran di kantor."

Mas Iwan masih cemberut menatapku. Dia gesek-gesekkan putung rokoknya ke permukaan asbak yang sudah penuh. Sebuah rokok bermerk lain dengan harga lebih murah. Aku jelas bertanya-tanya, karena perkara rokok pria itu tak pernah berubah selera.

"Mas lagi miskin?"

"Iya," jawabnya sembari melirik rokokku. "Bahkan dikau tak bertanya daku ini punya masalah apa."

"Memangnya punya masalah apa?"

"Rahasia."

Gantian aku yang cemberut. Aku juga kesal karena Fitria tak pernah menyinggung masalah Mas Iwan sekalipun sering menghubunginya.

"Kenapa Mas gak bilang ke Fitria?"

"Sudah bilang, tapi daku minta dia tak berkesah resah tentangku pada dikau, anak muda. Daku ingin tahu jikalau adikku ini sudah berjaya, masihkah ingat pada abangnya?"

Aku makin merasa bersalah. Mas Iwan pasti menahan diri untuk tidak meminta bantuanku, karena merasa aku masih Handoko yang sama saat terakhir kami berjumpa. Pencapaianku memang tidak wajar. Terlalu cepat untuk ukuran orang rata-rata. Dan karena cepatnya pencapaian itu, Mas Iwan pasti tak ingin menggangguku.

Akan tetapi, melihat kondisinya, aku merasa jadi adik yang tak tahu diuntung. Kupandangi badan Mas Iwan yang semakin kurus. Wajahnya terlihat lesu, dengan kantung mata makin menghitam. Dia sedang susah. Tapi kakak angkatku itu berbeda dari Mas Pram yang tak pernah ragu merampok uangku. Harga dirinya tinggi. Dia terlalu jaim menceritakan masalahnya hingga memaksaku menebak-nebak.

Ada apa dengannya?

"Mas lagi patah hati?"

"Enggak."

"Patah tulang?"

"Enggak."

"Mau kawin?"

"Enggak."

"Mau cerai?"

Si kriwil itu tidak menjawab. Saat kepalaku pusing menebak, dua gadis cilik tiba-tiba masuk ke ruang tamu, berebut memeluk Mas Iwan hingga aku semakin heran.

"Ayah, Kak Lesti nakal, dia ambil bonekaku."

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now