Salah Sasaran

1.4K 189 13
                                    

"Pah, Mamah mana?"

"Masih di dalam."

"Aku gak boleh masuk?"

"Mamah lagi kerja. Main sama adek Izra, gih."

Berlawanan dari ayahnya yang slengekan, Airin pemalu. Gadis itu mewarisi seluruh gen dari Kakakku. Dia adalah Mas Pram versi perempuan. Matanya teduh, bibirnya manis, wajahnya putih bersih tanpa cacat sedikitpun. Cucu tertua ayahku itu adalah karma bagi seorang playboy veteran.

"Izra, kalau ada yang naksir Mbak Yu-mu. Tonjok mukanya."

Anakku salut militer.

Mas Pram memijit kening melihat puterinya sedang bermain. Wajah stress itu alami. Wajah tampannya mulai dihiasi tanda penuaan, sejak Airin sepenuhnya bisa diasuh. Sebelumnya, Mas Pram tak pernah tahu punya anak. Kebetulan saja dia bertemu mantannya di tengah jalan, dan kebetulan pula melihat Airin yang waktu itu masih empat tahun.

Besoknya, tanpa pikir panjang dia culik anak orang.

"Mas, coba cek mantanmu yang lain. Siapa tahu anak-anakmu masih berserakan."

"Kamu pikir beras?"

"Ya, siapa tahu ada lagi."

"Jangan nambah stress, Le. Keriputku nambah satu gara-gara hasutanmu."

Mas Pram masih senewen saat kami memasuki joglo utama. Pratiwi masih uring-uringan di meja keluarga. Begitupun suaminya yang sudah kicep setelah dihina habis-habisan. Mereka makin gelisah saat istri dan iparku keluar ruangan diikuti para kerabat.

"Kami memang ada rencana membangun konsorsium bersama mitra untuk proyek-proyek ke depan."

Begitu duduk di sebelah Mas Pram, Mbak Linda berucap anggun. Dia teruskan sisa-sisa rapat tadi di meja tamu dengan gayanya yang masih sama. Usianya sudah 39. Kharisma Mbak Yu-ku semakin matang. Entah dari nada suara, cara bersikap, caranya tersenyum, sampai berkedippun sangat tertata.

Wajar lah, wanita itu adalah CPRO atau direktur humas yang tugasnya menjelaskan perusahaan kami ke banyak pihak. Termasuk ke sebagian kerabat yang bermitra bersama kami. Elegan sekali. Senyum Mbak Yu makin menawan setelah dia punya anak dan suami.

"Bu Linda, apa proyek anda nanti akan jadi bonded zone seperti Batam?" balas salah satu paman.

"Lebih dari itu, Pak. Proyeksi kemi ke Special Economic Zone. Kami berencana handle salah satu dari enam kawasan ekonomi khusus di Indonesia. Entah itu Bitung, Palu, Tanjung Api-Api, Mandalika, Morotai, atau Maloy Batuta Trans Kalimantan. Sampai detik ini masih proses dengan BKPM, Kementerian Perindustrian, Kementerian PUPR, dan lembaga terkait lain."

"Untuk pendanaannya?"

Mbak Linda menjawabnya dengan senyuman. Dia serahkan pertanyaan tadi ke direktur keuangan yang tak lain iparnya sendiri. Fitria menjawabnya dengan gaya tak kalah anggun.

"Tergantung kesepakatan kami dengan pemerintah. Kalau skalanya bagus, kemungkinan angkanya seperti yang anda dengar di ruang rapat. Dengan asumsi kalau pemerintah mengajak patungan. Kalau mereka memberi kami otoritas penuh, nilainya lebih besar lagi."

Para kerabat sombong sontak saja menahan napas. Mereka saling menoleh dengan sesamanya. Gaya istriku sangat elegan. Auranya berubah total saat sedang membahas bisnis. Berbanding terbalik dari sikap kekanakan yang seringkali dia tunjukkan.

Jelas saja, seseorang di antara kami panas dingin dilanda iri.

Siapa lagi kalau bukan Pratiwi?

***

"Pah, jadi ke SFO? Pak Respati nunggu kita."

"Yeah, aku juga ada perlu ke North Carolina."

"Markas Delta Force? Minum-minum lagi?"

Mendadak AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang