Peran Lelaki

24.6K 2.2K 26
                                    

Kedua tanganku terasa ringan. Sosok Izra masih terasa sekalipun dia tak bersamaku. Seperti di kereta, malam tadipun aku kurang tidur. Fitria sering keluar kamarnya karena si kecil selalu menangis.

Mulutku tak berhenti menguap. Mataku pun semakin berat. Tapi harus kulawan kantuk itu karena pagi ini masih ada urusan penting.

"Sudah hubungi Firmansyah?"

"Ferdiansyah."

"Terserahlah siapa namanya."

Mas Iwan bersikap cuek. Dia serahkan kunci kamarnya dan memberiku nasihat yang sama.

"Segera cuci tanganmu. Jangan terlibat urusan orang."

Dengan agak berat kepalaku mengangguk. Kali ini bukan karena kantuk. Ada kegelisahan tak mungkin bisa kusampaikan. Jujur saja, aku takut jika pandangan Mas Iwan benar tentang Fitria. Aku takut jika Izra harus kembali ke ayah kandungnya karena masalah mereka ternyata sepele. Aneh sekali. Aku belum pernah seterikat ini. Namun sebaik apapun memahami keinginanku sendiri, pada akhirnya, aku harus setuju bahwa masalah Fitria bukanlah urusanku.

Tanganku terasa berat. Seberat rasa kehilangan andai-andai itu terjadi.

Apa aku harus menelponnya?

"Ehh, Dedek sudah bangun?" Kubuang jauh benak itu saat Fitria keluar kamar.

Rasa kantuk mendadak lenyap saat si kecil di timanganku. Dia bergeliat. Pasti baru bangun. Fitria tak lagi bertanya saat puteranya dia serahkan. Semua terasa natural. Tak ada canggung di antara kami, karena Fitria mungkin tahu perasaanku pada puteranya.

Sesekali Izra menguap. Menemani Fitria yang matanya seperti panda.

"Kamu sempat tidur?"

Ibu muda itu menggeleng. Dia bertanya, "Mas Handoko?"

"Lumayan. Ternyata mengasuh bayi itu berat, ya? Hahahaha!"

Tawa itu hanya bercanda. Tapi Fitria agak lain menanggapinya. Dia menundukan muka dengan wajah sangat bersalah.

Duh, aku salah bicara?

"Fitria, kamu mau mandi? Bawa perlengkapan?"

Perempuan itu menggeleng lagi. Aku jadi tak nyaman karena wajahnya semakin muram.

"Maaf Mas, ak-aku ngerepotin Mas terus."

"Aku gak mengeluh, Fitria. Sumpah. Aku biasa bergadang kok. Tadi cuma bercanda, hehehehe."

Aku bingung bagaimana harus bersikap. Ibu muda itu agak mewek hanya karena sebuah candaan. Padahal aku tak mengeluh. Aku hanya ingin katakan bahwa mengasuh bayi ternyata punya tantangan sendiri.

Aku harus bilang apa?

"Fitria, lihat Dedek nih. Dia tertawa. Jariku dibuat mainan."

Fitria mendongak. Senyum ragu dia tunjukan. Aku tersenyum seceria mungkin agar dia mau berhenti menunjukan wajah bersalah.

"Mandi dulu, gih. Kalau gak bawa perlengkapan mandi, kita bisa beli di rumah Bu Eulis. Mau aku anterin?"

***

Setelah Fitria pergi, nomor itu pun kutekan. Menyiapkan mental dan perasaan harap-harap cemas. Tanpa kuduga, pria bernama Ferdiansyah itu memberi kesan pertama yang sangat buruk.

"Fitria ada di Bandung, Mas Ferdi."

"Iya, terus kenapa?"

Telingaku agak terganggu dengan bising knalpot di sekitarnya. Ferdi mungkin sedang berkumpul dengan anggota geng motor atau entahlah. Tipikal anak muda. Buang-buang duit orang tua untuk hobi yang katanya mahal.

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now