NYALI

1.3K 187 7
                                    

"Ferdian gila ya? Dia gak berubah sampai sekarang."

"Iya nih, padahal sudah menikah."

"Dengar-dengar dia masih ikut geng motor."

"Serius? Masih kumpul-kumpul sama anak SMA?"

"Iya. Sepertinya belum kapok geng lamanya dulu diobrak-abrik sama Jimmy."

Keributan kecil itu tak mempengaruhi kemeriahan acara reuni. Justru makin menambah bahan obrolan para pengunjung. Suasana semakin ramai. Tamu undangan makin sibuk membicarakan jaman geng-gengan. Istriku semakin kondang.

Sedangkan aku, saat ini cuci piring gara-gara tak bawa tunai.

"Mas di sini dulu sama Tam-Tam. Jangan bikin rusuh lagi. Bisa-bisa warungnya ancur kalau dibiarin."

"Transfer ke Pratama dong."

"Enggak. Nanti saja kalau sudah pulang."

Pratama terbahak begitu Fitria meninggalku.

"Istrimu masih pelit sampai sekarang."

"Kok kamu juga cuci piring? Tadi juga ngepel."

"Istriku juga pelit, Mas. Aku ketahuan curi uang buat minum-minum."

Bibirku tersenyum simpul. Pratama mirip denganku. Dia cinta mati ke istrinya sendiri. Padahal, Mbak Diana sembilan tahun lebih tua. Wajahnya juga tak terlalu cantik. Tapi kalau sudah cinta, pria segagah apapun jadi hamster di depan istrinya.

Ayahku juga begitu di depan ibu.

"Tenang saja, Mas. Fitria punya alasan meminta Mas diem di sini."

"Alasan?"

"Mas lihat istri keduanya Ferdian?" Dia lirik perempuan yang menangis sendirian. "Dinda lonte veteran sejak SMA. Kerjanya menggoda pria. Jimmy dulu pernah jadi korban. Untung saja anaknya bego, hahahaha!"

"Serius? Jimmy pernah digoda?"

"Iya. Tytyd-nya pernah diremas."

"Hah? Rere marah cowoknya digituin?"

"Sudah pasti lah, Mas. Rere galak. Dia nampar Dinda setiap ketemu. Fitria juga galak waktu SMA."

Kulirik istri Ferdian yang ketinggalan. Perempuan itu masih sesegukan sambil sesekali membenahi make-up. Aku agak heran dengan caranya berpenampilan. Rambutnya disemir pirang, roknya di atas lutut, kancing bajunya agak terbuka demi memamerkan belahan dadanya. Vulgar sekali. Sebagai pria kuper nan soliter, aku baru tahu ada perempuan semacam itu.

"Dinda kalau lihat ada keluarga harmonis, hawa-hawanya mau jadi orang ketiga. Dia mengidap penyakit kronis. Namanya sindrom pelakorintus lonteitis."

"Kok serem sekali?"

"Makanya Fitria umpetin Mas di dapur. Pengidap penyakit itu paling suka sama boss seperti Mas Handy, atau cowok super ganteng seperti dia." Pratama tunjuk seseorang yang baru tiba.

Dalam sekejap, seluruh pengunjung bersorak riuh. Kami sudahi mencuci piring begitu lihat sosok pria berkacamata. Si ganteng itu adalah Jimmy, teman kerjaku dulu yang kuanggap adik sendiri. Penampilannya jauh berbeda dibanding terakhir melihatnya. Saat ini, Jimmy memakai celana kain, lengan panjang, juga jas dan sepatu vans.

Gayanya elit.

"Jimmy!" Fitria langsung berlari.

"Fit, ini kamu?"

"Iya. Sumpah aku kangen. Tunanganmu mana?"

"Tuh di belakang."

Aku terkesan. Aku tak keberatan melihat Jimmy dan istriku berpelukan di pintu masuk. Terlebih saat melihat sosok gadis di sampingnya, si bule tomboy yang sekarang sangat berbeda. Rambut Renata panjang terurai. Perempuan berpupil hazel itu juga memakai gaun malam, high heels anggun dan semacam bando kelinci. Cara berjalannya sangat feminim. Setelah puas berpelukan dengan Fitria, Renata berniat memelukku.

Namun, langkahnya terhenti sesaat. Renata balik arah saat melihat istri Ferdian. Perangainya berubah total. Watak tomboy-nya kumat lagi saat mereka berhadapan.

"Bitch slap!"

Plak!

Dia tampar istri Ferdian sampai make-up-nya rontok semua.

"You know what, Bitch? Aku kangen nampar pipimu."

***

"Bitch slap! Fyuuh!"

"Gerakannya salah. Tamparanmu gak ada tenaganya."

"Harus gimana, Mas?"

"Putaran kakimu belum singkron. Footwork-nya dibenerin dulu. Gerakan hook itu memutar badan. Bukan hanya ayunan tangan. Jadi berat badanmu bisa berkumpul di telapak tangan." Kuperagakan gerakan tinju agar Fitria menirunya.

Dua hari setelah reuni, menjelang pulang ke Kota Bandung, Fitria masih rajin mempelajari gerakan "Bitch Slap". Pertemuannya dengan Renata, satu-satunya teman sesama cewek masa SMA, membuat istriku semakin hardcore. Renata seorang petinju. Teknik menamparnya pun memodivikasi gerakan "hook" dalam tinju. Karena itulah Fitria minta agak aku melatihnya.

"Kamu bersahabat lama dengan Rere, bukan? Kok baru belajar sekarang?"

"Karena dulu aku gak punya alasan menampar orang. Sekarang suamiku boss. Dan Mas sama O'on-nya seperti Jimmy," ujarnya sembari mengayunkan tangannya lagi. "Bitch slap! Fyuh!"

"Aku enggak O'on."

"Kalau Mas pinter, Mas pasti peka kalau aku lagi pingin."

"Hah? Apa hubungannya?"

Fitria tidak menjawab. Dia masih sibuk mempelajari footwork tinju agar tamparannya bisa membuat orang terpental.

"Sana gih, dipanggil ayah," ujarnya lagi sambil menoleh Brigadir Jendral.

***

"Gimana, Yah?"

"Beres. Pejabat itu sudah menandatangani perjanjian."

"Serius gak apa-apa?"

"Ck! Dia cuma pejabat ecek-ecek." Ayahku bicara dengan santainya. "Dia sudah pernah membuang Izra. Setelah ini, kalau dia berani mengusik cucuku lagi, urusannya denganku."

Aku gelagapan karena ayah tak main-main dengan ancaman. Lencana Brigadir Jendral bukan lelucon. Gara-gara kejadian dengan Ferdian, ayahku langsung hampiri orang tuanya. Komandan itu tak pikir panjang gunakan pangkat. Apalagi setelah dengar cucu kesayangannya mau dipukul. Ayahku yang super sabar dalam sekejap menjadi bar-bar.

"Handy, ini yang ayah maksud menaklukkan orang lain pakai cara elegan. Hancurkan harga diri mereka sehancur-hancurnya. Jangan beri ampun. Jalanmu masih panjang."

"Ayah belum puas dengan pencapaianku?"

"Belum. Pangkatmu belum tinggi. Kamu masih direktur ecek-ecek."

Aku cemberut. Walau kami sudah baikan, watak ayah masih sama. Standarnya setinggi langit. Dia selalu memaksaku untuk selalu ambisius.

"Ayah mau kasih misi lagi? Kemarin saja aku gak beli mobil."

"Tapi kamu bisa beli kalau mau. Misimu sukses. Tak perlu beli mobil kalau belum butuh."

Sekali lagi, ayahku bersikap santai. Gayanya jadi seperti Mas Pram saat slengekan. Mood-nya sangat baik. Sejak memeras keluarga Ferdian, Izra saat ini 100% cucunya sendiri.

"Handy. Reuni keluarga tahun ini jangan hadir dulu." Beliau singgung acara terkutuk di keluarga ibuku. "Ayah beri dua tahun dari sekarang. Jadi direktur tulen. Untuk sementara, ayah beri misi mudah."

"Hah? Misi lagi? Jangan bilang suruh beli rumah?"

"Regency. Minimal seharga dua milyar. Memangnya apa lagi? Kerjakan dalam enam bulan."

Aku melotot tidak percaya. Ayahku masih sama. Justru lebih hardcore setelah tahu anaknya sukses.

"Kamu tak punya Nyali? Kerjakan, atau Izra ikut ayah di Surabaya."

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now