Jangan Bahas Lagi

753 94 1
                                    

"Istrimu kecil-kecil galak, hahahaha!"

Aku masih cemberut gara-gara dijewer istriku di depan tamu. Sekaligus kesal pada Mas Pram yang masih hobi mengerjaiku. Aku tak percaya dia merekam kejadian memalukan dan mengirimnya ke Fitria.

"Istri abang gimana?"

"Badannya lebih mungil. 148."

Mataku melotot.

Aku tak percaya istri pria 198 cm itu lebih imut dari istriku.

"Dia gak penyet?"

"Ya harus hati-hati lah. Bukannya kamu sama? Walau Fitria sedikit lebih tinggi, istrimu baby face. Wajahmu boros."

Aku malu dengan ucapannya. Sampai detik inipun Fitria sering disangka anak sulungku saat kami jalan-jalan. Untung saja dadanya besar.

"Handoko, untuk rumah sebesar ini, kalian tak mempekerjakan ART?"

Bang SpongeBob celingukan, agak heran melihatku mencuci piring. Dia bicara lagi sambil mencuci piringnya sendiri.

"Istrimu juga eksekutif, bukan?"

"Kami selalu bagi tugas. Kalau Fitria masak, aku yang cuci piring. Begitupun sebaliknya. Kalau dia ngepel, aku merapikan kamar atau bersih-bersih jendela. Gak terlalu berat kok. Toh, sebagian besar rumah ini serba otomatis. Abang lihat itu?" kutunjuk benda bulat yang wira-wiri di sekitar kami. "Itu robot pembersih lantai. Lampu menyala sendiri pakai perintah suara. Di taman juga tersiram otomatis. Begitupun pintu pagar, garasi, kalau butuh trimming, tinggal sewa tukang kebun."

"Belanja harian?"

"Sekarang jaman online," jawabku sambil menunjukan aplikasi belanja daring. "Aku dan istri memang sibuk, Bang. Tapi kami sudah janji menjalani hidup bersama-sama sejak sebelum menikah. Aku gak mau hidup Fitria berat. Begitupun dia padaku. Mau di kantor atau di rumah, kami partner."

"Oh, begitu ya? Pram lama tinggal di sini kan? Pantas saja dia kebelet kawin. Hahahahaha!"

Iya. Aku dan Fitria tak pernah lupa perjuangan hidup kami hingga sampai di titik ini. Fitria masih ketat urusan uang, juga masih kejam tawar menawar. Bukan karena pelit. Itu adalah kebiasaan orang kaya untuk tidak meremehkan uang sekecil apapun.

Akan tetapi, karena Bang SpongeBob menyinggung nama Mas Pram, aku stress lagi. Terlebih saat kulihat sosok Linda nampak muram saat mengemas barang-barangnya. Hatinya dipastikan hancur berkeping. Fitria bilang, wanita itu mengunci kamar setelah mendapat surat undangan.

Tega sekali kakakku.

Linda memilih pindah setelah lama hidup seatap bersama kami.

"Perempuan cantik itu siapa? Kok anakmu bilang Bunda?"

"Istri kedua."

***

"Mereka mau nikah loh Pak, Mbok yo bilang sesuatu. Pram kan katanya dapat cuti lama?"

Ayahku tak merespon. Aku yakin beliau serba salah akan permintaan ibuku. Seorang brigjen yang biasanya tenang pun jadi tegang. Mungkin ada sesuatu. Mungkin pula ada hal lain di balik misi baru kakakku.

"Kasihan loh Pak. Nduk Sandra sudah berusaha baik sama kita. Kok malah koyo ngene?"

"Sabar Bu, Pram hanya mengundur tanggal."

"Ibu mau ngomong apa sama keluarga besar? Piye iki Pak? Bapak kok diam saja?"

Aku ikut terdiam. Apalagi Fitria yang tak paham apa-apa.

Karena penundaan nikah kakakku, Ayah dan Ibu hendak pergi ke Cijantung, ke markas Mas Pram. Mereka mampir ke rumahku dan bertengkar begitu kami membuka pintu. Sebenarnya bukan masalah besar. Tapi Ibu tak terima karena undangan telah disebar. Seharusnya ini masalah sepele. Ibu memaksa ayahku untuk setidaknya layangkan protes.

Namun sayangnya, ayah masih terdiam.

"Ibu sabar ya? Pernikahannya hanya ditunda kok. Yang penting Mas Pram sudah niat jadi suami." Fitria memeluk ibuku. Wajahnya kalem. Perut buncitnya seperti sihir untuk ibuku yang mendambakan cucu perempuan.

"Tapi Kakakmu dapat cuti loh, Nduk. Kok ditarik lagi?"

"Militer kan tidak seperti di kantor, Bu? Kami saja kadang batal cuti kalau ada masalah mendadak."

Seperti yang kami duga, Ibuku melunak. Beliau enggan berdebat kalau lawannya semanis Fitria.

"Nduk, kandungannya sehat?"

"Injih Bu, Mas Handoko sering dampingi Fitria ke klinik. Agenda kerjanya gak sepadat kemarin setelah kontrak bersama kerabat."

"Jadi karena itu kalian enggak ke kantor?"

Istriku mengangguk. Mood ibu pun makin membaik. Beliau mulai tertawa saat Fitria ulas kembali pengalaman di Surakarta. Tentang pandangan keluarga besar. Nama kami makin melejit di antara mereka. Apalagi, kami punya sesuatu yang tak mungkin ditolak ibuku.

"Ibu yang tenang ya? Katanya Butik Berbunga punya koleksi baru," kata Fitria lagi sambil pamerkan kartu kreditnya. "Minggu depan kumpulan Persit, bukan?"

Seutas senyum Ibu berikan. Dia ambil kartu kredit itu dan berkata, "gini loh enaknya punya anak perempuan. Tahu yang ibu mau. Gak pakai berdebat."

Aku dan ayah saling menoleh. Kami berdua sangat paham istri kami punya kemiripan. Sama-sama keras kepala. Ayah pun bernapas lega setelah ibu pergi ke kamar bersama Fitria.

Namun, wajahnya masih tegang. Ada rautan pasrah yang sulit beliau singkirkan. Lebih tepatnya mencoba sabar. Sesekali napasnya terhela karena menahan sebuah amarah.

"Handy ... ini perbedaan besar antara kamu dan Pram. Kamu tak membiarkan seorang atasan memanfaatkanmu. Sedangkan Pram tak sebebas itu," ucap beliau tanpa menatapku.

Aku tak menjawab.

Ayah sedang memintaku pasang telinga.

"Hufff ... sudahlah, Nak. Ayah bicara terlalu banyak."

"Ada yang bisa kulakukan untuk Mas Pram?"

"Tak perlu pikirkan." Ayah menggeleng pelan.

***

Seminggu setelah Linda pergi, rumah kami terasa kosong. Rasanya ada yang hilang walau di kantor sering berjumpa. Linda masih professional. Masalah pribadi itu tak mempengaruhi etos kerjanya. Mas Pram pun pasti juga merasakannya. Berbagi hati sangat mustahil.

"Pram, kamu capek." Di ruang tamu, diremani sebotol brandy, ayahku bicara tegas.

"Aku sudah memilih."

"Kamu mati rasa."

Kutuang lagi sesloki brandy seharga matic. Gara-gara Mas Pram, selera ayahku jadi elit. Sekulkas minuman curian sudah habis. Saat ini aku beli sebagai teman berbicara enam mata. Kami selalu terbuka. Dan obrolan kami bertiga selalu singkan dan tegas.

"Tes psikologis?" Ayah bertanya lagi.

"Positif."

"Berapa orang?"

"355 sejak pertama menarik pelatuk. Di luar pisau, hand to band, bahan peledak, interogasi ...."

Aku makin terdiam saat Mas Pram menyebut angka yang dia bunuh sampai sekarang.

Ekspresi ayahku tidak berubah. Wajahnya masih datar. Begitu pula wajah Mas Pram saat meneguk minuman mewah. Pembicaraan kami masih sama. Ayah masih kaku pada Mas Pram, sampai kakak hendak beranjak menuju kamar.

"Bagaimana ... dengan Airin?"

Mas Pram berhenti melangkah saat ayah menyebut nama yang sangat asing. Ekspresinya sedikit berubah. Ayah nampak muram saat Mas Pram menghela panjang.

"Pram, dia baik-baik saja? Dia sudah kamu kabari."

"Iya. Dan jangan bahas ini lagi. Aku punya lembaran baru."

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now