Dua Kubu

7.2K 999 86
                                    

Suasana makin memanas. Bagaimana tidak? Fitria dan Pratiwi seakan mewakili dua kubu di keluargaku. Bukan hanya nilai sumbangan, jabatan itu juga terdengar mustahil. Semua orangpun mencari tahu dari website perusahaanku.

"Oh, group yang baru berdiri itu toh? Ternyata Pak Handoko itu kamu, Le?"

Seorang wanita cantik angkat suara. Beliau adalah bibiku yang tadi menyumbang pertama kali. Bibi sodorkan kartu nama dan bicara padaku dengan anggunnya.

"Kebetulan perusahaan Bu Lek dapat tender distribusi produk farmasi. Butuh gudang dan perkantoran. Kebetulan lagi lokasi itu masuk wilayah propertimu, Le."

"PT. Setyo Indo Medika? Oh, itu perusahaan Bu Lik?"

"Iya, saya General Managernya. Kemarin sudah temu janji dengan Bu Linda. Belum sempat nego. Dua puluh milyar gimana?"

Bibiku jelas-jelas pamerkan angka. Wajah cantiknya sekilas melirik kubu OKB yang tadi berisik. Aku paham beliau kesal. Aku juga kesal berurusan dengan keluarga yang sombong-sombong.

"Kita bisa selesaikan di sini Bu Lik. Saya kontak Linda untuk coret list. Tapi bisnis tetap bisnis ya Bu Lik?"

"Iya dong. Kita professional. Duh, mimpi Bu Lik semalam. Orang yang Bu Lik cari ternyata keponakan sendiri."

Kartu namapun saling bertukar. Bukan hanya Bu Lik, beberapa kerabat juga ambil kesempatan. Kubu kerabat rendah hati tentunya. Sedang kerabat sombong hanya terdiam karena tak punya kepentingan.

Oh yeah, CEO bukan jabatan kaleng-kaleng. Mereka sangat tahu seberapa sulit bertemu Aku.

Hingga pada akhirnya, suasana jadi terbalik. Orang-orang yang tadi diam kini cerewet bicara bisnis. Milyaran pulak. Aku yakin mereka juga muak pada kerabat lain yang sedari tadi berlagak tajir.

Orang-orang sombong itupun semakin diam karena tak sanggup lagi mengikuti obrolan kami.

Kecuali satu orang.

Dan lagi-lagi si cewek centil.

"Mentang-mentang sudah kaya kok merendahkan keluarga sendiri?"

"Kami sedang bicara bisnis, Mbak Yu Pratiwi. Kami tidak tahu caranya pamer mobil Fortaner atau rumah tipe 45, atau partai tiga roda."

"Tiga arah!"

"Terserahlah." Aku tak menggubrisnya.

Perempuan itu hampir menangis saat menelpon minta dijemput. Minta dijemput pakai mobil mewah. Dia terdengar berdebat dengan suaminya seperti anak minta mainan. Pak Dhe Har tak berani menegur. Itulah resiko dari orang tua yang mencetak si anak manja.

Rasain!

Ayahku senyum-senyum saat Pratiwi beranjak pergi. Beliau tunjukan isi percakapan dengan seorang perwira Kodim.

"Ayah minta mobil diantar ke sini?"

"Iya. Sebentar lagi mobilnya datang."

Mobil mewah berwarna hitam melaju pelan di tempat parkir. Kami bisa melihatnya dari ruang tamu, begitupun Pratiwi yang sedang menunggu di depan pintu. Perempuan itu kontan histeris. Dia busungkan dada, karena belum tahu mobil empat milyar itu tidak lain adalah mobilku.

"Wow! Porsche!!! Suamiku jemput aku pakai Porsche!!!"

Ayahku terkekeh. Beliau tatap ayah Pratiwi yang makin gusar sedari tadi. Ayahku memang pendendam. Setelah memencet layar ponselnya, beliau memintaku ke tempat parkir untuk mengambil kunci mobil.

Sekalian pamer.

"Ingat, Handy. Ini yang namanya merendah untuk mengebom."

***

Mood kami makin baik seusainya reuni keluarga. Ayahku nampak puas, begitupun ibu yang makin sayang pada menantu. Beliau masih terpana di dalam mobil. Tapi masih ada rasa tak rela karena ketinggalan berita penting.

"Masa sama ibu gak cerita kalau sekarang jadi boss?"

"Lah ibu gak nanya? Kemarin main ke rumah saja gak nanya. Masa gak lihat anakmu sukses?"

"Biar ndak nanya kan kasih kabar toh Le?"

Aku malas menjawab. Bukannya tak mau cerita, ibuku mudah kagetan kalau urusan prestasi anak. Jangankan jadi CEO, waktu manajer saja ibuku pamer ke para tetangga.

"Tuh kan, ibu saja masih bengek gara-gara tahu aku CEO."

Ibuku tersinggung. Berhubung posisinya tepat di belakangku, beliau cubit dua pipiku dan menggerakkannya dari belakang.

"Aduh anakku lanang ganteng tenan."

"Sekarang saja dibilang ganteng. Biasanya disindir-sindir." Aku senewen. Ibuku terbahak-bahak entah karena jawabanku atau karena reuni tadi.

"Duh, pantesan menantuku makin lama makin cantik. Suaminya kaya. Perawatannya pasti mahal ya, Le?"

"Iya dong Bu. Kalau mau istri cantik ya dimodalin."

Entah kenapa, Ayahku diam-diam mencolek lengan. Seperti memberi kode. Sebuah peringatan yang tak kupahami saat ibu bicara lagi.

"Kalau Ibumu ini juga punya perawatan seperti si Nduk, pasti lebih cantik lagi. Iya kan Le?"

"Iya dong, Bu. Dasarnya cantik yang harus dirawat."

"Kalau baju-baju Ibu branded semua seperti si Nduk, pasti tambah cantik kan?"

Sampai di sini, aku mulai paham kode nuklir dari ayahku. Aku pun mulai tak nyaman dan agak pelan mengiyakan.

"Injih, Bu."

"Anak manapun pasti mau dong ibunya cantik."

Tanpa banyak bicara, aku menoleh ke arah Fitria. "Sayang, nanti kalau ibu minta biaya perawatan, minta baju, minta apapun, kasih semuanya."

"Iya, sayang. Sekalian kita bikinin kartu kredit."

Ibukupun melepas cubitannya. "Mbok yo dari tadi ngomong gitu. Kan ibu ndak muter-muter. Duh anakku lanang, belanja yuk!"

Agenda hari inipun jadi agenda para ibu yang sudah gatal menggesek kartu.

Banyak yang bisa kami kunjungi di Kota Solo. Salah satunya pusat belanja di pasar Klewer. Ada butik batik di sana. Masih banyak waktu sebelum kembali ke Surabaya, masih banyak pula yang bisa kuberikan tuk membahagiakan orang tuaku. Bukan hanya tentang uang. Melainkan waktu. Sejak jadi CEO, aku bebas liburan untuk menjenguk ayah dan ibu. Hidup ideal, bukan? Terutama bagi Fitria yang tak memiliki orang tua. Saat dia belanja bersama ibu mertua, ayah mengajakku bicara berdua.

"Handy, Pak Dhe Har dan Ayahmu ini seperti air dan api."

"Karena beliau politisi?"

Ayah tak perlu menjawab. Akupun tahu bahwa militer dan politik itu harus terpisah dinding tebal. Ayah tak suka politik dan tak berminat terjun walau banyak yang menawarkan. Beliau lebih memilih hidup sederhana daripada kaya karena mengorbankan sebuah prinsip.

Ayahku seratus persen seorang prajurit.

Tapi bukan berarti beliau tak suka pamer.

"Ayah boleh pinjam mobilmu sebulan? Setelah ini ayah akan sering main ke Rumah Pak Dhe Har."

"Wah, ayah masih belum puas pamer?"

Ayahku terkekeh lagi.

Aku tak mungkin menolaknya, dan memilih berlagak jadi dermawan.

"Ayah ambil saja. Kita tukar mobil."

"Serius, Le?"

"Iya. Aku gak sayang kalau ayah sendiri yang minta."

Dan aku tak mungkin bilang Porsche itu berasal dari congornya Mas Pram.

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now