Ungkapan Cinta

21.3K 2K 103
                                    

Aroma kopi tercium harum di hidungku. Hangat singkong rebus meluber lumer, menyatu sempurna di lidah dan perut. Armor Leuit, Dago, di cafe itu aku biasa bercengkrama dengan Mas Iwan untuk membahas rencana kerja. Kami berlabuh di cafe itu karena rindang pepohonannya, kursi kayunya serta hidangan tradisional pendamping kopi.

Percayalah. Siapapun yang bekerja di depan monitor selalu butuh pemandangan hijau.

Sayangnya, pikiranku terlalu kalut untuk membahas pekerjaan. Aku sedang tidak mood untuk memikirkan operasional workshop, biaya produksi, laporan kerja, atau tetek bengek lainnya. Karena setelah tahu perasaan Fitria padaku, berusaha fokus hampir mustahil.

"Kamu tahu, Anak muda? Kenapa perempuan suka bilang 'kamu terlalu baik' saat mereka menolak perasaan laki-laki?"

Kepalaku menggeleng. Bukan karena tak tahu jawabannya, aku malas bicara setiap kali Mas Iwan berlagak bijak. Aku juga menyesal menceritakan kejadian minggu lalu saat Fitria mengungkapkan perasaannya.

"Karena pria baik itu busuk, Anak muda. Seperti dikau yang menggantung cinta sang ibu muda."

"Bla bla bla bla! Aku tidak mendengarmu," balasku menutup kuping.

"Tak bisakah dikau dengar desah lirih nestapanya, Hando? Sikapmu terlalu baik. Jangan salahkan Fitria kalau dia memaknainya lain."

"Bla bla bla bla! Blueehh!!"

Semakin tak kugubris sindirannya. Jemariku sibuk memainkan sendok di atas coffee drip yang masih menetes.

"Bisakah kita bahas yang lain?"

"Bisa, kalau dikau balas perasaannya."

Adukan di kopiku semakin cepat. Begitupun benakku yang seminggu ini diaduk-aduk sikap Fitria. Setelah nekad mengucap jelas, perempuan imut itu tak berani menatapku. Hubungan kami renggang. Ada kebisuan saat kami saling berhadapan.

Aku harus bagaimana?

"Mau sampai kapan dikau ingkari sebuah rasa yang makin menggelora, Hando?"

"Jangan seenaknya ambil kesimpulan, Mas."

"Wajah dikau seperti majalah porno. Mudah dibaca walau selalu tersimpan. Bahkan anak TK pun bisa menebak isinya. Dikau suka Fitria, bukan?"

Aku tak berani mengganguk ataupun menggeleng. Sekalipun tebakan Mas Iwan benar, aku terlalu malu mengakuinya.

"Akuilah, Anak Muda. Dikau pikir mata dan kelapaku ini tiada perhatian?"

"Tapi kan gak gitu juga, Mas. Aku gak percaya diri. Fitria cantik. Sedangkan aku? Bagaimana dia bisa suka padaku?"

"Iya juga, sih. Fitria manis bagai buah ceri. Dikau seperti kentang kelebihan pupuk kandang."

Ingin kubilang bahwa Mas Iwanlah pupuk kandangnya.

Tapi dia bisa batal mentraktir kalau aku berani balas.

"Mas, aku harus bagaimana?"

"Dikau meminta saran cinta ke orang yang 27 tahun jadi tuna asmara? Oh, sungguh bijak."

"Lah, terus ngapain dari kemarin nyindir-nyindir?"

Mas Iwan terbahak-bahak dengan ekspresinya yang masih datar.

"Daku kan sudah bilang balas perasaannya, apa susahnya? Dia butuh kepastian, Hando."

Aku menghela napas panjang karena saran sederhana itu terlalu rumit bagiku. Saran yang sangat masuk akal itu jadi tidak rasional setelah aku berlatih setiap malam untuk sekadar menyatakan perasaan. Membayangkannya saja sulit, apalagi mengatakan itu di hadapan Fitria.

Uhh, mengerikan sekali. Kata-kata cinta itu seperti kutukan.

"What happen aya naon? Dikau takut mengungkap rasa, wahai Arjuna Pencari Janda?"

Aku kontan menghindari mata Mas Iwan karena ucapannya terlalu benar. Pria itu langsung menjepit telapak tangan di ketiaknya sendiri, dan mengepakkan siku seperti ayam.

"Petok petok! Anak Pak Kolonel takut. Petok petok!"

"Mas, diem Mas." Kusembunyikan mukaku di meja saking malunya. "Biarkan aku berpikir jernih."

Mas Iwan tidak mempedulikan sikap protes lawan bicaranya. Dia justru mengambil ponselku dan menekan nomor Fitria di aplikasi perpesanan.

"Mas mau ngapain?" Aku panik hendak merebut. Tapi Mas Iwan lebih dulu menghubungi nomor itu, dan mengirim pesan ke Fitria seolah-olah pesan itu dari aku.

"Pikiranmu tak akan pernah jernih selama belum bicara langsung. Cepat selesaikan masalah kalian."

***

Sore ini aku berada di cafe berbeda gara-gara seseorang yang seenaknya memencet nomor. Cafe mahal. Aku gelisah sekalipun Mas Iwan yang mengurus tagihan. Bukan hanya nama menunya yang aneh aneh, suasana di meja itu juga memberi tekanan tersendiri. Semua karena seorang perempuan yang membuatku tak nyaman menulis pesanan.

"Pesan apa?"

"Terserah." Fitria menjawab super singkat. Dia masih alihkan muka dengan tangan tersilang dan pipi menggembung.

"Kalau begitu brownis."

"Gak mau!"

"Terus pesan apa?"

"Terserah."

Dan pembicaraan kami pun macet lagi.

Fitria terlihat marah padaku. Tapi aku tak paham kenapa dia berdandan agak lama dan memakai baju terbaiknya. Perempuan memang kontradiktif. Aku tak tahu harus memulai darimana, sampai-sampai seorang pelayan membisikkan sebuah saran.

"Mas, minta maaf dulu," katanya sebelum berlalu sambil cekikikan.

Okay, aku ikuti sarannya.

"Fitria, ma—maafkan aku," ucapku agak terbata.

"Maaf buat apa?"

Aduh ... mau jawab apalagi aku? Kulirik pelayan itu yang memberiku kode dari meja resepsionis.

"Maaf sudah bikin kamu marah."

"Aku gak marah, kok."

Aduh ... macet lagi. Kulirik lagi seorang pelayan yang sudah terbahak-bahak bersama rekan kerjanya.

Sialan, apa aku selugu itu?

Untunglah Fitria memecah beku. Dia mulai bicara saat aku kehabisan kata.

"Mungkin aku memang gak pantas buat pria seperti Mas."

"Kata siapa?" jawabku cepat. Ucapan Fitria seperti obat pencahar untuk tenggorokanku yang sedang sembelit. "Kamu sempurna, Fitria. Apa yang kurang darimu?"

Fitria terdiam. Ekspresinya sedikit melunak walau wajahnya enggan menoleh.

"Aku enggak terbiasa, Fitria. Aku belum pernah punya perasaan ini dan gak tahu harus ngapain."

"Iya, aku tahu." Dia menjawab sambil menghembuskan napas panjang. Secara perlahan dia menolehku dengan gelagat seperti mengadu. "Aku cewek, Mas. Aku malu habis ngomong perasaanku sendiri. Tapi Mas Handoko ngasih perlakuan seolah-olah Mas sayang sama aku. Mas sering menyuapiku, memegang tanganku, dan bicara komitmen seperti Mas sedang melamarku. Gak tahunya semua bohong."

"Jangan sembarangan! Aku memang sayang kamu kok!"

Aku terpancing. Suaraku sedikit meninggi hingga semua orang kompak menoleh. Kututup mulutku sendiri saat baru sadar arti dari kalimat barusan. Kututup pula wajahku dengan buku menu, karena tak sanggup melihat wajah Fitria setelah dia mendengarnya.

"Mas ... Mas barusan bilang apa?"

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now