Daster Sepaha

20.9K 1.8K 75
                                    

Ruang tamu Bu Eulis masih jadi surga bagi puteraku. Tidak ada meja, tidak ada asbak, yang ada hanyalah karpet warna warni dan mainan yang makin banyak. Separuh dari mainan itu bukan aku yang beli. Sebagian dari Mas Iwan, sebagian dari Bu Eulis, dan sebagian lagi entah dari siapa. Fitria yang tahu dan aku malas bertanya. Tapi aku langsung mengerti masa depan anakku dari mainan yang paling sering dia mainkan.

Pistol-pistolan ...

Ironis sekali. Izra justru menyukai profesi yang paling aku hindari. Waktu kami belanja, si kecil bahkan menangis minta dibelikan baju imut bermotif loreng. Hufff ... apa boleh buat. Bakat dan masa depannya bukanlah kehendakku.

Tanpa terasa, puteraku sudah setahun. Dia bisa berjalan dan berceloteh beberapa kata. Pertumbuhannya jauh lebih cepat dari bayi seumurannya. Dia bukan lagi bayi cengeng. Izra jarang menangis. Kecuali kalau aku bertengkar dengan ibunya.

Ya Tuhan, lelap sekali puteraku. Selama delapan bulan menjadi ayahnya, dia seperti bagian tubuhku. Aku bisa mendengar dengkuran kecilnya. Aku bisa dengar suara napasnya, bahkan suara jantung yang berdetak seperti metronome.

"Dedek hafal banget jadwal ayahnya libur. Sejak subuh sudah rewel minta ketemu Mas."

Fitria berkomentar setelah dia membuka kamar. Bau sabun masih tercium dari tubuhnya yang tertutup daster sepaha. Mungkin atasan piyama atau entahlah. Baru kali ini dia memakainya.

"Tapi kalau sudah sama Mas dia cepet banget boboknya." Fitria duduk di sebelah kananku. Dia tiru cara dudukku yang setengah rebahan bersandarkan sofa. Dia sandarkan kepalanya di dadaku, dan membelai rambut Izra yang tengah tidur di lengan kiri.

"Nanti dilihat orang gak enak." Aku agak panik. Posisi kami terlalu dekat. Fitria justru mengangkat lenganku,  hingga terpaksa kurangkul tubuhnya.

"Gitu dong. Kan aku jadi yakin kalau Mas gak belok."

"Masalah Doni lagi?"

Fitria cekikikan. Aku jadi curiga dia memanfaatkan Doni agar aku berani dekat.

"Bu Eulis lagi ke Jakarta jenguk anaknya. Dan Mas Iwan jam segini masih tidur. Gak ada orang, Mas."

"Terus? Memangnya kenapa kalau gak ada orang?"

"Aku jadi bingung, Mas ini lugu apa bego sih?"

Fitria tertawa hingga Izra jadi terbangun. Bukannya menangis, puteraku justru tertawa saat melihat ayah dan ibunya berdekatan. Aku tahu Fitria sedang memancingku. Tapi aku juga tahu ada batasan dari hubungan kami, yang mencegahku untuk tidak terlalu jauh.

"Iya. Aku juga tahu, Mas. Gak usah sampai keringetan gitu. Aku kan cuma minta dipeluk, masa gak boleh?"

Sialan, lagi-lagi dia menikmati ekspresiku yang mudah salah tingkah. Diam-diam aku dendam karena sering dipermainkan. Apalagi dia sempat menuduhku gay. Sebagai laki-laki, aku tak punya harga diri jika terus-terusan membiarkan Fitria berinisiatif.

Ah, Izra tidur lagi.

Ini kesempatan emasku.

"Fitria."

"Iya, Mas?" Dia menegadah.

Aku menelan ludah saat bibirnya sekian senti saja dari bibirku. Fitria belum tahu bahwa aku sikat gigi 10 kali hanya demi moment ini. Aku yakin dia tak menolak. Seperti yang kuduga, matanya terpejam saat bibir kami mulai berdekatan.

Saat ini ciuman pertamaku. Hari ini kuberanikan diri memberi bukti, bahwa Fitria lah perempuan yang kucintai. Aku tak mau lagi rasa gerogi mengalahkanku.

Aku anak kolonel.

Aku tak boleh takut.

Merdeka!

Jantungku pun tidak karuan saat bibir kami hampir bersentuhan.

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now