Bukan CEO Kaleng

5.1K 765 53
                                    

Aku yakin, istilah CEO sangatlah tidak asing. Banyak orang tahu atau minimal pernah dengar. Entah dari layar kaca, internet, media pemberitaan, sampai novel-novel untuk remaja. Tapi aku juga yakin hanya sebagian kecil yang tahu bahwa istilah CEO tidak berlaku di Indonesia.

Aku garis bawahi, jabatan CEO tidak sah secara hukum. Undang-undang di Indonesia hanya mengenal gelar direktur utama. Karena kenapa? Karena UU tentang badan usaha masih memakai warisan Belanda.

Pertanyaannya, walau akta notaris menyebutku direktur utama, kenapa aku masih menggunakan istilah CEO?

Semua karena Respati.

Sejak perusahaan kami join operasi dengan perusahaannya, sistem kami dirombak total mengikuti gaya Amerika. Sistem yang Respati rancang sangat modern. Mimpinya besar. Pengorbanannya banyak. Dia bahkan mengorbankan sesuatu yang aku sendiri tak mungkin mau.

"Kinerjamu melebihi ekspektasiku."

"Pujian atau sindiran?"

"Both of it. Setelah ini akan ada proyek nasional. You harus siap, okay?"

Sejak pertemuan pertama dua tahun lalu, kami semakin akrab. Respati menggunakan gaya bahasa berbeda saat sedang menelponku. Gayanya semakin santai. Dia jauh berbeda dari tipikal CEO kaku yang diyakini kebanyakan orang.

"Oh, jadi ini alasanmu membiayai perusahaanku?" Dahiku terkernyit setelah membaca berkas rahasia.

"Sure. You pikir aku sedang charity? Proyek ini berskala milyaran dollar. Eksekusinya akan memicu inflasi kalau kita tidak hati-hati. Dan you know? Aku tak mau mengundang spekulan. You kerjakan persiapannya diam-diam. Ada hal penting lain yang perlu you dengar."

Dahiku terkenyit. Kulihat latar belakang video call yang terlalu kumuh untuk ukuran pengusaha internasional. Respati langsung membaca isi pikiranku.

"Aku di kampung halaman. You know? Aku lahir dan besar dari keluarga miskin."

Mataku sontak melebar. Baru kali ini pria itu membicarakan topik pribadi. Kami terlalu akrab sampai bisnis milyaran dollar dikesampingkan, terganti topik lain yang pernah kuduga-duga.

"Bro, minggu depan aku nikah."

"Hah, serius?"

"Iya, aku sudah jadi warga negara Amerika sejak umur 28. Sekaligus menjabat eksekutif offshore untuk Silver Brigde. Aku harus urus administrasi, pajak, asuransi, sampai saham dan obligasi untuk jabatan baru di Silver Bridge."

"Jabatan baru?"

"Yeah, CEO."

Mataku makin melebar. Pengusaha manapun jelas tahu sebesar apa Silver Bridge Corporation, top 50 perusahan terbesar di dunia. Demi impiannya, Respati yang playboy itu rela menjadikan pernikahan sebagai syarat. Mirip cerita di novel-novel. Aku kagumi komitmennya.

"Calon istrimu siapa?"

"Aku yakin kamu tahu."

Aku langsung tahu jawabannya begitu melihat senyum malu sosok wanita di belakang pria itu. Wanita cantik bermata biru. Sosok wanita yang tiba-tiba berlagak formal saat Respati menolehnya.

"Aku menikahi Herlyn. Peresmian dan resepsinya delapan bulan lagi di San Francisco. Tapi Ijab kabulnya minggu depan di Jawa Timur. Apa boleh buat, demi formalitas."

Kalau aku jadi Herlyn, pasti kuhajar pria itu. Bisa-bisanya dia berkata perempuan secantik dia hanya sebuah formalitas. Tapi mau bagaimana lagi? Sudah biasa pernikahan orang kaya lebih mengutamakan kontrak tertulis daripada urusan asmara. Aku kasihan padanya. Jadi istri dari seorang pria narsis.

Respati tersenyum kalem. Dia membaca pikiranku. Dia raih tangan wanita di belakangnya, mencium jemarinya, dan berkata, "aku cinta mati sama perempuan ini."

Mataku melebar lagi untuk alasan lain. Gaya Respati mirip seseorang.

"Okay okay, aku pastikan datang di ijab kabul kalian." Cepat-cepat kualihkan topik, daripada Respati jadi pria tampan kedua yang menjadikanku obat nyamuk. "Okay, let's talk business."

Respati mengubah gaya duduknya. Ekspresinya berubah total begitu kami bicara bisnis. Sikap ramahnya hilang walau bibirnya masih tersenyum. Setelah menyingkirkan persahabatan di antara kami, dia menunjukkan kharismanya sebagai top 20 pebisnis muda terbaik di seluruh dunia. Dengan santainya dia tulis dua nama perusahaan secarik kertas dan menunjukkannya kepadaku.

"Beli dua perusahaan ini semurah mungkin."

Aku menahan diri untuk tidak kernyitkan dahi. Atau komplain tergesa-gesa. Aku kenyang dimarahi Fitria kalau terlalu berpikir panjang. Respati pasti punya alasan yang tak perlu aku tanyakan. Kami bicara bisnis. Kami bicara untung dan rugi.

"Budget?" tanyaku, tak mau buang waktu.

Respati menulis lagi di kertas tadi. Kali ini nominal uang senilai jutaan dollar. Walaupun uang itu sangat besar, aku menggeleng.

"Tambah lagi separuhnya. Baru kita deal."

Mata Respati agak memicing. Memberi tekanan mencekik leher. Aku menatapnya dengan ekspresi sama karena angkaku tak boleh ditawar. Pendirianku tak boleh goyah. Respati terbahak-bahak setelah menulis angka yang aku mau.

"Inilah kenapa aku suka sama you. Punya pendirian. Bukan 'yes man' seperti kebanyakan orang indo." Dia kembali bersikap sebagai layaknya seorang sahabat. "Angka yang you minta itu sesuai hitungan Silver Brigde. Tawar semurah mungkin. Sisanya kita bagi dua. Fifty fifty."

"70:30, karena aku yang kerja." Aku menawar lagi. Aku tahu modus Respati. "Kamu pikir aku gak tahu angka itu karanganmu saja?"

Respati tertawa lagi. Kali ini sambil memegang perut. Dia makin terkesan karena aku bisa membongkar modus liciknya.

"Iya, aku sudah dapat banyak dari Silver Bridge. Aku tadi hanya mengujimu. Ambil saja semua sisanya kalau you bisa tawar murah."

"Tidak, aku akan tetap kasih 30% dari selisih penjualan itu ke rekeningmu. Anggap saja hadiah pernikahan."

Senyum Respati semakin kalem. Jangankan uang jutaan dollar, seribu rupiahpun pasti dia terima kalau itu gratis. Namanya juga pengusaha. Aku ingin tunjukan padanya bahwa aku tidak serakah.

"You're my best friend, Handoko. Prasojo saja masih bisa tertipu sama mulutku. Bagaimana you bisa secanggih itu?"

Aku tersenyum kalem. Respati belum tahu bahwa dia sangat mirip seseorang. Sama-sama tampan, sama-sama playboy, sama-sama jenius, dan sama-sama 'gak ngotak' kalau sudah menipu orang. Aku bisa tahu modus Respati karena sering ditipu kakakku berkali-kali.

"Minggu depan aku ke Jatim sama istri. Sekaligus mengirim laporan."

***

Saat ini, aku merasakan jadi sosok over the top. Puncak piramida. Peranku tak keluar banyak tenaga hingga dunia terasa tak adil di pandangan orang biasa.

Tahu berapa yang kudapatkan dari makelar beli perusahaan?

Yeah, kira-kira belasan milyar. Lumayan lah, untuk beli rokok.

Namun, sama seperti Respati, aku juga pernah jadi orang susah. Pernah jadi buruh kasar. Aku bisa memahami rasanya beradu keringat, menguras tenaga, waktu, pikiran, untuk upah yang sangat rendah. Rasanya tidak adil. Tapi setelah menduduki jabatan tertinggi, kini aku mengerti kenapa penghasilan tidak harus sama rata.

Jawabannya adalah tanggung jawab.

Ini adalah sesuatu yang dipandang sebelah mata bagi orang-orang yang belum pernah merasakan kursi jabatan.

Okay, kegagalan di mata orang biasa hanya jadi pelajaran hidup. Sekalipun kena PHK, pengaruhnya personal. Mentok di rumah tangga. Tak banyak orang dirugikan. Tapi jika direktur utama membuat kesalahan, nasib perusahaan dipertaruhkan. Nasib ribuan pekerja, keluarga mereka, ekspektasi investor, pasar, ada di tangan seorang CEO.

Tanggung jawabnya berat.

Karena itulah aku dibayar mahal.

Aku bukan CEO kaleng-kaleng yang 99% kehidupannya demi mengemis cinta perempuan yang mudah ditemukan di pinggir jalan.

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now