Langkah Absurd

1.3K 163 13
                                    

Dua bulan kemudian

"Pak, anda yakin menindaklanjuti ini? Rencana beliau terlalu riskan. Sedangkan masalah kita semakin genting." Mbak Linda bicara tenang meski wajahnya sedikit tegang. Wanita 39 tahun itu sesekali menatap istriku, meminta Fitria untuk sependapat.

"Iya, Pak Handoko. Tolong pertimbangkan. Lagipula, kita perusahaan kontruksi. Industri pangan bukan bidang kita." Istriku menanggapi.

Bibirku tersenyum simpul. Gara-gara rencana bocor, masalah semakin rumit. Kompetitor berlomba-lomba membeli lahan yang kami bidik sesuai siteplan. Mereka adalah ratusan perusahaan abal-abal yang jadi sapi perahan Partai Tiga Arah. Modal mereka tak main-main. Entah dari uang hasil korupsi, jual perusahaan, bongkar tabungan, sampai hutang luar negeri.

"Tidak masalah. Percaya padanya."

"Tapi, anda tahu sendiri kan terakhir kalinya kita mau beli tanah? Mereka jual 20 juta permeter persegi. Itu harga Jakarta. Kalau seluruh tanah itu mereka kuasai, bisa tembus seribu trilyun hanya untuk pembebasan lahan. Silver Bridge tak akan mau keluar uang sebanyak itu. Proyek besar kita terancam gagal."

"Tenang saja. Tak perlu pusingkan urusan Pak Respati. Kita punya PR sendiri. Ayo ke dalam."

Kuberi kode mata agar keduanya mengikutiku ke ruang rapat. Dua bidadari itu masih ribut gara-gara keputusan pengusaha gila. Saat kami didesak masalah tanah, Respati justru mengajak jualan sayur.

"Apa Pak Respati meminta kita menaungi retail grocery dari Australia? Ini serius?"

"Iya. Kita belok ke penasaran produk-produk harian dari Australia. Semacam susu, telur, terigu, starch, yogurt, yang kawan-kawan."

"Siapa yang handle? Kita tak punya anak perusahaan yang bergerak di sana."

"Untuk sementara PT. Botani Mitra Logistik. Untuk tahap selanjutnya PT. Bogakarya ..."

Dahiku agak ternyit saat Mbak Linda menunjukkan reaksi lain.

"Ada apa Bu Linda?"

"Tidak apa-apa. Untuk operatornya siapa?"

"Ardian Stevanus Dharmosasongko."

Ekspresinya kian berubah. Dahiku kian terkernyit. Mbak Linda agak aneh hari ini. Tapi belum sempat aku bertanya, Fitria lebih dulu angkat suara.

"Anda yakin pemerintah izinkan ini, Pak Handoko?"

Kutatap mata istriku. Memastikan padanya bahwa ini sangat 'normal' di dunia bisnis.

"Perekonomian Indonesia ditopang sektor konsumsi, Bu Fitria. Bukan dari pajak seperti negara lain. Semakin banyak masyarakat belanja, semakin bagus bagi perekonomian. Pemerintah tak akan ambil pusing selama masyarakat punya daya beli. Tak perlu pusingkan reaksi pemerintah."

"Tapi ..."

"Lebih baik siapkan proyeksi keuangan sebagai pembanding."

Fitria masih keberatan.

Aku terpaksa menggunakan pendekatan lain.

"Mark-up sebagian. Cari untung setinggi mungkin."

Istriku langsung siap grak. Si pelit itu tak banyak bicara setelah mendengar kata untung. Aku berganti menatap Mbak Yu dan memberi tugas berbeda.

"Hubungi kementerian perdagangan dan kepabeanan. Pastikan tak ada masalah di shipment. Sekalian hubungi kamar dagang. Gerak cepat, okay?"

Mbak Linda masih keberatan. Pasti kepikiran langkah Respati yang terlalu absurd. Aku terpaksa merayunya dengan penawaran yang tak mungkin dia tolak.

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now