Jangan Diteruskan

879 117 0
                                    

"Boss, kakiku masih gemetaran." Di sepanjang lorong, langkah Abidin terlihat aneh. Dia menggeser kakinya seperti bocah baru disunat.

"Apa perlu kutendang pantatmu?"

"Eng—enggak Boss, aku tahu boss punya kualitas pemimpin. Tapi jadi CEO itu rasanya ..."

Tanpa pedulikan Linda dan Clarissa, kutendang pantatnya dari belakang.

"Kalau mau sukses, jangan mudah heran dan jangan kagetan."

Dengan masih gemetaran, Abidin keluarkan buku catatan.

Aku punya alasan kuat kenapa harus mengajak Abidin. Selain potensinya yang sangat besar, dia punya mimpi jadi arsitek di perusahaan ini. Selain itu, dia harus memiliki karir demi kelangsungan hubungannya bersama Clarissa. Logikanya sudah jelas. Sebaik apapun keluarga sang pacar menilainya, urusan restu selalu mempertimbangkan aspek jabatan.

Pasangan itu seperti adikku.

Mereka harus sukses seperti adik-adikku yang lain.

"Din, kamu dulu lulusan teknik sipil, bukan?"

"Iya, Boss. Dan sempat kuliah juga di arsitektur. Kampus saya bukan kampus elit, Boss. Tapi IPK saya terbaik. Selalu dapat beasiswa."

"IPK gak menjamin kualitas SDM kalau cuma bisa teori. Paham kontruksi, kan?"

Pemuda itu mengangguk pelan.

"Waktu SMA dulu saya sempat jadi kuli bangunan, Boss. Terus dipercaya jadi tukang di proyek-proyek perumahan milik PT. Griya Cipta Laksana. Setelah kuliah, saya masih paruh waktu jadi tukang."

"Buset! Jadi, itu alasan kamu ngebet banget kerja di perusahaan ini?"

"Iya Boss. Soalnya keluarga saya miskin. Dan semua biaya kuliah dari kerja paruh waktu sebagai tukang. Saya berhutang jasa sama perusahaan ini, Boss."

Sejak pertama mengenalnya, feeling-ku sudah bagus. Pemuda itu punya motivasi kuat untuk bekerja dan mencintai perusahaannya. Untung saja kami kenalan di interview. Karena jika tidak, perusahan ini kehilangan SDM penting.

"Nanti kuhubungi lagi, Din."

"Siap, Boss!"

Setelah mereka berlalu, Linda tak sabar menegurku.

"Insting anda bagus sekali, Pak Handoko. Saya yakin pekerjaan anda akan lebih ringan karena Abidin," tutur Linda, menemaniku menuju basement. "Dan Clarissa juga potensial. Sejak anda merekomendasikan dia untuk saya latih, dia cepat paham."

Aku tak punya balasan lain selain berkata, "terima kasih sudah memasukan mereka ke daftar undangan, Bu Linda."

Perempuan itu melirik keduanya yang masih berjalan di lorong berbeda. Senyumnya sedikit terangkat. Dia duduk di samping kemudi dan berhasrat menegur lagi.

"Anda punya setahun, Pak Handoko. Manfaatkan waktu itu baik-baik. Saya bantu anda urus schedule, literatur dan kebutuhan praktik. Termasuk kehadiran Abidin sebagai asisten pendamping."

Sekali lagi, hanya senyuman sebagai jawaban. Dari pertama mengenalnya, sampai detik ini sekretaris itu punya andil besar untuk karirku. Dialah yang mengurus investasi perusahanku sejak pertama kami berdiri. Dia yang melatih istriku sebagai eksekutif, bahkan mengasuh puteraku karena padatnya jadwal ayah dan ibunya.

***

Tak terasa mobil tiba di gerbang rumah. Kulihat Mas Pram sedang bermain air bersama Izra, di kolam karet pelengkap taman. Kakakku menggendong si kecil. Dia menghampiri kami dengan hanya memakai boxer. Dia bukakan pintu untuk Linda dan tanpa ragu memerintahnya.

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now