Masakan Survival

6.7K 778 77
                                    

Aku tak langsung menjawab sapaan itu. Aku agak tertegun dengan penampilan Sandra Dewi yang Mas Pram bilang berubah drastis. Iya, dia memang berbeda dibanding setahun lalu terakhir kalinya kami bettemu. Kulitnya lebih putih, wajahnya pun makin terawat. Sandy juga memakai lipstick dan mascara, juga rambut pendek di balik topi Angkatan Udara.

Dia bahkan berkacamata seperti Linda.

Akan tetapi, ada satu yang tak berubah dari pria ... maksudnya perempuan itu, setiap kali dia sedang jabat tanganku.

"Ow, cengkraman tanganmu makin kuat sekarang. Aku kira sudah lembek setelah menikah." Sandy bicara dengan bibir penuh senyum. Tangan kekarnya mencengkeram tanganku hingga aku respon membalas.

"Benarkah? Apa perlu kita panco di dalam, Mas Sandy?"

"Dia cewek! Kamu sudah buta?!" Mas Pram makin meradang. Dia cium pipi Sandy sebelum berganti menegurnya. "Bersikaplah seperti cewek di depan siapapun." Dia amati penampilan wanita itu dan menambahkan teguran keras. "Dan perhatikan penampilanmu di depan lelaki."

Aku pun baru sadar penampilannya. Sandy memakai celana dalam dan BH tipis yang menunjukan perut six pack. Mungkin sejenis two piece. Berhubung aku tipe lelaki pemuja buah dada, Mas Pram kontan menutup mataku saat kulihat bagian itu.

"Dada istrimu sudah tumpah-tumpah. Jangan serakah."

Aku dan Mas Pram duduk ke sofa ruang tamu saat Sandy mengganti pakaian. Benar katanya, pria itu ... maksudnya perempuan itu sangat berbeda di hadapanku. Wajar Mas Pram memilihnya. Walau Sandy wanita kekar, tatap mata itu adalah tatap mata perempuan yang sudah siap luar dan dalam.

Ada cinta di mata Sandy.

Mirip Fitria dulu.

"Le, Mas serius mau menikah. Kalau gak ada Sandy, Mas sudah lama jadi almarhum." Mas Pram membuka topik. Wajahnya masih gelisah saat matanya melirik ke dapur. "Bagaimana menurutmu?"

Aku paham maksudnya. Walau telah mengakui bahwa Sandra adalah betina, aku sedang berpikir kenapa Mas Pram tak memilih cewek secantik Linda, Aulia, atau artis Singapura yang juga pernah jadi pacarnya.

"Le, kalau kecocokan itu dilihat dari tampang, Fitria gak mungkin jatuh cinta padamu. Cih, bahkan Linda juga naksir kamu."

"Tolong jangan bawa-bawa itu. Lagian, Sandra itu cantik kok kalau dia dandan."

Wajah Mas Pram kontan berseri. Dia menatap mataku dengan sorot tidak percaya. "Benarkah, Le?"

"Iya. Lagian Mas sudah hampir kepala tiga. Aku saja sudah mau beranak dua. Kapan kalian nikah?"

Mas Pram mengambil napas dalam-dalam. Dia lirik calon istrinya yang saat ini sibuk di dapur. Wajahnya sedikit lega. Tapi masih ada kegelisahan yang masih ingin dia sampaikan.

"Bukan hanya penampilan, Le. Sandra juga perlu banyak belajar menjadi cewek. Tuh contohnya, dia baru belajar masak."

BLARRR!

Telingaku kontan berkedut. Entah apa yang Sandy masak sampai di dapur itu seperti terdengar suara bom. Aku ikut gelisah. Tapi kubuang kecurigaan itu karena memasak perkara gampang. Hingga pada akhirnya, keringatku mulai menetes saat Sandy datang dengan membawa sepiring hidangan.

"Mas, itu masakan apa? Kok baunya seperti ban bekas?" bisikku saat Sandy kembali ke dapur.

"Makanya aku ajak kamu ke sini," bisiknya semakin was-was.

"Terus, itu daging apa? Kok masih gerak-gerak?"

Kini aku tahu alasan di balik wajah pucat kakakku. Sialan, dia sedang berbagi penderitaan. Dia pasti mengajakku ke sini karena pernah mencicipi masakan Sandy. Entah seperti apa rasanya. Aku pun makin panik saat Mas Pram kembali berbisik.

"Le, punya asuransi kesehatan, bukan?"

***

Entah apa yang pernah dilalui kakakku saat menyantap hidangan itu. Wajahnya datar, senyumnya nampak natural. Dia menatap mesra pacarnya yang harap-harap cemas akan penilaian yang hendak terucap.

"Bagaimana, sayang?"

"Lumayan. Masih banyak yang perlu dibenahi. Tadi garamnya berapa sendok?"

"Satu toples."

Gantian aku yang mulai gelisah. Hidangan itu lebih mirip makanan untuk para tawanan. Dengan tangan gemetar, kuraup hidangan itu. Hidungku mulai meronta saat sendok mendekati mulut.

Baunya menyengat.

Bulu hidungku sampai rontok.

"Kok belum dimakan, Le?" tanya Mas Pram diam-diam menginjak kakiku.

Aku tak punya pilihan. Ketika lidahku mengecap rasanya, dalam sekejap, kenangan masa kecilku lantas terlintas.

Ingatan ketika Mas Pram menyuruhku makan sabun beraroma buah.

Dan rasa sabun itu lebih enak.

"Gimana, Handoko?"

"Lasanya enyak ... Mbak ..." Saking parahnya, lidahku sampai kebas.

Rasanya mengerikaaann!!!

Sebenarnya bisa saja kusuruh Sandy mencicipi masakannya sendiri. Aku ingin bilang bahwa dia lebih berbakat jadi ilmuwan gila daripada ibu rumah tangga. Tapi Mas Pram mencegahku. Sekali lagi dia injak kakiku saat kutunjukan wajah mengeluh.

"Jangan rusak mood dia." Mas Pram berbisik saat Sandy mengambilkan air. "Ngambeknya lama."

"Padahal dia tentara loh. Masak saja gak bisa?"

Mata Mas Pram melirik tajam ke arah dapur, memastikan koki terburuk masih sibuk menyiapkan minum. Dia berbisik, "tahu akademi paling elit?"

"Angkatan udara?"

"Dan dia bukan cuma angkatan udara. Dia pasukan khusus, penembak runduk elit, cyber warfare, spesialis urban warfare, prajurit favorit latihan bersama Delta Force, SAS ... Sandra itu seperti Ningrat di dunia militer. Dia makan pakai sendok perak."

Pantas saja perempuan itu songong sejauh aku mengenalnya. Ternyata dia punya kasta di tubuh TNI. Gayanya seperti bangsawan. Aku jadi penasaran kenapa dia mau jadi anggota regu kakakku. Termasuk dua anggota lain yang seragamnya juga berbeda. Tak bisa kubayangkan misi seperti apa yang mereka emban. Mungkin seperti film-film Hollywood atau lebih dari itu.

Cepat-cepat kumakan hidangan survival itu saat Sandy kembali dengan wajah berseri-seri. Jika Mas Pram saja rela berakting demi calon istrinya, apalagi aku yang jadi tamu. Bahkan saat perempuan itu coba mencicip, Kakakku cepat-cepat menjilat piring.

"Kamu sudah capek masak untuk kami. Gak baik loh ikut makan."

Wajah Sandy makin berseri. Matanya berkaca-kaca saat kakakku memberi senyum.

"Enak Pram?"

"Iya, enak banget." Dengan mata agak berair Mas Pram menolehku. "Enak kan, Le?"

"Enyak Mas," balasku, sebelum menghabiskannya dengan penuh air mata. "Enyak banget, hiks! Setiap sendoknya seperti mengantarku ke pintu surga."

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now