Keputusan Hijrah

8.9K 1.2K 37
                                    

"Mas ... Ford Everest, Mas. Harganya hampir semilyar. Pajaknya gak kita tanggung, Mas."

Seperti yang kuduga, bibir Fitria langsung ternganga. "Hadiah kecil" itu jelas-jelas mempengaruhinya. Penuh takjub ia amati mobil itu. Sesekali pula dia menolehku yang agak ketus memperhatikannya.

"Apa? Pingin?"

Istriku menggeleng. Dia pasti malu karena pernah bilang bahwa aku punya pilihan. Wajah manisnya mendadak aneh. Dia berbicara dengan senyum dipaksakan.

"Ehem, Mas punya kebebasan memilih kok. Aku gak akan maksa. Kalau Mas mau kerja disana, aku bahagia. Kalau Mas tolak juga gak apa-apa."

"Tapi kok masih ngelus mobil?"

Dia langsung jauhkan tangannya.

"Serius nih Mas. Daripada suamiku disuruh kerja rodi. Lebih baik kita gak usah punya mobil. Apalah artinya harta?"

"Yeah-yeah, dan sejak kapan hapenya ada di sakumu?"

Fitria langsung kembalikan ponsel mahal yang sempat dia pegang. Tangannya agak gemetaran. Jelas-jelas dia tak rela. Tapi sekali lagi dia bicara seperti filsuf.

"Kehidupan kita sudah enak Mas. Terlalu serakah itu gak baik. Walau mereka kasih isi dunia, aku gak mau suamiku dipermainkan lagi."

"Oh, gitu ya? Kalau gitu mobil, ponsel sama rumahnya aku kembalikan."

"Hah? Dikasih rumah juga?"

"Iya. Rumah dua lantai."

"Ada tamannya?"

"Iya. Sepertinya tipe regency."

"Gar—garasi?"

"Garasinya luas. Cukup buat dua mobil."

Istriku gelisah. Keringatnya mulai merembes. Aku jadi tak tahan untuk tidak menggodanya.

"Aku kembalikan, aaahhh!"

"Hmmm ..."

"Telpon Pak Prasojo aaahh!"

Fitria masih diam. Dia masih gengsi untuk menelan ludahnya sendiri. Wajahnya mulai lucu saat kutunjukan nomor Prasojo. Dia mau menangis ketika jariku hendak memencet nomor itu dengan gaya slow motion. Istriku menggemaskan sekali. Dia mulai histeris saat nomor itu telah kutekan.

"Halo, Pak Prasojo?"

"Kyaa!" Fitria langsung merebutnya. "Nolak rejeki dosa tauk!" katanya, sebelum bicara dengan nomor yang ternyata nomor sibuk.

Maklum lah, pengusaha kelas kakap. Prasojo tak bisa sewaktu-waktu menerima telpon. Tapi istriku malah memberi pesan suara karena terlanjur kena suap.

"Selamat siang, Pak Prasojo. Kalau ada agenda kosong, mohon sediakan waktu untuk Pak Handoko. Beliau sudah ambil keputusan."

"Heh? Kapan aku ambil keputusan?"

"Sekarang! Mas harus nurut."

"Cie, tadi saja bilang, 'ipilih irtinyi hirti?" cibirku.

"Biarin! Kapan lagi dapet mobil sama rumah?"

Astaga. Istriku memang mata duitan. Dia melanggar janjinya sendiri untuk memberiku kebebasan memilih. Tapi aku tak keberatan. Kalau Fitria ingin aku bekerja, artinya aku harus bekerja. Aku cukup bertindak tanpa perlu pusingkan masalah filosofis.

"Sayang suka hadiahnya?"

Fitria mengangguk cepat. "Iya Mas. Aku seneng suamiku sampai segitunya dihargai orang."

Aku makin gemas padanya. Kuangkat badanya yang masih memakai setelan kerja. Istriku agak berontak saat kugendong dia ala tuan puteri. Begitu sampai ruang tamu, kuambil ponsel mahal itu dan menyelipkannya ke belahan dada Fitria.

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now