Pelit itu Perlu

1.4K 178 16
                                    

"Hah? Apa? Dia pinjam duit? Buat bayarin SPP anaknya?"

Sebelah alisku terangkat. Kulirik Fitria yang marah-marah pada siapalah yang menelponnya. Wajahnya terlihat kesal. Aku yakin, seseorang sedang mengusiknya perkara uang.

"Ngapain juga kamu nanggung hidupnya? Dia siapa? Kamu gak nyuruh dia kawin, kan? Kamu gak nyuruh dia punya anak, kan? Kalau dia mau hutang, suruh hapus dulu foto-fotonya di instogram!"

Seusainya mengeringkan badan, kuhampiri Fitria yang masih kesal.

"Ada apa lagi?"

"Tam-Tam, Mas. Dia curhat lagi soal hutang. Bu Diana juga gak tegaan."

"Yang hutang siapa?"

"Temen cewek kami waktu SMA."

"Bukannya Pratama gak laku sampai menikahi gurunya sendiri?"

Masih memakai handuk piyama, dia berdiri di kursi plastik, demi membenahi penampilanku sebagai seorang eksekutif. Dia ikat dasiku, memeriksa kerutan-kerutan kemeja, walau bibirnya masih manyun karena Pratama.

"Nama Tam-Tam dijelek-jelekkin, Mas. Dia dibilang sombong karena gak mau pinjemin duit. Padahal, dia dulu dihina cuma karena jualan nasgor. Tiap nembak selalu ditolak. Sekarang, giliran dia bahagia sama Bu Diana, cewek-cewek sombong itu deketin. Ada yang mau jadi pelakor, ada yang ngemis-ngemis minta hutang. Dipikir negara ini negara komunis, apa? Uangmu adalah uang bersama. Ngeselin!"

Bola mataku berputar ke atas. Fitria masih sensitif masalah uang. Terlebih jika masalah itu dialami orang-orang terdekatnya.

"Kok kamu sensi sekali sih sama orang hutang?"

"Karena aku lihat suamiku sendiri."

Dia cium bibirku sebagai jawaban. Matanya berkaca-kaca. Pasti sedang mengingat masa-masa saat kami hidup sengsara.

"Aku dulu nangis lihat Mas mulung rokok demi popoknya Izra. Dibela-belain gak makan. Mas rela susah, Mas kerja di mebel dari pagi sampai maghrib, terus malamnya ngerjain komik sampai mau pagi. Gimana gak nangis, coba? Tapi Mas tak pernah sekalipun minta hutang ke Mas Iwan. Mas sadar banget kalau jadi ayah itu keputusan Mas sendiri. Mas gak mau nyusahin orang."

Kupeluk tubuh mungilnya. Kugigit bibir bawahnya yang agak maju saat cemberut. Wanita itu masih menggemaskan sampai sekarang.

"Tapi, Mas kalau dikasih duit gak pakai malu, hahaha! Dan kalau malak saudara gak ngotak!"

"Lebih baik minta duit daripada hutang."

"Kenapa, coba?"

"Karena saat meminta, aku berposisi sebagai pengemis. Aku siap harga diri jatuh. Dan orang yang ngasih duit merasa jadi boss. Aku rela di-bully setelah dikasih duit. Seperti hubunganku dengan Mas Pram atau Mas Iwan. Mereka mendapatkan ego. Bukan kecemasan kalau duitnya gak dikembalikan."

Fitria menciumku sebelum turun dari kursi. Kulirik meja rias agar istriku segera dandan. BH-nya makin ketat setelah menyusui anak kedua. Aku harus hati-hati menggantinya. Aku tak mau telat kerja hanya karena salah senggol.

"Bilang ke Pratama. Lebih baik beri uang ke orang yang benar-benar membutuhkan, daripada menghutangi orang-orang yang berlagak menjanjikan. Mau bayar besok lah, minggu depan lah. Kamu tahu kenapa kata-kata itu sering muncul?"

"Karena apa, Sayang?"

"Karena gengsi dianggap miskin. Mereka berusaha meyakinkan kita kalau susahnya hari ini saja. Besok gak bakalan susah lagi. Ya iyalah, besok gak bakalan susah karena dapat duit hutangan. Tahu-tahu pamer ponsel baru, hahahaha!"

Fitria ikut terbahak. Aku tahu, menasihatinya soal hutang seperti menggarami air laut. Fitria super pelit. Dia paling sensitif urusan duit. Jangankan jutaan, aku pinjam 20 ribu saja dia kejar sampai ke ranjang.

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now