Jiwa Besar

6.6K 1.1K 48
                                    

"Kakak kan cuma pinjem?"

"Tapi kan itu dibeliin Om ganteng buat aku?"

"Masa Kakak pinjem bentar gak boleh?"

Bibirku hanya nyengir melihat gadis cilik sedang bertengkar.

Ayah?

Dua gadis cilik itu menyebutnya Ayah?

Mas Iwan sudah kawin?

Wajah Mas Iwan mendadak lembut. Dia peluk dua makhluk cantik yang sedang berebut perhatiannya. Aku jelas melongo saat Mas Iwan mencium kening bergantian.

"Nanti ayah beliin, jangan berantem."

"Janji?"

"Kapan ayah bohong?" jawabnya dengan cara bicara normal, sebelum arahkan matanya ke arahku. "Sana kenalan sama tamu ayah dulu."

Dua makhluk cantik itu menatapku ragu. Mereka menggeleng menolak saat tanganku mulai tersodor.

"Om Handoko memang serem seperti gorilla, tapi dia baik kok. Sana kenalan."

Saking bingungnya, aku bahkan tak mengkritik Mas Iwan saat nama baikku dia jatuhkan.

"Namaku Om Handoko. Nama kalian siapa?"

"Lesti, Om."

"Aku Dita."

Gadis yang lebih tua usianya dua belas tahun. Sedangkan yang lebih muda kira-kira sepuluh tahunan. Kepalaku sejenak menghitung. Jika usia Mas Iwan sekarang 30 tahun, berarti dia menikah setelah ia lulus SMA, bukan?

Mengejutkan!

Diam-diam menghanyutkan!

Aku makin terkejut saat gadis lain datang dengan membawa nota tagihan.

"Yah, guru guru nagih biaya les untuk persiapan UMPTN. Kalau aku gak bayar, aku gak bisa kuliah. Gimana nih?"

***

"Mas, ceritakan dengan saksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya." Saat Mas Iwan mengajakku berkeliling, mulutku gatal untuk bertanya. "Mereka itu anaknya siapa?"

"Buah hatiku."

Jariku kontan menghitung ulang.

"Cewek yang paling tua saja sudah mau lulus SMA. Memangnya Mas nikah sejak SD?"

"Daku belum nikah."

Kugaruk kepalaku yang tidak gatal. Aku berjalan mengikuti Mas Iwan bersama tanya masih berputar di kepalaku. Di hari pertamaku ke rumahnya, dia memberiku teka teki. Akupun coba lupakan itu saat kulihat sederetan fasilitas dimana beberapa anak sedang bermain.

Ada lapangan basket, lapangan bola, bulutangkis, bahkan studio yang nampaknya sanggar seni. Kondisi bangunanpun sangat terawat hingga kepo-ku semakin kumat.

Aku menyerah memikirkannya. Terlebih, mataku menangkap segerombolan anak kecil berhenti bermain saat mereka melihat kami. Gerombolan anak-anak itu pun datang berkerumun dan berebut memeluk Mas Iwan.

"Okay, sekarang aku tanya. Anakmu ada berapa?"

"Lima puluh empat."

"Buset! Yang paling muda umur berapa?"

"Sepuluh bulan. Yang paling tua sudah mau lulus kuliah."

"Berarti cewek tadi bukan yang paling tua?"

Mas Iwan mengangguk. "Yang paling tua sebentar lagi pergi ke Jepang."

Langkah kakiku terhenti setelah Mas Iwan memberi jawaban. Aku tahu anak mana yang dia maksud.

"Jared kan yatim piatu?"

Mas Iwan ikut berhenti. Dia menghela napasnya sebelum perlahan menolehku.

"Karena itulah, kalau bukan daku, siapa lagi yang besarkan dia?"

**

Aku baru tahu ternyata Mas Iwan pengelola panti asuhan. Kini aku mengerti alasan dia hidup sederhana meski saldonya sembilan digit. Pria itu kerja keras untuk hidup orang lain. Bukan hanya Mas Iwan, di tempat itu juga ada beberapa orang dewasa yang nampaknya anggota Band-nya.

Band Metal!

"Mereka yatim piatu juga?"

"Bukan. Mereka sukarelawan. Mereka mengajar anak-anak main instrument," jawabnya sambil menunjuk sebuah bangunan yang nampaknya studio musik. "Dikau lihat orang-orang itu?" Dia tunjuk beberapa gadis-gadis yang sedang menari ala K-Pop. "Mereka juga sukarelawan dari daerah sekitar. Daku ingin anak-anakku punya masa depan lebih baik dari anak-anak lain yang punya orang tua."

Secara spontan aku langsung bertepuk tangan. Mas Iwan berjiwa besar. Panti asuhan ini jauh berbeda dari bayangan orang-orang, dimana anak-anak yatim hanya meminta belas kasihan. Panti asuhan ini terlampau mewah untuk ukuran desa terpencil.

Melihat keadaan itu, aku mulai mengerti alasan Mas Iwan tak bisa kembali ke Kota Bandung. Setahun lehih dia tak pulang. Dan karena itu pula aku mulai paham alasan Mas Pram repot-repot menyeretku ke tempat ini.

"Mas hanya buka donasi private, bukan?"

"Iya. Daku tak mau anak-anakku jadi alasan mengemis. Lebih baik menerima donasi dari orang terdekat." Dia tunjuk Mas Pram yang sedang dikerumuni gadis-gadis. "Dikau lihat buaya itu? Dia selalu sumbangkan 70% gajinya untuk anak-anakku."

Hatiku makin tersindir. Padahal aku lebih kaya dari Mas Pram, tapi uangku ditumpuk untuk sesuatu yang tak pernah kutahu. Panti asuhan ini pasti butuh banyak uang. Lokasi proyek kemarinpun pasti salah satu dari sekian pengeluaran yang sedang menggerus saldo Mas Iwan.

Melihat wajah berpikir yang kutunjukan, sang pujangga itu menyuruhku menemui Mas Pram untuk penjelasan yang lebih panjang.

"Kalian bicarakan berdua dulu. Daku ada perlu."

Kudekati si playboy itu di antara gadis-gadis SMA yang berebut jadi pacarnya. Segerombolan gadis di luar panti yang menikmati fasilitas untuk mengembangkan hobi mereka. Pecinta K-Pop, katanya. Mas Pram pun jadi pusat perhatian, karena sebagai kopassus tampan, dia sangat fasih berbahasa Korea.

"Sudah ambil keputusan?" Dia langsung menembak.

Aku menggeleng sejenak. Dahiku terkernyit karena Mas Pram sedang menggendong gadis kecil yang sangat cantik. Serius, dia cantik. Usianya mungkin lima tahunan.

"Ehem! Sudah ambil keputusan soal donasi? Uangmu dipegang Nduk semua kan?"

Aku mengangguk. Walau pelit, Fitria tak mungkin keberatan jadi donatur.

"Mas gak maksa, Le. Begitupun Iwan. Tapi anak-anak asuhnya makin lama makin banyak. Tempat ini makin populer. Dan itu dimanfaatkan anak-anak muda yang cuma mau cari enaknya. Pacaran, hamil, anaknya dibuang ke sini."

"Aku gak mau dengar itu dari mulut buaya darat," jawabku datar. "Kalau semua perempuan yang Mas tiduri hamil, tempat ini penuh. Aku jadi curiga, jangan-jangan beberapa anak di sini hasil kerjamu."

Mas Pram nyengir. Apalagi saat kulirik si gadis cantik di gendongnya. Cepat-cepat dia turunkan gadis itu dan memintanya pergi menjauh.

"Enggak Le, Mas main aman. Dan Mas gak sejauh itu kalau pasangan Mas terlalu lugu. Mas gak pernah main sama perawan, apalagi istrinya orang."

"Terus, kapan Mas mau serius? Kapan aku punya ponakan?" Aku bicara sambil menyerahkan kunci mobil padanya.

"Belum ada yang cocok."

"Sama Linda?"

Kakakku spontan buang muka.

"Jiwa Mas gak sebesar itu."

Aku sewot sendiri. Terlebih saat Mas Pram mengambil cooler di bagasi mobil, minuman mewah yang kami bawa dari Bandung. Dua alisnya dia mainkan. Dia lirik sebuah bangunan yang steril dari anak kecil.

"Ayo kita pesta."

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now