Tentang Uang

22.8K 2.1K 35
                                    

"Pa ... pa."

"Iya sayang, ini Papa."

"Pa pa pa!"

Izra terkekeh saat tangannya menepuk pipiku. Lucu sekali, matanya memindai sekeliling dan melihat Mas Iwan yang sedang sibuk makan kuaci.

"Dan itu kecoa."

"Ini Pak Dhe! Jangan ajari anakmu aneh-aneh," kata Mas Iwan sambil merentangkan tangan ke arah Izra. "Nanti ikut Pak Dhe jalan-jalan lagi ya? Uuuh, Izra jadi tambah berat."

Bukan hanya aku yang senang bermain ayah-ayahan. Mas Iwan menyukai perannya sebagai paman hingga sindiran "ayah dan anak" terdengar wajar di telinga kami. Izra bersedia Mas Iwan gendong. Nampaknya ia mengenali si keriwil itu sebagai bagian penting keluarganya. Faktanya, dia memang paman yang baik. Pria berkaca mata itu sangat peka dengan hal-hal di sekitarnya, juga sangat perhatian dengan siapapun yang dia anggap paling dekat.

"Hei, Bread PITT."

Mas Iwan menegurku saat mata dan tangannya sibuk dengan si kecil.

"Ada apa gerangan?" lanjutnya sambil memicing, sedikit menggerakkan bola matanya.

Aku yakin Mas Iwan sempat membaca raut muka yang sekeras mungkin kusembunyikan. Intuisinya benar. Aku gamang sekarang. Ada kecemasan yang sedang kulawan, yang memaksaku untuk sesekali overthinking.

"Masalah keuangan?" tebaknya.

Kepalaku mengangguk. Memangnya masalah apalagi yang bisa menggangguku? Kujawab tebakan itu setelah menterjemahkan pikiranku yang masih abstrak.

"Sisa kontrakku gak sampai dua bulan di workshop. Tahu artinya, kan?"

Mas Iwan tak menanggapi serius. Dia masih sibuk dengan Izra seolah masalahku tak ada bobotnya.

"Rezeki itu seperti kaum hawa, Hando. Kalau terlalu dikau pikirin, mereka malah kabur."

"Wow wow wow wow! Sungguh kalimat mutiara yang sangat berharga."

Tanganku bertepuk sarkastik. Bisa-bisanya nasihat itu keluar dari mulut seorang jomlo.

"Mau duit, gak?"

"Jelas dong."

"Masih ingat brosur kemarin?"

"Iya Mas," jawabku antusias. "Proyek komiknya gimana?"

Dua minggu berlalu sejak brosur itu kuterima. Aku masih penasaran karena belum jelas kerjaku apa dan harus bagaimana. Mas Iwan selalu beralasan bahwa orangnya belum siap. Karena sudah ada uang muka, karena uang itu sudah jadi barang belanjaan, aku jadi tak sabar untuk segera mendapat jawaban.

"Serius bisa jadi duit, Mas?"

"Ini yang mau daku bahas. Dalam waktu dekat dikau akan bertemu orangnya. Mau tahu duit itu darimana?"

Anggukan kepalaku pun berbuah penjelasan yang selama ini kunanti-kunantikan.

Singkatnya, ada kenalan Mas Iwan yang punya mimpi menjadi mangaka atau author komik Jepang. Jujur saja itu mimpi masa kecilku dan Mas Iwan sangat tahu itu. Peluang yang dia ceritakan terlalu menggoda hingga aku sama berliurnya seperti Izra.

Kebetulan si author ini punya komunitas yang pasti akan membaca komik. Dari situlah uang akan mengalir. Si author ini tinggal memasukan komik di platform digital, dan tiap kunjungan di laman komiknya pasti akan menjadi dollar. Mas Iwan bahkan memberiku hitung-hitungan hingga aku langsung menjabat tangannya dan berlagak seperti diplomat.

"Duitnya lumayan tuh. Semakin banyak pembacanya, semakin dapat banyak duit dong?"

"Iya. Dikau ambil bagian background. Bagian itu butuh insan telaten dan pekerja keras. Untuk awal-awal dia bayar 500 ribu perminggu, mau?"

"Buset! Padahal dari share saja aku dapat duit, dia juga menggajiku? Serius nih?"

Sekali lagi kupastikan bahwa dia tidak sedang bercanda.

"Bukannya komik itu baru menghasilkan setelah mendapat pembaca?"

"Memang. Tapi author ini sudah siapkan duit untuk modal awal. Ini bisnis serius."

Dia tepuk dadanya yang seperti sawah baru dibajak.

"Dan daku salah satu investornya."

"Investor?"

Wajahku semakin meragu. Kupandangi si gembel itu dari ujung rambut sampai ujung kakinya yang biasa bersandal jepit. Tersinggung dengan sikapku, Mas Iwan mengeluarkan ponselnya dan menunjukan kolom M-Banking. Mataku kontan melotot melihat saldo yang dia depositkan di sebuah bank.

"Mungkin dikau hanya tahu kakakndamu ini cuma seniman jalang. No no no, jaman sekarang cari duit itu gampang, Anak Muda."

"30 juta?"

"Bukan, lihat baik-baik."

"Gila! Tiga ratus juta?!"

Aku kehilangan kata-kata.

Seharusnya aku tak kaget kalau si dekil itu bisa hidup sukses. Mas Iwan adalah sosok yang disukai banyak orang dan punya skill untuk itu. Tapi aku masih tercengang dengan pencapaiannya. Terus terang saja aku heran darimana semua uang itu berasal.

Dia kan pekerja serabutan?

Memangnya dapat apa dari band metal?

"Sebenarnya daku tak mau menunjukan ini sebagai insan rendah hati yang tak suka pamer, Anak Muda."

Mas Iwan masih menunjukan ponselnya lama-lama. Dia juga memaju-mundurkan ponsel itu di depanku, bahkan menempelkannya tepat di batang hidungku.

"Apakah dikau sudah merasa jadi orang termiskin di dunia yang penuh derita bermandikan air mata?"

"Iya, Mas. Jangan membuatku merasa lebih miskin lagi."

Aku langsung minta ampun. Ada rasa malu karena Izra ikut tertawa saat melihat respon kaget itu.

"Siang hari dikau kerja di meubel. Malam harinya kerja jadi asisten mangaka. Setidaknya dapat empat juta perbulan. Duit itu cukup untuk pria lajang. Tapi sekarang kau punya anak istri, kan?"

"Ayolah, berhenti menyindirku."

"Mau duit, gak?"

Aku langsung rentangkan tangan.

"Hamba mau, Lord Iwan."

***

Gila, pelihara tuyul apa dia?

Keesokan harinya, aku masih membatin. Saldo itu membuatku merasa bahwa jerih payahku hanyalah buih. Dan itu cuma salah satu dari tiga akun bank yang dia miliki. Mas Iwan bukan pekerja keras. Hidupnya terlalu santai. Tapi pencapaian itu adalah bukti bahwa ada yang harus kuubah dari keyakianku selama ini.

Keyakinan tentang uang.

"Mas, Mang Cecep tuh."

Fitria menegurku. Aku kontan terhenyak dan menyapa seseorang yang menghampiri kami dengan motor butut.

Seperti biasa Mang Cecep menjemputku setiap paginya. Tapi hari ini agak berbeda saat kuperhatikan raut wajah yang dia tunjukkan. Pria ceria itu nampak murung. Dia memandang kami ragu seakan sedang membawa berita buruk. Aku langsung bertanya tanpa sedikitpun rasa curiga.

"Mas Handoko ingat kejadian sama Doni kemarin?" Dia menjawab agak berbisik. Mungkin dia takut Fitria dengar.

"Iya, Mang. Ada apa?"

Wajah Mang Cecep semakin panik. Dia menyalakan ponsel dan menunjukan percakapannya dengan seseorang, yang langsung menjawab sebuah alasan di balik wajah murungnya.

"Ini serius, Mang?"

"Iya, Mas Handoko teh resmi dipecat."

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now