Sekretaris Seksi

7K 1K 63
                                    

Keesokan harinya di halaman rumah.

Ayah Ibuku belum pulang. Mereka menginap agak lama sebelum meluncur ke Cijantung, markas kesatuan Mas Pram. Upacara kenaikan pangkat kakakku di depan mata. Di balik sikap buruknya yang gemar bermain perempuan, dia tetaplah prajurit berprestasi.

Hari ini pengangkatannya sebagai salah satu Mayor Termuda.

Mas Pram memakai seragam perwira lengkap yang bertaburkan badge kehormatan. Ayah juga memakai seragam kebanggaannya disamping ibu yang berkebaya. Mobil jemputan telah menunggu. Double cabin hijau tua berplat militer. Linda menyempatkan diri merapikan seragam kakakku di menit terakhir keberangkatan.

"Tak ada ciuman selamat tinggal?"

"Jangan berharap."

"Ayolah, masa ciuman saja gak boleh?"

Linda tak menjawabnya. Dia sibuk merapikan kerah baju seperti seorang pacar betulan. Mas Pram tidak sabaran. Dia raih dagu si cantik dan perlahan dekatkan bibir.

"Pram!" Ibuku langsung melotot. Beliau tersenyum pada Linda setelah menjewer telinga anaknya.

"Harga diriku jatuh, Bu. Masa gak lihat aku pakai seragam?"

"Lebih baik harga dirimu yang jatuh daripada perempuan yang kamu buat mainan."

"Aku cuma mau cium. Masa anaknya mau romatis gak boleh?"

"Lah, Nduk Linda sendiri gak mau." Sekali lagi, ibu tersenyum pada si cantik yang hatinya sekuat baja. "Nduk Linda yang tahan ya sama anak ibu? Jangan nyerah. Pram gandengannya banyak."

"Injih, Bu," jawab Linda sama ramahnya.

Ibu masih kesal dengan perangai Kakakku setelah bertemu si bule berjilbab. Aku cerita ke Fitria, dan istriku melaporkannya kepada Ibu. Mereka berdua marah besar. Terlebih Fitria. Dia tak terima karena Linda sudah seperti kakaknya sendiri.

Tak ada ciuman sampai mobil militer berlalu pergi.

Izra kemana?

Dia ikut kakek dan Pak Dhe ganteng. Ayahku jelas membawanya demi menunjukkan masa depan pada sang cucu. Puteraku selalu antusias dengan militer. Dia bisa demam kalau aku tak setuju jenderal kecil itu ikut ayahku.

"Ayah anda pria disiplin dan serius. Kini saya tahu sifat anda darimana," ucap Linda saat kembali ke ruang tamu. "Dan ibu anda easy going. Supel. Beliau tipe-tipe orang yang sangat menyenangkan."

"Iya. Wajah dan sifat kakakku berasal dari ibu. Mas Pram punya kharisma seperti beliau. Mudah disukai orang. Makanya Ibu kesal sekali kalau anak sulungnya suka main-main."

Linda tersenyum kalem padaku. Sepertinya dia tahu aku masih tak enak dengan sikap kakakku kemarin sore. Begitu pula pada ucapan ibu yang seakan jadi "skak mat."

"Pak Handoko, aku dan Pram sama-sama tidak mengikat. Selama dia tidak minum alkohol di depan saya, itu lebih dari cukup."

"Bu Linda tak sakit hati?"

Perempuan itu tersenyum lagi. Dia duduk kalem di sofa ruang tamu tanpa beban sedikitpun.

"Kalau dibilang sakit hati, iya, saya sempat sakit hati. Normal, bukan?" Napasnya pelan terhembus. Wajah kalemnya sangat natural di mataku. "Tapi saya juga sadar bahwa sakit hati itu karena salah saya sendiri. Bukan Pram. Dia tak memaksa saya menaruh harapan."

Aku jadi serba salah. Aku ragu apakah jawaban Linda apa adanya atau versi halus dari ungkapan sarkastik.

"Bu Linda, bagaimana dengan ibu saya? Apa ibu sakit hati?"

"Ibu anda belum tahu keadaan saya. Dan saya yakin, beliau wanita lembut. Beliau pasti menerima saya apa adanya andai tahu. Tapi saya tak punya hati untuk itu. Ibu anda terlalu baik untuk saya kecewakan."

"Anda menyerah?"

Linda menggeleng pelan.

"Saya sudah kenyang dengan ekspektasi, Pak Handoko. Apa yang saya pegang adalah buah pengalaman saya selama ini. Walau bagaimanapun usia saya 35 tahun. Dan pengalaman hidup saya tak semulus orang lain."

Ucapannya masuk akal. Linda ditempa pengalaman hidupnya yang tidak enak. Dan aku pun merasa tak enak karena dia selepas itu menyebut usia.

Karena kata Mas Pram, usia dan berat badan itu perkara tabu bagi perempuan.

"Pak Handoko, saya sudah cukup tua untuk memahami kalau kebahagian itu keputusan sendiri. Saya yang memutuskan apakah saya bahagia atau tidak. Bukan Pram, bukan anda, bukan Fitria, bukan siapapun."

Sekali lagi dia tersenyum. Aku malu sendiri mencemaskan seseorang yang jauh lebih paham tentang perasaan. Mungkin Linda benar. Aku masih terlalu muda. Pikiranku terlalu naif karena minimnya pengalaman akan hitam putih kehidupan.

Wajar kalau Fitria lengket padanya. Wajar pula kalau Istriku matang lebih cepat dari usianya, karena akrab dengan seorang wanita dewasa.

"Kehidupan saya sekarang jauh lebih baik dari kemarin, Pak Handoko. Karir semakin bagus, punya adik imut seperti Fitria, disukai bayi yang menganggap saya ibunya sendiri, bebas dari depresi, dan setiap hari dilindungi dua pria jago bela diri. Apa yang kurang?"

Aku tak punya jawaban lain selain tertegun. Kami beruntung mengenalnya. Linda menempa diriku lagi dengan kalimat yang sangat mengena.

"Saya bukan orang alim, Pak Handoko. Tapi saya merasa Tuhan akan mengambil itu semua kalau saya meminta lebih. Serakah itu tak baik."

***

Tanpa terasa, setahun berlalu sejak perombakan perusahaan. Aku resmi menjabat sebagai direktur utama untuk sebuah perusahaan holding. Linda telah resmi jadi bawahanku di Public Relation. Karena kesibukannya untuk melobi middle management, aku sarapan di kantin dengan seorang sekretaris lain.

Sesosok sekretaris seksi yang diam-diam kuremas pantatnya saat tak ada orang melihat.

"Pak, tolong profesional. Kita sedang bekerja." Sekretaris itu bicara pelan dengan wajah datar. Sesekali dia tersenyum pada para pria yang baru kali ini melihat sosoknya.

Aku tak peduli. Di bawah meja di pojok ruangan, aku meremas pantatnya lagi.

"Pelecehan seksual! Anda bisa saya laporkan!"

Wajahnya terganggunya sangat menggemaskan.

Kucubit pipi sekretaris itu yang tidak lain istriku sendiri.

"Ayolah, kamu kan cuma praktikum di sini."

"Tapi aku di sini sebagai mahasiswa. Bukan sebagai istrimu," protesnya sambil menepis tanganku. "Kalau di rumah gak berani godain. Giliran di kantor kegatelan."

"Memangnya gak boleh?"

"Enggak! Kalau Mas berani genit sama aku di sini, di rumah juga harus genit!"

Kata orang, mangga curian lebih enak dari mangga beli. Mungkin inilah yang kurasakan saat menggoda istri sendiri. Di rumah aku tak berani menggodanya. Karena istriku tersenggol sedikit langsung banjir. Semakin lama gairahnya semakin naik. Tapi di kantor, aku bisa sesukanya tanpa takut dia borgol di tiang ranjang.

Meski sayangnya, istriku belum hamil sampai sekarang.

"Mas, jangan depresi, ya? Sudah wajar kok kalau orang seperti kita sangat susah dapat keturunan. Tingkat stress seorang CEO itu tinggi. Dan itu mempengaruhi kesuburan. Mas sabar, ya? Aku pasti bisa hamil."

Mendadak AyahWhere stories live. Discover now